Setiap SI GWEE CAP GO (bulan 4 tanggal 15 Imlek), umat Buddha memperingati Hari Trisuci Waisak, yaitu memperingati 3 (tiga) peristiwa suci :
- Hari lahir Pangeran Sidharta Gautama.
- Saat pertapa Gautama mencapai Penerangan Sempurna, &
- Hari Pari Nibbana Buddha Sakyamuni.
Namun di VIHARA MAHAYANA dan kelenteng-kelenteng, hari lahir Buddha Sakyamuni diperingati setiap bulan 4 tanggal 8 penanggalan Imlek. Sementara hari beliau Cheng Dao {Sik Ka Mo Ni Hut Sing To = Buddha Sakyamuni mencapai Penerangan Sempurna} diperingati setiap bulan 12 tanggal 8 penanggalan Imlek. Tetapi ada juga Vihara MAHAYANA yang merayakan Hari Tri suci waisak di Bulan 4 imlek bersamaan dengan Vihara Theravada
Shi Jia Mou Ni Fo {Hok Kian = Sik Ka Mo Ni Hut = Buddha Sakyamuni} adalah perintis Agama Buddha yang merupakan salah satu dari 3 (tiga) agama besar di dunia dengan penganut yang berjumlah milyaran orang. Buddha Sakyamuni adalah ahli agama yang agung & mulia, juga adalah orang suci yang arif bijaksana & diakui di seluruh dunia.
Ideologi & peradaban (kebudayaan) agama Buddha yang disabdakan Buddha Sakyamuni, diturunkan dari generasi ke generasi, sejak lama telah menjadi aspek penting & utama yang memberikan nuansa aneka warna kebudayaan Dunia Timur, dan juga telah meninggalkan kebudayaan berharga yang sempurna & berlimpah bagi sejarah dunia.
Sik Ka Mo Ni Hut adalah guru agung para Dewa & manusia. Perjalanan hidup Beliau yang telah mencapai penerangan sempurna atas usaha sendiri, merupakan kisah perjuangan yang tiada taranya guna mendapatkan kebahagiaan abadi.
Sik Ka Mo Ni Hut lahir pada tahun 623 SM di sebuah Kerajaan yang terletak di daerah Madyadesa, India Utara (sekarang Kerajaan Nepal), dengan ibukotanya Kapilavastu. Beliau terlahir dengan nama Sidharta Gautama. Sidharta berarti : “Seorang yang tercapai cita-citanya”. Sebelum terlahir sebagai Pangeran Sidharta, beliau sebenarnya adalah Maha Bodhisatva yang datang dari Surga Tusita.
Ayah Sidharta adalah Raja Sudhodana yang berasal dari Suku Sakya. Karena berasal dari Suku Sakya inilah maka kemudian beliau disebut sebagai Buddha Sakyamuni. Ibunda beliau adalah Ratu Mahamaya.
Sebelum melahirkan Sidharta, Dewi Mahamaya bermimpi melihat seekor gajah putih bertaring empat mengelilingi tempat tidurnya searah jarum jam sebanyak 3 X. Kemudian gajah putih tersebut bersama sebuah bintang segi 6 (enam) yang bercahaya amat terang memasuki perut Dewi Mahamaya. Setelah mimpi tersebut, Dewi Mahamaya mengandung. Namun sungguh aneh, walaupun telah mengandung selama lebih dari 9 bulan, anak yang ditunggu-tunggu belum juga lahir.
Pada waktu kandungan permaisuri berusia 10 bulan, beliau mengunjungi keluarganya di Devadaha. Saat itu juga jalan-jalan dari Kapilavastu ke Devadaha dibersihkan & dipenuhi dengan hiasan-hiasan indah. Di antara kedua kota terhampar Taman Lumbini yang dipenuhi pohon sal. Pada waktu itu bunga-bunga bermekaran dengan indahnya, berbagai jenis burung bersiul-siul sepanjang hari. Melihat keindahan Taman Lumbini tersebut, sang permaisuri beristirahat di bawah pohon sal di dalam taman itu. Ketika permaisuri hendak meraih salah satu dahan pohon sal itu, tubuhnya terguncang oleh getaran kelahiran anak. Dengan memegangi dahan pohon & dalam keadaan berdiri, ia melahirkan seorang putra. Waktu itu tepat bulan Waisaka Purnamasidhi.
Sewaktu beliau lahir terjadi keajaiban, seperti yang tercatat dalam Kitab Sakyamuni Buddha : Sungguh mengherankan. Bayi tersebut lahir dalam keadaan bersih, tak ternoda oleh cairan, lendir, darah, ataupun kotoran yang lain. Pada saat kelahiran sang pangeran, 2 arus air jatuh dari langit. Yang satu dingin, & yang satunya lagi hangat. 2 arus air ini membasuh bayi tersebut & ibunya. Bahkan bayi tersebut lahir dalam keadaan berdiri tegak.
Begitu bayi tersebut dilahirkan, ia melangkah 7 (tujuh) langkah. Bunga teratai yang berwarna merah & kuning keemasan muncul dari dalam tanah setiap kali ia menapakkan kakinya. Pada langkah terakhir, dengan tangan kanan menunjuk ke langit & tangan kiri menunjuk ke bumi, bayi tersebut mengumandangkan suaranya dengan lantang : “Akulah yang teragung di antara langit & bumi. Aku datang dari Surga Tusita. Aku datang untuk membabarkan rahasia-rahasia alam semesta & kebenaran tentang kehidupan, guna membebaskan makhluk hidup dari penderitaan. Inilah kelahiranku yang terakhir di dunia ini!”
Bayi tersebut kemudian dibawa ke istana. Raja Suddhodana amat bahagia menyambut kedatangan putranya. Pada hari itu juga di istana datanglah seorang pertapa dari Gunung Himalaya yang bernama Kala Dewala (disebut juga Pertapa Asita), bersama keponakannya Nakala. Saat melihat bayi tersebut, ia langsung menjatuhkan diri & berlutut. Pertapa Kala Dewala tertawa bahagia. Namun kemudian ia menangis tersedu-sedu. Raja sangat heran melihat kejadian ini. Raja menanyakan apakah ada yang tidak baik dalam diri putranya? Pertapa Kala Dewala menjelaskan bahwa ia gembira karena di dunia telah lahir seorang manusia agung, seorang calon Buddha. Namun ia menangis sedih karena mengingat usianya yang telah tua, sehingga tidak mungkin baginya untuk mendengarkan ajaran Buddha ini kelak.
Demikianlah seorang Maha Bodhisatva telah dilahirkan melalui kandungan Permaisuri Dewi Maha Maya yang berhati suci & berbudi luhur. Seminggu setelah melahirkan Pangeran Sidharta, sang ibunda meninggal dunia. Pangeran Sidharta kemudian dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh bibinya (adik Dewi Mahamaya) Putri Prajapati.
Sebagai seorang Pangeran, Sidharta menikmati kehidupan istana yang menyenangkan, nikmat & serba berkecukupan. Raja Sudhodana membangun 3 (tiga) buah istana untuk Pangeran Sidharta. Satu untuk musim panas, satu untuk musim dingin, & satu lagi untuk musim hujan. Sejak kecil, Sidharta dilimpahi dengan segala jenis kemewahan dunia. Raja Sudhodana mengharapkan putranya naik tahta & menggantikan ayahnya sebagai seorang Raja. Namun Pangeran Sidharta tak terbiasa dengan kehidupan mewah, senang & berkedudukan tinggi seperti ini.
Pangeran Sidharta menikah pada usia 16 tahun dengan Putri Yasodhara, yang masih merupakan saudara sepupu Pangeran Sidharta. Putri Yasodhara yang cantik jelita adalah putri tunggal dari Raja Suprabuddha & Ratu Pamita dari suku Koliya. Untuk bisa menyunting Putri Yasodhara ini diadakan sayembara besar-besaran. Yang mengikuti sayembara ini adalah para ksatria gagah & para pangeran dari hampir semua kerajaan-kerajaan di daratan India.
Sayembara ini selain untuk memperebutkan Putri Yasodhara, juga sekaligus sebagai ajang pembuktian siapa yang terbaik di antara kerajaan-kerajaan tersebut. Sayembara itu adalah perlombaan memanah dengan busur raksasa, perlombaan menjinakkan kuda liar, perlombaan merobohkan pohon raksasa dengan sebilah pedang. Pangeran Sidharta memenangi seluruh perlombaan yang diadakan & akhirnya menikah dengan Putri Yasodhara. Pernikahan mereka dikaruniai seorang putra yang diberi nama Rahula, yang berarti belenggu.
Pada usia 29 tahun, Pangeran Sidharta melihat 4 peristiwa yang kemudian sama sekali mengubah jalan kehidupannya. Pertama, ia melihat seorang tua yang berjalan tertatih-tatih dengan bersandar pada tongkatnya. Kedua, ia melihat seorang yang menderita sakit parah.Ketiga, ia melihat seorang yang telah meninggal dunia. Keempat, ia melihat seorang pertapa dengan jubah kuning berjalan tenang dengan wajah yang penuh kedamaian. Ketiga peristiwa pertama menyadarkan pangeran akan hukum alam yang pasti akan dialami setiap orang tanpa pandang bulu. Peristiwa keempat menunjukan cara untuk mengatasi penderitaan dunia & mencapai ketentraman hidup.
Demikianlah Sang Pangeran Sidharta meninggalkan istana pada usia 29 tahun bersama pengiringnya yang setia, Channa & kuda putihnya Kanthaka. Beliau membina diri dengan penuh penderitaan di hutan. Ia berguru kepada pertapa-pertapa terkenal, seperti Resi Alara Kalama & Uddaka Ramaputra.
Enam tahun lamanya beliau membina diri hidup sebagai seorang pertapa di hutan Uruvela. Ia menjalani penyiksaan diri & pantang makan yang keras, sehingga beliau menjadi kurus kering & amat lemah. Pada waktu beliau diliputi kekosongan bathin & penderitaan badan yang amat sangat, serombongan penari lewat di dekat tempatnya bertapa, sambil mendendangkan nyanyian merdu: “Jika senar mandolin ditarik terlalu kencang, akan putuslah senarnya. Sebaliknya jika senar mandolin terlalu dikendurkan, akan hilanglah suaranya.” Bait lagu ini menyadarkan beliau akan perlunya merawat badan untuk menjamin kesegaran bathin. Ia sadar bahwa dengan penyiksaan diri yang berat seperti itu tidak akan berhasil mencapai penerangan sempurna.
Pada suatu hari datanglah Sujata, seorang wanita muda, mempersembahkan makanan dari susu murni ke hadapan pertapa Gautama, sebagai pernyataan terima kasih atas terkabulnya permintaannya untuk memiliki seorang putra. Sujata mengira pertapa Gautama adalah penjelmaan dari dewa yang telah mengabulkan permintaannya, sehingga ia menyajikan masakan yang enak bagi pertapa kurus namun agung itu. Pertapa Gautama menerima persembahan makanan Sujata.
Sementara itu 5 orang pertapa yang mengikuti pertapa Gautama semenjak ia menjalani penyiksaan diri, ketika melihat ia mulai makan secukupnya, meninggalkan pertapa Gautama karena menganggap beliau telah kalah, karena telah menjalani kehidupan yang berlebihan.
Kemudian pertapa Gautama berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan bangkit & berhenti samadhi sebelum cita-citanya untuk mendapatkan penerangan sempurna demi kebahagiaan umat manusia sejagat raya tercapai. Dengan tekad yang tak tergoyahkan pertapa Gautama menekuni kembali Samadhi Anapanasati Bhavana selama 7 minggu, yang pernah dilatihnya sewaktu beliau berusia 7 tahun.
Dalam samadhinya, pertapa Gautama mencapai Jhana pertama, di mana kegiuran & kegembiraan muncul dari penyepian bersama dengan penalaran & pengamatan. Namun, perasaan itu tidak menguasai pikirannya. Dengan berakhirnya penalaran & pengamatan ia mencapai & tinggal di dalam jhana kedua, di mana kegiuran & kegembiraan muncul dari konsentrasi, dengan kedamaian & pemusatan pikiran pada 1 titik, tanpa penalaran & pengamatan.
Ia tinggal dengan penuh perhatian & sadar, tinggal dengan keseimbangan. Ia mencapai & tinggal dalam jhana ketiga. Meninggalkan kenikmatan bahkan sebelum lenyapnya kegembiraan & ketenangan bathin, ia mencapai & tinggal dalam jhana keempat, yang adalah tanpa rasa sakit maupun kenikmatan, hanya berisikan kesucian yang timbul dari perhatian & keseimbangan.
Pada pengamatan pertama malam itu, beliau memperoleh pengetahuan pertama, yaitu ia mengingat banyak rincian kehidupannya di masa yang lalu dengan amat jelas, beliau juga melihat banyak siklus kehancuran & pembentukan alam semesta. Pada pengamatan yang kedua kalinya pada malam itu, dengan pandangan yang terang & suci beliau memperoleh pengetahuan kedua, yaitu ia melihat mahluk hidup mati & dilahirkan kembali (tumimbal lahir), mahluk hidup yang melakukan perbuatan jahat, pada saat kematiannya dilahirkan kembali dalam keadaan yang menderita & sengsara. Tetapi mahluk hidup yang menjalani hidup baik dalam perbuatan, kata-kata & pikiran, pada saat kematian dilahirkan kembali dalam keadaan yang membahagiakan.
Kemudian pada pengamatan terakhir malam itu ia memusatkan pikirannya yang jernih & bersih pada pengetahuan terhadap kehancuran kekotoran bathin. Ia memperoleh pengetahuan ketiga yaitu: ia menyadari adanya penderitaan, sebab penderitaan, lenyapnya penderitaan, & jalan menuju lenyapnya penderitaan. Setelah menyadari kebenaran ini, pikirannya bebas dari nafsu indria, bebas dari nafsu keinginan, & bebas dari ketidaktahuan. Ia menyadari bahwa kelahiran kembali telah dilenyapkan; bahwa telah terlaksana apa yang harus dilaksanakan.
Akhirnya di bawah pohon Bodhi di Bodh Gaya, tepat pada malam Purnamasidhi di bulan Waisak, pada usia 35 tahun pertapa Gautama mencapai Penerangan Sempurna atau Samyak Sambodhi, & dengan demikian menjadi Samyak Sambuddha, Buddha Yang Maha Sempurna.Sejak itu beliau disebut sebagai Buddha Gautama.
Tepat 2 bulan setelah mencapai kesempurnaan, di Taman Rusa Isipatana, Buddha Gautama untuk pertama kalinya membabarkan Dharma, Ajaran-Nya, kepada 5 orang pertapa yang menemaninya selama masa penyiksaan diri. Dalam khotbah-Nya yang pertama, Buddha membabarkan Empat Kesunyataan Mulia & Jalan Mulia Beruas Delapan. Peristiwa ini sekarang diperingati oleh umat Buddha sebagai Hari Suci Asadha, hari pemutaran roda Dharma. Selanjutnya, kelima orang pertapa itu ditahbiskan oleh Buddha menjadi Bhikkhu-bhikkhu yang pertama.
Buddha membabarkan Dharma selama 45 tahun kepada murid-muridnya yang tak terhitung jumlahnya & mendirikan Sangha (persaudaraan suci para Bikkhu/Bikkhuni).
Pada tahun 543 SM pada usia 80 tahun, pada bulan Waisaka Purnamasidhi, di kota Kusinara, di kebun bunga Sala, di bawah 2 batang pohon sal, Buddha Sakyamuni, Guru Agung para Dewa & manusia, dengan tenang Parinibbana (wafat). Para dewa & brahma terus menaburkan bunga-bunga & air suci menyambut Buddha Yang Maha Sempurna meninggalkan bentuk-Nya di dunia fana ini. Raga Buddha telah disempurnakan, tetapi ajaran Dharma-Nya tetap hidup & jaya sepanjang masa mengarungi seluruh penjuru alam semesta.
Dalam bahasa Mandarin, Ru Lai Fo {Hok Kian = Ji Lay Hud } merupakan sebutan penghormatan kepada Buddha Sakyamuni. Sebutan Ru Lai merupakan terjemahan dari bahasa Sansekerta, Tathagata, yang berarti Ia Yang Datang.
No comments:
Post a Comment