TERPUJILAH PARA BUDDHA, PARA BHODHISATTVA MAHASATTVA, SERTA PARA ARYA NAN BIJAKSANA..._/\_ NAMO BUDDHAYA _/\_


Hidup bukan untuk berharap, memohon, mengeluh.. Tapi hidup untuk berlatih, berusaha, berdoa dan teruslah berbuat baik.
Biarlah para mahluk suci menilai, melihat ketulusan dan keikhlasan dalam kebaikan yang kita lakukan. Selalu bersyukur saat para Buddha, Bodhisattva, Dewa, manusia atau mahluk suci lainnya memancarkan Welas Asih-nya kepada kita.

W E L C O M E ( E H I P A S S I K O )

Wednesday, 20 November 2013

ALAM SEMESTA DALAM BUDDHA-DHARMA

ALAM SEMESTA DALAM BUDDHA-DHARMA



AwalnyaSang Buddha mencela berbagai spekulasi tentang kosmologi (ilmu alam semesta) dan kosmogonik ( ilmu asal-usul alam semesta) yang dikedepankan oleh para cendekia. Beliau tidak ingin menuruti spekulasi-spekulasi yang tidak jelas maksud dan logikanya, di sisi lain Beliau telah pernah berjuang sangat keras bergelut dengan pertanyaan yang lebih penting mengenai penderitaan hidup (dukkha) dan jalan untuk terbebas dari penderitaan. Bagaimanapun, di kemudian hari, literatur Buddhisme memberikan gambaran dan penjelasan yang terperinci mengenai kosmos, dikarenakan hal ini memainkan peranan dalam perjuangan mencapai Kebebasan. Sang  Buddha  berpendapat , bahwa  alam semesta, yang  disebut  Beliau sebagai Samsara, adalah tanpa awal. Beliau bersabda:

"Tak dapat ditentukan awal dari alam semesta. 
Titik terjauh dari kehidupan, 
berpindah dari kelahiran ke kelahiran, 

terikat oleh ketidaktahuan dan keinginan, 
tidaklah dapat diketahui.”
( Samyutta Nikaya II : 178 ).

Para pakar ilmu pengetahuan sekarang meyakini, bahwa alam semesta adalah suatu sistim yang berdenyut , yang setelah mengembang secara maksimal, lalu menciut dengan segala energi yang ditekan pada suatu bentukan masa; sedemikian besar sehingga menyebabkan ledakan, yang disebut sebagai "Big bang", yang berakibat pelepasan energi. Pengembangan dan penciutan alam semesta berlangsung dalam kurun waktu milyaran tahun. Sekali lagi, Sang Buddha telah memaklumi pengembangan dan penciutan alam semesta. Beliau bersabda:

“ Lebih  awal atau lebih lambat, 
ada suatu waktu, 
sesudah masa waktu yang sangat panjang sekali 
alam semesta menciut,
Tetapi lebih awal atau lebih lambat, 
sesudah masa yang lama sekali,
 alam semesta mulai mengembang lagi.”
( Digha Nikaya III : 84 )

Penemuan teleskop konvensional dan teleskop radio belakangan kemudian, telah memungkinkan para ahli astronomi untuk mengetahui tidak saja asal dan sifat alam dari alam semesta, tapi juga susunannya. Diketahui sekarang, bahwa alam semesta terdiri dari sekian milyar bintang, planet, asteroid dan komet. Semua benda langit tersebut berkelompok dalam bentuk cakram atau spiral yang disebut galaksi. Planet bumi kita hanya satu titik kecil yang terdapat pada suatu galaksi yang diberi nama Bimasakti (Inggeris: Milky Way). Bimasakti atau Milky Way terdiri atas kurang lebih 100 milyar bintang dengan jarak dari ujung ke ujung 60.000 tahun cahaya. Telah diketahui pula bahwa galaksi- galaksi dialam semesta ini tersusun berkelom-pok. Kelompok galaksi dimana Bimasakti kita berada terdiri dari dua lusin galaksi; kelompok lain, kelompok Virgo misalnya terdiri dari ribuan galaksi.

Dibalik kenyataan: bahwa tata surya, galaksi, dan kelompok galaksi baru diketahui di dunia Barat setelah penemuan peralatan canggih; maka ternyata kitab suci Agama Buddha telah banyak menyebutkan hal tersebut ribuan tahun sebelumnya. Penganut agama Buddha sejak zaman dahulu telah menggambarkan galaksi sebagai berbentuk spiral . Istilah dalam bahasa Pali untuk galaksi adalah "cakkavala"; yang berasal dari kata "cakka", yang berarti cakram/roda. Sang Buddha secara sangat jelas dan tepat menggambarkan kelompok-kelompok galaksi, yang oleh para ilmuwan baru ditemukan. Beliau menyebutnya sebagai sistim dunia (loka dhatu) dan menambahkan perbedaan dalam ukurannya: sistim dunia ribuan-lipat, sistim dunia puluhan ribu-lipat, sistim dunia besar, dan seterusnya. Beliau menyebutkan sistim dunia terdiri dari ribuan matahari dan planet, walau sebenarnya oleh para ahli astronomi menyebutnya sebagai jutaan.

“Sejauh matahari-matahari 
dan bulan-bulan berputar, 
bersinar dan memancarkan sinarnya ke angkasa,
 sejauh itu pula sistim dunia ribuan-lipat. 
Didalamnya terdapat ribuan matahari, 
ribuan bulan.”
( Anguttara Nikaya I : 227 )

Dahulu, dalam waktu yang sangat lama, manusia tidak dapat membayangkan luas alam-semesta baik dalam satuan waktu maupun ruang untuk dapat memahami asal dan luas alam-semesta. Pemikiran saat itu terbatas serta terikat kepemahaman dunia semata. Didalam Bible misalnya, dipahami bahwa seluruh alam-semesta diciptakan dalam enam hari dan penciptaan itu terjadi barulah beberapa ribu tahun lalu.

Saat ini, para ahli astronomi menghitung bintang dalam satuan ribuan milyar dan mengukur jarak alam semesta dalam satuan tahun cahaya; satu tahun cahaya adalah jarak yang dapat ditempuh oleh cahaya dalam waktu satu tahun. Manusia zaman dulu jelas tidak dapat membayangkan dimensi seperti itu. Sang Buddha, adalah pengecualian. Kebijaksanaan-Nya, yang tak terbatas, dapat memahami konsep dari alam semesta yang tak terbatas. Beliau menyebut adanya :

"Daerah gelap, hitam, kelam 
diantara sistim-sistim dunia, 
sedemikian rupa hingga cahaya matahari 
dan bulan sekalipun tak dapat mencapainya"
(Majjhima Nikaya III:120).

Waktu yang diperlukan untuk terbentuk dan hancurnya suatu sistim dunia sangatlah panjang, diperlukan sangat banyak `kappa' (sebagai satuan waktu) untuk itu. Sewaktu Sang Buddha ditanya tentang panjang kurun waktu satu kappa, Beliau menjawab:

"Sangat panjang kurun waktu satu kappa.Tak dapat diperhitungkan dengan tahun, abad ataupun ribuan abad".

"Bila demikian, Guru, dapatkah dengan menggunakan perumpamaan ?".

"Dapat. Bayangkan bongkahan suatu gunung besar, tanpa retak, tanpa celah, padat, berukuran panjang  I mil, lebar I mil dan tingginya juga I mil. Lalu bayangkan setiap seratus tahun ada seorang datang menggosoknya dengan sepotong sutra Benares. Maka, akan lebih cepat bukit itu habis tergosok dari pada suatu masa kappa berlalu.Pula ketahuilah, lebih dari satu, lebih dari ribuan, lebih dari ratusan ribu kappa, sebenarnya telah berlalu".
(Samyutta Nikaya II : 181)

Disini terlihat, betapa Sang Buddha menggunakan per-umpamaan seperti diuraikan diatas untuk memberi gambaran tentang "jarak ruang dalam satuan waktu" : sama halnya para ahli astronomi saat ini menggambarkan "jarak-jarak di angkasa luar dengan menggunakan satuan tahun cahaya" .

Namun, Sang Buddha menyebut tentang asal dan perluasan alam semesta hanya sepintas lalu. Beliau tidak menganggap, bahwa berteori dan berspekulasi tentang hal tersebut, adalah lebih penting dibanding masalah utama kita, yakni mengakhiri penderitaan dan mencapai kebahagiaan Nibbana (Sansekerta: Nirwana ). Ketika seseorang sekali waktu mendesak Sang Buddha untuk menjawab pertanyaan tentang luasnya alam semesta, Sang Buddha membandingkan keadaan orang tersebut sebagai seorang yang terkena panah beracun, namun menolak diobati dan dicabuti anak panah tersebut, sebelum orang tersebut mengetahui secara jelas siapa yang melepaskan anak panah tersebut. Sang Buddha, lalu bersabda :

“ Menjalani hidup yang suci 
tak dikatakan tergantung apakah 
alam semesta ini 
berbatas atau tidak, 
atau keduanya atau tidak keduanya.
 Sebab apakah alam semesta ini, 
berbatas atau tidak; 
tetaplah ada kelahiran,
 tetap ada usia-lanjut,  
tetap ada kematian, kesedihan, penyesalan, 
penderitaan, keperihan dan keputusasaan; 
dan untuk mengatasi semua itulah 
semua yang Saya ajarkan “
( Majjhima Nikaya I : 430 )

Sangat jelas,dengan hanya berbekal pengetahuan tentang bagaimana alam-semesta terjadi, kita tidak akan dapat mengatasi penderitaan, pula tidak akan dapat mengembangkan kemurahan hati, kebajikan dan cinta-kasih. Buat Sang Buddha pertanyaan menyangkut hal-hal ini adalah jauh lebih penting dari pada spekulasi tentang asal-mula alam semesta.

Walau demikian, konsep Sang Buddha tentang alam-semesta yang sangat tepat dan maju, menyebabkan kita bertanya dalam diri; bagaimana bisa Beliau mengetahui semua itu. Bagaimana mungkin seorang mengetahui tentang berkelompoknya bima-sakti dan bahwa bima-sakti itu berbentuk spiral, jauh sebelum penemuan teleskop? Bagaimana Dia, yang hidup di zaman lampau demikian menghayati ke-takterbatasan waktu dan ruang ? Jawaban satu-satunya yang mungkin ialah karena, Beliau, sebagai yang disebut oleh Beliau sendiri, adalah Buddha yang telah mencapai Pencerahan (Inggeris: enlightenment). Batin-Nya demikian sempurna, bebas dari prasangka dan kekhayalan yang biasanya mengabuti batin orang biasa, pengetahuannya telah berkembang diluar kemampuan manusia biasa. Sang Buddha menyatakan diri-Nya sebagai " pengenal alam-semesta" (lokavida) ( Majjhima Nikaya I : 337 ), dan pernyataan Beliau memang terbukti kebenarannya.

Kalau kita mempertimbangkan kondisi masyarakat pada ribuan tahun lalu yang masih terbelenggu oleh dongeng dan mitos, maka ajaran Buddha akan semakin mengagumkan karena pandangan Buddha sudah sangat jauh ke depan.

KEHIDUPAN MANUSIA  DI ALAM SEMESTA

Di kalangan masyarakat dan karena pengaruh pandangan atau ajaran dari agama-agama lain, banyak orang menganggap bahwa kehidupan manusia di dunia ini hanya sekali saja. Pandangan ini berbeda sekali dengan agama Buddha, karena dalam Digha Nikaya, Brahmajala Sutta, Sang Buddha menerangkan tentang kelahiran dan kematian yang berulang-ulang kali dapat diingat dengan kemampuan batin yang dihasilkan oleh meditasi. Sang Buddha mengatakan bahwa :

“..... ada beberapa pertapa dan brahmana yang disebabkan oleh semangat, tekad, kesungguhan dan kewaspadaan bermeditasi, ia dapat memusatkan pikirannya, batin-nya, menjadi tenang, ia dapat mengingat alam-alam kehidupannya yang lampau pada 1, 2, 3, 4, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 100, 1000, beberapa ribu atau puluhan ribu kehidupan yang lampau ..... 1, 2, 3, 4, 5, 10,20, 30, sampai 40 kali masa bumi berevolusi (bumi terjadi dan bumi hancur, bumi terjadi kembali dan hancur kembali ..... dst.. ..... (tetapi) Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh daripada jangkauan pandangan-pandangan mereka tersebut ....."

Telah kita ikuti di atas bahwa menurut pandangan Buddhis, kehidupan/kelahiran manusia atau mahluk hidup bukan baru sekali saja tetapi telah berulang-ulang kali hidup di bumi ini dan juga hidup di bumi-bumi yang lain. Perpindahan kehidupan manusia dari sebuah bumi ke bumi yang lain disebabkan karena bumi yang dihuninya telah hancur lebur atau kiamat, maka setelah kematiannya di bumi tersebut ia terlahir di alam Abhassara (alam cahaya). Kelahiran di alam Abhassara ini dapat dicapai oleh orang yang melakukan meditasi ketenangan batin (samatha bhâvana). Alam Abhassara adalah sebuah alam dari 31 alam kehidupan menurut kosmologi alam kehidupan Buddhis.

No comments:

Post a Comment