PENERANGAN
AGUNG
Pertapa
Gotama meneruskan perjalanannya dan pada sore hari tiba di Gaya. Ia memilih
tempat untuk bermeditasi di bawah pohon Bodhi (Latin : Ficus Religiosa),
kemudian mempersiapkan tempat duduk di sebelah Timur pohon itu dengan rumput
kering yang diterima dari pemotong rumput bernama Sotthiya. Di tempat itulah
Pertapa Gotama duduk bermeditasi dengan wajah menghadap ke Timur. Dengan tekad
yang bulat, ia kemudian berkata dalam hati, "Dengan disaksikan oleh
bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-tulangku akan musnah dan darahku
habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun dari tempat ini sebelum
memperoleh Penerangan Agung dan mencapai Nibbana."
Kemudian
Pertapa Gotama melakukan meditasi Anapanasati, yaitu meditasi dengan
menggunakan obyek keluar dan masuknya nafas. Tidak berapa lama pikiran-pikiran
yang tidak baik mengganggu batinnya, seperti keinginan kepada benda-benda
duniawi, tidak menyukai kehidupan suci yang bersih dan baik, perasaan lapar dan
haus yang luar biasa, keinginan yang sangat dan melekat kepada benda-benda,
malas dan tidak suka mengerjakan apa-apa, takut terhadap jin-jin, hantu-hantu
jahat, keragu-raguan, kebodohan, keras kepala, keserakahan, keinginan untuk
dipuji dan dihormati dan hanya melakukan hal-hal yang membuat dirinya terkenal,
tinggi hati dan memandang rendah kepada orang lain.
Perjuangan
hebat dalam batin Pertapa Gotama melawan keinginan dan nafsu-nafsu tidak baik,
dalam buku-buku suci digambarkan sebagai perjuangan melawan Dewa Mara yang
jahat, seperti dapat diikuti dalam pembabaran berikut ini.
Pada saat
itu muncul Mara, dewa hawa nafsu, yang bermaksud menghalang-halangi Pertapa
Gotama memperoleh Penerangan Agung, disertai bala tentaranya yang maha besar.
Bala tentara itu ke depan, ke kanan dan ke kiri, lebarnya 12 league dan ke
belakang sampai ke ujung cakrawala, sedangkan tingginya 9 league. Mara sendiri
membawa berbagai macam senjata dan duduk di atas gajah Girimekhala yang
tingginya 150 league. Melihat bala tentara yang demikian besar datang, semua
dewa yang sedang berkumpul di sekeliling Pertapa Gotama, seperti Maha-Brahma,
Sakka, Rajanaga Mahakala dan lain-lain cepat-cepat menyingkir dari tempat itu
dan Pertapa Gotama ditinggal sendirian dengan hanya berlindung kepada sepuluh
Paramita yang sejak lama dilatihnya. Semua usaha Mara untuk menakut-nakuti
Pertapa Gotama dengan hujan besar disertai angin kencang dan halilintar yang
berbunyi tak henti-hentinya diikuti dengan pemandangan-pemandangan lain yang
mengerikan ternyata gagal semua dan akhirnya Mara menyambit dengan Cakkavudha
yang ternyata berubah menjadi payung yang dengan tenang bergantung dan
melindungi kepala Pertapa Gotama.
Bumi telah
menjadi saksi bahwa Pertapa Gotama lulus dari semua percobaan-percobaan dan
layak untuk menjadi Buddha. Gajah Girimekhala berlutut di hadapan Pertapa
Gotama dan Mara menghilang dan lari bersama-sama dengan bala tentaranya. Para
dewa yang menyingkir sewaktu Mara tiba dengan bala tentaranya datang kembali
dan semua bersuka cita dengan keberhasilan Pertapa Gotama.
Setelah
berhasil mengalahkan Mara, Pertapa Gotama memperoleh Pubbenivasanussatiñana,
yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kelahiran-kelahiranNya
yang dulu. Hal ini terjadi pada waktu jaga pertama, yaitu antara jam 18.00-22.00.
Pada waktu
jaga kedua, yaitu antara jam 22.00-02.00, Pertapa Gotama memperoleh
Cutupapatañana, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kematian
dan tumimbal lahir kembali dari makhluk-makhluk sesuai dengan tumpukan karma
mereka masing-masing. Tumpukan karma yang berlainan inilah yang membuat satu
makhluk berbeda dari makhluk lain. Kemampuan ini juga dinamakan
Dibbacakkhuñana, yaitu kebijaksanaan dari Mata Dewa.
Pada waktu
jaga ketiga, yaitu antara jam 02.00-04.00 pagi, Pertapa Gotama memperoleh
Asavakkhayañana, yaitu kebijaksanaan yang dapat menyingkirkan secara menyeluruh
semua Asava (kekotoran batin yang halus sekali).
Dengan
demikian Ia mengerti sebab dari semua keburukan dan juga mengerti cara untuk
menghilangkannya. Dengan ini Ia telah menjadi orang yang paling bijaksana dalam
dunia yang dapat menjawab pertanyaan yang disampaikan kepadaNya. Sekarang Ia
mendapat jawaban tentang cara untuk mengakhiri penderitaan, kesedihan,
ketidakbahagiaan, usia tua dan kematian. Batin-Nya menjadi tenang sekali dan
penuh kedamaian karena sekarang Ia mengerti semua persoalan hidup dan Ia telah
menjadi Buddha.
Dengan muka
bercahaya terang, penuh kebahagiaan, Pertapa Gotama dengan suara lantang
mengeluarkan pekik kemenangan sebagai berikut:
"Anekajati
samsaram
Sandhavissam anibbissam
Gahakarakam gavesanto
Dukkha jati punappunam
Gahakaraka! dittho'si
Punageham na kahasi
Sabba to phasuka bhagga
Gahakutam visamkhitam
Visamkharagatam cittam
Tanhanam khayamajjhaga."
Artinya :
"Dengan
sia-sia Aku mencari Pembuat Rumah ini
Berlari berputar-putar dalam lingkaran tumimbal lahir
Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada habis-habisnya
Oh, Pembuat Rumah, sekarang telah Kuketahui
Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi
Semua atapmu telah Kurobohkan
Semua sendi-sendimu telah Kubongkar
Batin-Ku sekarang mencapai keadaan Nibbana
Dan berakhirlah semua nafsu-nafsu keinginan."
Dikisahkan
bahwa pada saat itu bumi bergetar karena gembira dan di udara sayup-sayup
terdengar suara musik yang merdu, seluruh tempat itu penuh dengan kehadiran
para dewa yang turut bergembira dan ingin melihat orang yang berhasil mencapai
Penerangan Agung dan menjadi Buddha, pohon-pohon mendadak berbunga dan
menyebarkan bau harum ke seluruh penjuru, binatang hutan yang biasanya saling
bermusuhan pada waktu itu dapat hidup berdampingan dengan damai.
Demikianlah
Pangeran Siddhattha yang dilahirkan pada saat purnama sidhi di bulan Vaisak
tahun 623 S.M, menikah pada usia 16 tahun, meninggalkan istana pada usia 29
tahun, setelah bertapa selama 6 tahun menjadi Buddha pada usia 35 tahun.
Tujuh Minggu
Setelah Penerangan Agung,
Selama
minggu pertama, Sang Buddha duduk bermeditasi di bawah pohon Bodhi dan
menikmati keadaan Nibbana, yaitu keadaan yang terbebas sama sekali dari
gangguan-gangguan batiniah, sehingga batin-Nya tenang sekali dan penuh
kedamaian.
Selama
minggu kedua, Sang Buddha berdiri beberapa kaki dari pohon Bodhi dan
memandanginya terus-menerus dengan mata tidak berkedip selama satu minggu
sebagai ucapan terima kasih dan penghargaan kepada pohon yang telah memberi-Nya
tempat untuk berteduh sewaktu berjuang untuk mencapai tingkat Buddha. Mengikuti
apa yang telah dilakukan oleh Sang Buddha dahulu, sekarang pun umat Buddha
memberi penghormatan kepada pohon Bodhi.
Selama
minggu ketiga, Sang Buddha berjalan mondar-mandir di atas jembatan emas yang
diciptakan-Nya di udara karena melalui mata dewa-Nya, Sang Buddha mengetahui
bahwa ada dewa-dewa di surga yang masih meragukan apakah Beliau benar telah
mencapai Penerangan Agung.
Selama
minggu keempat, Sang Buddha berdiam di kamar batu permata yang diciptakan-Nya.
Di kamar permata itulah Sang Buddha bermeditasi mengenai Abhidhamma, yaitu
ajaran mengenai ilmu jiwa dan metafisika. Batin dan badan jasmani-Nya telah
menjadi demikian bersih, sehingga mengeluarkan sinar-sinar berwarna biru,
kuning, merah, putih, jingga dan campuran kelima warna tersebut. Kini warna-warna
tersebut diabadikan sebagai bendera umat Buddha.
Selama
minggu kelima, Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Ajapala Nigrodha (pohon
beringin), tidak jauh dari pohon Bodhi. Di sinilah tiga orang anak Mara yaitu
Tanha, Arati, dan Raga masih berusaha untuk mengganggu-Nya. Mereka menampakkan
diri sebagai tiga orang gadis yang elok dan menggiurkan yang dengan berbagai
macam tarian yang erotis (penuh nafsu birahi), diiringi nyanyian yang merdu dan
bisikan yang memabukkan, berusaha untuk merayu dan menarik perhatian Sang
Buddha. Tetapi Sang Buddha menutup mata-Nya dan tidak mau melihat, sehingga
akhirnya tiga orang dewi hawa nafsu meninggalkan Sang Buddha.
Selama
minggu keenam, Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Mucalinda. Karena waktu
itu turun hujan lebat, maka datanglah seekor ular kobra yang besar sekali dan
melibatkan badannya tujuh kali memutari badan Sang Buddha dan kepalanya
memayungi Sang Buddha supaya jangan sampai terkena air hujan. Waktu hujan
berhenti, ular itu berubah bentuknya menjadi seorang anak muda. Pada waktu
itulah Sang Buddha mengucapkan kata kata sebagai berikut:
"Berbahagialah
mereka yang bisa merasa puas. Berbahagialah mereka yang dapat mendengar dan
melihat kesunyataan. Berbahagialah mereka yang bersimpati kepada makhluk-makhluk
lain di dunia ini. Berbahagialah yang hidup di dunia dengan tidak melekat
kepada apa pun dan mengatasi hawa nafsu. Lenyapnya 'Sang Aku' merupakan berkah
yang tertinggi."
Selama
minggu ketujuh, Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Rajayatana. Pada hari
ke-50 pagi hari, setelah berpuasa selama tujuh minggu, dua orang pedagang lewat
di dekat tempat Sang Buddha sedang duduk. Mereka, Tapussa dan Bhallika,
menghampiri Sang Buddha dan mempersembahkan makanan dari beras dan madu. Sang
Buddha agak tertegun sejenak karena mangkuk yang Beliau terima dari Sujata
telah dihanyutkan di Sungai Neranjara dan sejak zaman dahulu tidak pernah
seorang Buddha menerima makanan dengan kedua tangan-Nya. Tiba-tiba empat orang
dewa dari empat penjuru alam (Catumaharaja yaitu Dhatarattha dari sebelah
Timur, Virulhaka dari Selatan, Virupakkha dari Barat, dan Kuvera dari Utara)
datang menolong dengan membawa seorang satu mangkuk yang dipersembahkan kepada
Sang Buddha. Sang Buddha menerima empat mangkuk tersebut dan dengan kekuatan
gaib-Nya dijadikan satu mangkuk.
Dengan
demikian Sang Buddha dapat menerima persembahan dari Tapussa dan Bhallika.
Setelah Sang Buddha selesai makan kedua pedagang itu memohon agar diterima
sebagai pengikut.
Mereka
diterima sebagai upasaka-upasaka pertama yang berlindung kepada Sang Buddha dan
Dhamma. Kemudian mereka mohon diberikan suatu benda yang dapat mereka bawa
pulang, Sang Buddha mengusap kepala-Nya dengan tangan kanan dan memberikan
beberapa helai rambut (Kesa Dhatu = Relik Rambut). Tapussa dan Bhallika dengan
gembira menerima Kesa Dhatu tersebut dan setelah tiba di tempat mereka tinggal,
mereka mendirikan sebuah pagoda untuk memuja Kesa Dhatu ini.
Setelah
makan, Tapussa dan Bhallika melanjutkan perjalanannya, Sang Buddha merenung
apakah Dhamma yang Beliau temukan akan diajarkan kepada khalayak ramai atau
tidak.
Sebab Dhamma
itu dalam sekali dan sulit untuk dimengerti sehingga timbul perasaan enggan
dalam diri Sang Buddha untuk mengajar Dhamma.
Tiba-tiba
Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini, turun dari Brahmaloka dan berdiri di
hadapan Sang Buddha. Setelah memberi hormat yang layak, Brahma Sahampati
berkata kepada Sang Buddha, "Semoga Sang Tathagata, demi belas
kasih-Nya kepada para manusia, berkenan mengajar Dhamma. Dalam dunia ini
terdapat juga orang-orang yang sedikit dihinggapi kekotoran batin dan mudah
mengerti Dhamma yang akan diajarkan."
Hingga kini
permohonan Brahma Sahampati kepada Sang Buddha tetap diperingati dengan
permohonan kepada seorang bhikkhu untuk mengajar Dhamma yang berbunyi sebagai
berikut:
"Brahma
ca lokadhipati Sahampati
Katañjali andhivaram ayacatha
Santidha sattapparajakkhajatika
Desetu Dhammam anukampimam pajam."
Artinya:
"Brahma
Sahampati, Penguasa dunia ini
Merangkap kedua tangannya dan memohon,
Ada makhluk-makhluk yang dihinggapi sedikit kekotoran batin
Ajarkanlah Dhamma demi kasih sayang kepada mereka. "
Dengan mata dewa,
Sang Buddha dapat mengetahui bahwa memang ada orang-orang yang tidak lagi
terikat kepada hal-hal duniawi dan mudah mengerti Dhamma.
Karena itu
Sang Buddha mengambil ketetapan hati untuk mengajar Dhamma demi belas kasih-Nya
kepada umat manusia. Kesediaan-Nya itu diutarakan dengan mengucapkan kata-kata
sebagai berikut:
"Aparuta
tesam amatassa dvara
Ye sotavanto pamucantu saddhami."
Artinya:
"Terbukalah
pintu Kehidupan Abadi
Bagi mereka yang mau mendengar dan mempunyai keyakinan."
Perhatian-Nya
kemudian ditujukan kepada Alara Kalama, tetapi para dewa segera memberitahukan
bahwa Alara seminggu yang lalu telah meninggal dunia. Kemudian perhatian-Nya
ditujukan kepada Uddaka Ramaputta, namun para dewa juga mengatakan bahwa
kemarin malam Uddaka meninggal dunia.
Selanjutnya
Sang Buddha mengalihkan perhatian-Nya kepada lima orang pertapa yang pernah
bersama-sama melakukan pertapaan. Kelima orang itu sekarang berada di Taman
Rusa di kota Benares ibukota negara Kasi.
Sang Buddha
segera berangkat menuju ke Taman Rusa Benares. Dalam perjalanan ke Sungai Gaya,
Sang Buddha bertemu dengan seorang pertapa Ajivaka bernama Upaka. Terpesona
melihat Sang Buddha yang wajah-Nya demikian cemerlang, Upaka bertanya siapakah
guru Sang Buddha. Sang Buddha menjawab bahwa Beliau adalah orang Yang Maha Tahu
dan tidak mempunyai guru siapa pun juga. Tetapi Upaka nampaknya sama sekali
tidak terkesan. Ia menggelengkan kepala dan kemudian meneruskan perjalanannya,
sedangkan Sang Buddha sendiri juga melanjutkan perjalanan-Nya ke Benares.
No comments:
Post a Comment