SISWA UTAMA SANG BUDDHA ( Y.A MOGGALLANA )
( KESEMPURNAAN BATIN )
“Kami menghormat seorang bhikkhu yang bertingkah laku seperti
Brahma, dapat memandang sekalipun hanya sejenak, matanya cemerlang namun
sanggup mencerap, beribu-ribu alam semesta terbayang di depan matanya. Beliau,
yang menguasai gejala-gejala rahasia, pun sanggup melihat sepanjang masa,
dimana para dewa bangkit lalu sirna habis kembali.”(Theragatha, The Elders
No.1181).
Kata Sansekerta Maha mempuyai tiga arti: besar, banyak dan
unggul. Maudgalyayana berasal dari bahasa Sansekerta dan berarti “Keturunan
keluarga pengumpul buncis.” Namanya juga berarti “Akar Lobak”, sebab para
leluhur beliau makan lobak ketika mereka mengembangkan jalan. Beliau juga
dinamakan “Kolita” menurut nama pohon dimana ayah dan ibunya berdoa kepada roh
penghuni pohon itu untuk memohon seorang putra.
Y.A.Maha Maudgalyayana adalah sahabat dekat Y.A. Sariputra,
dan keduanya merupakan siswa utama Sakyamuni Buddha. Y.A.Maha Maudgalyayana
menonjol terutama dalam kekuatan daya tembus batiniah. Ketika beliau mencapai
tingkat Arahat, beliau memperoleh enam macam daya tembus batiniah: mata
surgawi, telinga surgawi, pengetahuan tentang pikiran orang lain, pengetahuan
tentang masa lampau, pengakhiran arus keluar dan batin sempurna.
Adapun riwayat hidup Y.A.Maha Maudgalyayana dapat diceritakan
sebagai berikut:
- Masa Muda
Y.A.Maha Maudgalyayana dilahirkan di sebuah kota kecil di
zaman kerajaan Magada (sekarang adalah daerah Bihar, negara bagian India).
Beliau merupakan anak tunggal dari keluarga suku Brahmin, nama kecil beliau
adalah Kolita Moggalana. Ayahnya terlahir dalam keluarga yang termashyur dan
selalu diangkat menjadi walikota. Kolita terdidik di bawah asuhan tradisi
Brahmana.
Diceritakan bwaha bertepatan hari kelahiran Kolita terlahir
juga bayi laki-laki dari keluarga lain yang diberi nama Upatissa. Kemudian
merekapun tumbuh bersama dan menjadi sahabat akrab. Kedua sahabat karib ini
dilingkungan pergaulannya menjadi pemimpin dari kelompok teman-temannya.
Suatu ketika Kolita dan Upatissa bersama rekan-rekannya pergi
menonton pesta rakyat. Tetapi tontonan yang mereka lihat itu bukan membawa
kegembiraan tapi malah menimbulkan kegelisahan dalam diri Kolita dan Upattisa.
Keduanya mempertanyakan kegunaan dari pertunjukkan foya-foya tersebut. Kolita
berpikir, “waktu yang terpakai untuk berfoya-foya sebaiknya dipergunakan untuk
memikirkan bagaimana cara untuk membebaskan diri? Kolita mendiskusikan hal tersebut
dengan Upatissa.
Lalu, kedua sahabat itu mengambil keputusan untuk berkelana
sebagai musafir dan meninggalkan kehidupan duniawi. Bersama dengan kelompok
rekan-rekannya, kedua sahabat itu mencukur jenggot, menanggalkan pakaian
Brahmana mereka dan mengenakan jubah kuning. Mereka meninggalkan ciri-ciri
kasta mereka dan membaurkan diri dalam pertapaan.
- Mencari kebenaran
Tatkala Pangeran Siddharta Gautama merayakan pesta
pernikahannya, beliau telah mengambil tindakan untuk keluar dari kehidupan duniawi.
Disaat yang sama Kolita dan upatissa meninggalkan rumah tangga dan mencari
ketenangan batin bersama kelompok temannya. Mereka mulai mulai melatih diri di
bawah bimbingan guru spiritual yang mereka temui. Ada banyak guru dengan
pandangan spiritual yang berbeda-beda pada masa itu. Namun variasi ajaran
tersebut sejak awal sudah diketahui kehampaannya oleh kedua sahabat itu.
Akan tetapi, terdapat seorang guru di kota Rajagraha yang
datang menghimbau mereka. Guru itu bernama Sanjaya. Dibawah pimpinan guru
Sanjaya ini kelompok Kolita ditahbiskan. Pada saat itu bagi Kolita dan Upatissa
sebelum menemukan guru yang lebih baik, mereka berguru kepada Sanjaya walaupun
mereka telah merasa bahwa falsafah Sanjaya hanya berupa taktik mengelak saja.
Pada suatu hari Kolitan Upatissa menanyakan ajaran yang lebih tinggi kepada
Sanjaya, namun Sanjaya menjawab, “Itu sudah cukup, anda sudah mengetahui ajaran
kami”.
Dari kata-kata Sanjaya tersebut, mereka memutuskan untuk
mencari lagi ajaran-ajaran yang lebih memuaskan. Dalam pencarian itulah
kemudian menuntun kedua sahabat karib itu untuk bertemu dengan ajaran Sang
Buddha.
- Menemukan sang ajaran
setelah 20 tahun berkelana akhirnya mereka pulang ke kampung
halaman di Magada. Bersamaan dengan itu Sang Buddha memutar roda Cakra di
Benares. Dengan sama-sama berprinsip tidak berhenti mencari, keduanya sepakat
untuk mencarinya secara terpisah. Mereka sepakat apabila ada yang lebih dulu
menemukan ajaran kebenaran maka dia harus memberitahukan kepada yang lainnya.
Pada suatu hari Upatissa dengan wajah berseri-seri datang
menjumpai Kolita. Dia menceritakan penemuannya yaitu menjumpai pertapa yang
bernama Assaji, yang ternyata adalah salah satu dari lima pertapa siswa Sang
Buddha yang pertama. Assaji menemukan Upatissa dalam penampilannya. Lalu Assaji
menerangkan mengenai gurunya yang bermarga Sakya (Sakyamuni Buddha). Saat
Upatissa menanyakan ajaran yang dibabarkan oleh guru Assaji maka dijawab oleh
Assaji dalam bentuk syair: “Yang dirahmati telah membabarkan sebab musabab dan
timbulnya benda-benda. Dan juga menerangkan proses lenyap sinarnya. Hanya
demikian yang dinyatakan Sang Tathagata.” Tatkala mendengar syair itu Upatissa
merasakan suatu getaran pencerahan (Mata Waskita Dharma) dan Kolita pun
merasakan hal yang sama saat Upatissa mengucapkan syair itu kepadanya.
Dari kejadian itu merekapun menanyakan kepada Assaji dimana
Guru Agung itu berdiam dan bergegas menuju ke sana. Tapi sebelum menjumpai Sang
Buddha, Upatissa mengajak Kolita terlebih dahulu menjumpai Sanjaya untuk
mengajaknya ikut serta. Namun Sanjaya menolak ajaran tersebut karena keakuannya
yang besar. Walaupun demikian karena kedua sahabat itu mengikuti Sang Buddha
serta merta pengikut Sanjaya yang berjumpa 500 orang mengikuti jejak Upatissa
dan Kolita. Namun melihat Sanjaya tidak ikut, sebagian dari mereka mengurungkan
niat.
- Mempelajari Dharma
saat Sang Buddha membabarkan Dharma di vihara Jetavana,
Upatissa dan Kolita beserta rombongan pengikutnya dapat menghampiri. Sat itu
Sang Buddha mengatakan “Wahai, para bhiksu kedua pasangan sahabat, Kolita dan
upatissa akan menjadi siswa utama kami.” Kedua sahabat itupun lalu bersujud di
bawah kedua kaki Sang Guru Junjungan dan mengucapkan permohonan “Okassa”
sebanyak 3 kali. Saat itulah Upatissa dan Kolita ditahbiskan dengan nama
Sariputra yang berarti “putra ibu sari” yaitu ibunya, sedangkan Kolita diberi
nama Maha Moggalana yang berarti tokoh besar keluarga Moggalana.
Dalam proses melatih diri suatu kali pernah terjadi Y.A.Maha
Maudgalyayana mengalami rasa kantuk yang berat. Di saat itu Sang Buddha dengan
kekuatan gaibnya muncul dihadapan Y.A.Maha Maudgalyayana. Sang Bhagava
bertanya, “Moggalana, benarkah mata anda bersimpul?”. “benar, paduka” Maka Sang
Bhagava memberi intruksi demikian:
“Baiklah Moggalana, pikiran apa saja yang membuat anda
menjadi mengantuk, maka anda harus menanggalkannya dan tidak memperhatikannya.
Dengan demikian rasa kantuk anda akan hilang.
Namun jika belum hilang anda harus menerapkan pemantulan
terhadap pelajaran yang pernah anda dengarkan. Perhatikan secara tekun dan
amati secara cermat.
sekalipun dengan demikian anda masih mengantuk, maka anda
harus dengan cara memperinci pelajaran yang pernah anda pelajari.
jika rasa mengantuk belum hilang, anda harus menarik-narik
atau menggosok-gosok kedua daun telinga atau anggota badan.
bila tetap belum hilang, anda harus segera bangun dari tempat
duduk bersihkan mata dengan air, kemudian pandanglah sekitar anda, pandanglah
bintang-bintang di langit.
bila masih mengantuk, maka anda harus memperhatikan
pencerapan pada sinar saat siang atau malam hari, lalu dengan batin yang jernih
tidak terpudar, lalu dngan batin yang jernih tidak terpudar anda harus
mempertimbangkan suatu batin yang penuh dengan kecemerlangan.
bila dengan demikian rasa mengantuk tidak lenyap, maka anda
harus mengarahkan pandangan ke dalam dan ke luar batin anda tidak tergoyahkan,
anda harus berjalan lalu lalang dengan pencerapan yang tekun. Jika dengan semua
itu, rasa kantuk anda masih tetap, anda boleh memperhatikannya dengan
ketekunan, bertiduran miring ke kiri dan ke kanan seperti layaknya singa yang
sedang beriduran, mengatur tumpuan kaki dengan kaki merenungkan akan saat
bangun dan tatkala bangun, anda seharusnya serentak bangun dengan renungan:
“Aku tidak seharusnya menikmati kesenangan akan tidur”. “Dengan demikian oh,
Moggalana anda harus melatih diri.” (Anguttara Nikaya VII,58).
- Kekuatan gaib
dari murid-murid utama Sang Buddha, Y.A.Maha Maudgalyayana
terkenal menonjol dalam kekuatan batin. Diceritakan bahwa pertama kali beliau
menggunakan kekuatan batinnya adalah pada sat ingin menolong orang tua beliau,
terutama ibunya yang terlahir di alam neraka, (Kisah ini ada dalam Ulambana
Sutra).
Selain itu banyak lagi kisah-kisah yang menceritakan
kemampuan batin Y.A.Maha Maudgalyayana yang luar biasa, seperti pembacaan
pikiran lawannya dalam bentuk telepati, menggunakan pendengaran dewa untuk
untuk mendengar suatu dari dewa-dewa dan setan, menggunakan mata waskita untuk
melihat Sang Buddha membabarkan Dharma dari jarak jauh, berkelana dengan tubuh
astral ke alam dewa, neraka, dan berkelana ke alam Buddha yang lain, juga ada
kesaktian untuk dapat bergerak super cepat.
- Hari-hari terakhir
Dikisahkan bahwa wafatnya kedua sahabat siswa utama Sang
Buddha yaitu Sariputra dan Maha Maudgalyayana terjadi
setengah tahun sebelum Sang Buddha memasuki maha Parinirvana. Sariputra lebih
dulu wafat pada bulan purnama Siddhi bulan Kattika (sekitar Oktober/November).
Adapun kematian Y.A.Maha Maudgalyayana terjadi secara tragis.
Dimana diceritakan bahwa pada suatu saat Y.A.Maha Maudgalyayana bertekad untuk
tidak mempertahankan hidupnya dengan kekuatan hidupnya. Dan di saat itulah ada
segerombolan penjahat yang berniat membunuhnya. Sebelumnya selama enam hari
penjahat itu sudah berusaha membunuh Y.A.Maha Maudgalyayana namun tidak
berhasil karena dengan kekuatan gaibnya Y.A.Maha Maudgalyayana lenyap.
Lenyapnya kekuatan gaib itu juga berhubungan dengan karma masa lampaunya,
dimana Y.A.Maha Maudgalyayana pernah berbuat kejahatan yang mengakibatkan ayah
dan ibunya wafat. Karma inilah yang terbawa sampai hari itu dimana penjahat itu
menganiaya dan membunuh Y.A.Maha Maudgalyayana. Biarpun tubuh beliau hancur,
ternyata Y.A.Maha Maudgalyayana masih sempat merangkak menghadap Sang Buddha.
Setelah meminta ijin ke guru junjungan barulah Y.A.Maha Maudgalyayana
menghembuskan nafasnya yang terakhir.
No comments:
Post a Comment