Hakekat Ketuhanan (sifat-sifat Tuhan) dalam agama Buddha
adalah Tidak berkondisi dan terbebas dari :
• Lobha ( Keserakahan )
• Dosa ( Kebencian )
• Moha ( Kegelapan batin )
Karena tidak berkondisi dan bebas dari Lobha, Dosa dan Moha,
maka sifat Tuhan adalah Maha Esa, karena hanya satu-satunya dan Maha Suci.
Karena itu, Tuhan bisa dikatakan bersifat Impersonal (bukan pribadi),
yaitu memahami Yang Mutlak/Tuhan sebagai Anthropomorphisme (tidak dalam
ukuran bentuk manusia ).
Jika masih berpandangan bahwa Tuhan bersifat Personal, maka
berarti masih berkondisi, yang berarti masih ada Dukkha (Penderitaan).
Dengan demikian, bisa timbul pandangan bahwa Tuhan dapat disalahkan, sehingga
kita tidak dapat mendudukkan Tuhan dalam proporsi yang sebenarnya dan
mengaburkan kembali pandangan yang semula bahwa Tuhan adalah yang Tertinggi,
Maha Suci, Maha Esa, Maha Tahu, dan sebagainya.
DEFINISI DAN ASAL-USUL KATA “ TUHAN ”
* Dilihat dari Agama dan kepercayaan yang ada, Tuhan,
Dei, Deos, God, Thien, pada intinya memiliki pengertian Penguasa, Pengatur alam
semesta yang berkepribadian, yang dipercaya memiliki Super Power. Kepercayaan
akan adanya Tuhan dimulai dengan konsep Politheis(banyak Tuhan) dengan
tugas-tugas tertentu seperti kepercayaan Mesir dan Yunani kuno. Belakangan
manusia mulai berpikir bahwa Tuhan yang jumlahnya banyak tersebut sudah tidak
efektif lagi, karena mengurangi kredibilitas sesuatu yang Super Power. Selain
itu timbul pemikiran perlunya Tuhan tertinggi untuk mengatur Tuhan-Tuhan yang
lain, yang merupakan cermin dari hirarki kerajaan. Akhirnya terbentuklah
konsep Monotheis (Tuhan yang satu).
* Etimologi (Asal Kata) Tuhan dalam bahasa Melayu
juga memiliki sejarahnya sendiri. Kata Tuhan berasal dari kata Tuan sama
artinya dengan kata “Lord” dalam bahasa Inggris, sama artinya dengan
kata Gusti, yaitu seseorang sebagai tempat mengabdikan diri.
Hal ini dapat kita buktikan dengan mengamati dalam bahasa
Jawa, seperti Gusti Raja, Gusti Putriyang kemudian muncul
istilah Gusti Allah. Selain itu, juga dari satu sumber disebutkan, bahwa
sebelum perkataan Tuhan diperkenalkan kepada rakyat Indonesia, rakyat Indonesia
telah ber-Tuhan, akan tetapi tidak disebut dengan perkataan Tuhan. Di Jawa
dikenal perkataan Pangeran. Tuhan atau Pangeran dalam bahasa Jawa sering
digambarkan sebagai :
Gesang tanpo roh, kuwaos tanpo piranti, tan wiwitan daton
wekasan, tan keno kinoyo ngapo, ora jaman ora makam, ora arah ora enggon, adoh
tanpo wangenan, cedak tanpo gepokan (senggolan), ora njobo ora njero, lembut
tan keno jinumput, gede tan keno kiniro-kiro.
Yang artinya :
Hidup tanpa roh, kuasa tanpa alat, tanpa awal tanpa akhir,
tak dapat diapa-siapakan, tak kenal jaman maupun perhentian, tak berarah tak
bertempat, jauh tak terbatas, dekat tak tersentuh, tak diluar tak didalam,
halus tak terpungut, besar tak terhingga.
Kedatangan bangsa Barat dengan membawa agama Nasrani dan
usaha menerjemahkan Injil, khususnya kata Lord ( Yesus ) kedalam
bahasa Melayu, memberikan perubahan kata Tuan menjadi Tuhan. Hal ini terjadi
karena kata Tuan memiliki konotasi yang sifatnya duniawi, dan dengan diubahnya
kata tersebut menjadi kata Tuhan akan memberikan konotasi yang sifatnya
Spiritual.
* Bagaimana dengan Buddhisme ? Pada dasarnya dalam
Buddhisme tidak terdapat ajaran mengenai Tuhan dalam pemahaman pengertian sebagai
Penguasa, Pengatur alam semesta yang berkepribadian yang dipercaya
memiliki Super Power. Tidak ada satupun pengertian dari Tuhan diatas yang
dapat kita jumpai dalam teks-teks awal Buddhisme, kecuali beberapa sifat
tertentu.
Kata Ketuhanan merupakan kata yang memiliki awalan ke dan
akhiran an, ketika suatu kata dasar diberi imbuhan awalan ke dan akhiran
an, maka kata tersebut memiliki perubahan arti. Dalam hal ini kata Tuhan
yang merupakan kata benda, ketika ditambah dengan awalan ke dan akhiran an,
akan berubah menjadi kata sifat. Dengan kata lain, kata “Ketuhanan”
berarti sifat-sifat atau hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan, bukan Tuhan itu
sendiri.
* Kesalahan umum mengenai pengertian dari kata Ketuhanan
Yang Maha Esa , sering diartikan sebagai Satu sosok Tuhan yang
tunggal ( tiada duanya ), jelas pengertian itu adalah salah. Jika yang dimaksud
adalah jumlah Tuhan yang satu, maka kata yang seharusnya digunakan adalah Eka,
bukan kata Esa. Karena kata Esa berasal dari bahasa Sansekerta/Pali, kata esa
bukan berarti satu atau tunggal dalam jumlah. Kata Esa berasal dari kata Etad
yang lebih mengacu pada pengertian keberadaan Yang Mutlak. Sedangkan kata Satu
dalam pengertian jumlah dalam bahasa Sansekerta maupun bahasa Pali ada kata
Eka.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa arti dari
Ketuhanan yang Maha Esa bukanlah berarti Tuhan yang hanya Satu, tetapi
Sifat-sifat luhur/mulia Tuhan yang mutlak harus ada, sekali lagi bukan
Tuhannya.
*Apakah hanya karena di kitab-kitab suci agama Buddha
tidak pernah ditemukan kata-kata Tuhan, sehingga agama Buddha dianggap tidak
ber-Tuhan ? (Atheis). Pada dasarnya konsep Ketuhanan dalam Kitab
Suci agama Buddha tidak diterjemahkan dalam kata Tuhan karena untuk menghindari
pemahaman yang bias. Nibbana sebagai konsep Ketuhanan dalam agama
Buddha selalu ditulis dalam bahasa aslinya untuk menghindari salah persepsi.
*Sesungguhnya dan ini adalah fakta, bahwa didalam Kitab
Suci Nasrani dalam bahasa aslinya Ibrani, menyebut Tuhan sebagai Yahwe,
sedangkan Al Quran menyebut Tuhan denganAllah, Weda/Hindu menyebut Tuhan
dengan Sang Trimurti. Jadi, atas dasar apa kata Yahwe, Allah, Sang
Trimurti lalu diterjemahkan menjadi kata Tuhan, apakah sosok Tuhannya sama
? Berbeda dengan kata Water, Sui, Banyu yang bisa diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia dengan kata Air karena mengacu pada benda yang sifat dan bentuknya
sama.
*Lalu apakah Tuhan dari agama-agama tersebut mengacu
pada Tuhan yang sama ?Tentu jawabnya TIDAK !, karena pada prinsipnya
setiap agama memiliki konsep yang berbeda dan cukup signifikan. Kalau toh ada
seseorang yang mengatakan bahwa Tuhan dari agama-agama yang berlainan itu
adalah sama saja/Tuhan yang sama, lalu mengapa Tuhan yang sama itu memberikan aturan-aturan,
perintah-perintah, wahyu, Firman yang sangat berbeda diantara agama-agama
tersebut, yang justeru tak jarang pula perbedaan itu menimbulkan
perdebatan-perdebatan, perpecahan bahkan peperangan diantara UmmatNya? Oleh
karena itu, wajar dan sah saja bila konsep Tuhan didalam agama Buddha berbeda
dengan konsep Tuhan di agama-agama lain.
Agama Buddha berlawanan dengan kebanyakan agama yaitu memberi
pelajaran Jalan Tengah dan membuat AjaranNya Homocentris (berpusat
pada manusia) yang berlawanan dengan kepercayaan-kepercayaan Theocentris (berpusat
pada Tuhan). Dengan demikian Agama Buddha adalah Introvert (melihat
ke dalam) dan berhubungan dengan pembebasan individu. Dhamma harus
direalisasikan oleh diri sendiri (Sandittiko).
No comments:
Post a Comment