Wei Tuo Phu Sa (Skanda Bodhisattva).
Wei Tuo adalah Bodhisattva pelindung Dharma yang
biasanya dapat kita jumpai arcanya di samping Buddha Sakyamuni atau
di samping/membelakangi Maitreya Bodhisattva. Bodhisattva ini digambarkan
dengan pakaian perang lengkap dan tangannya memegang gada penakluk iblis,
dengan wajah tampan dan mengenakan seragam dewa perang dengan memegang sebilah
ruyung yaitu sejenis pedang yang berjeruji dan mengenakan selendang dewata. Wei
Tuo sering juga ditampilkan sebagai malaikat pintu ( MEN SIEN ) yang menjaga
vihara-vihara atau kelenteng-kelenteng Buddha, berdampingan dengan Cie Lan yang
bermuka hitam dan berjenggot, memegang kampak. Kadang-kadang Wei Tuo juga
dipuja tersendiri.
Hari lahirnya diperingati pada tanggal 17 bulan 3 Imlek. Cie
Lan kadang-kadang ditampilkan sebagai Kuan Kong yang juga
dihormati dikalangan Buddhis dan disebut Fo Fak (Bodhisattva Pelindung). Wei
Tuo adalah komandan dari 31 jenderal langit dibawah She Ta Tien Wang/raja
langit. Beliau bergelar Fo Fak Phu Sa (Bodhisattva pelindung ajaran Buddha),
pelindung vihara-vihara, dan pelindung kitab suci ajaran Buddha. Di
vihara-vihara Mahayana arca Wei Tuo di tempatkan tersendiri menghadap ke ruang
utama vihara (Ta Siung Pau Tien).
Menurut buku-buku ajaran Buddha, Wei Tuo adalah putra
seorang raja langit (Tien Wang) yang karena kebajikannya, Sakyamuni Buddha
mengangkat putranya sebagai pelindung Dharma ketika menaiki nirvana. Sebab itu
ia berkewajiban melindungi anggota-anggota Sangha apabila mereka mengalami
ganguan mara, si penggoda. Dan apabila terjadi perselisihan antara berbagai
sekte. Wei Tuo menjalankan tugasnya secara damai. Dalam bahasa sansekerta, Wei
Tuo disebut Skandha. Arcanya sering ditemukan di candi-candi kecil yang
terletak di tikungan jalan, untuk melindungi si pemakai dari gangguan
iblis.
Wei Tuo adalah satu-satunya dewa yang mendapat gelar "Bodhisattva
(phu sa)". Ini disebabkan karena beliau diramalkan di masa yang akan
datang, akan diangkat menjadi Buddha Rucika, yang merupakan
Buddha terakhir dari ribuan Buddha jaman ini.
Dalam kisah puteri Miao Shan, beliau adalah seorang panglima
tertinggi (Goan Swe) yang melindungi puteri Miao Shan dalam merealisasi
pembebasan. Namun, dalam salah satu tulisan suhu yang saya pernah baca,
disebutkan bahwa kisah Miao Shan hanyalah mitos, Avalokitesvara yang sesungguhnya
bukanlah puteri Miao Shan.
Dalam kisah lain, beliau adalah pangeran yang menjadi
pelindung Dharma, beliau mengalahkan para siluman yang berusaha mencuri
relik Sakyamuni Buddha.
Dalam kisah lainnya lagi, beliau adalah Goan-Swe dari 34 Jenderal
Langit (maaf jika salah!), beliau merupakan salah satu dari 24 Pengawal
Langit (maaf jika salah) di bawah 4 Raja Langit. Jika kita
melihat statusnya sebagai Pengawal Langit maka beliau adalah seorang Dewa
(masih belum terbebas dari 6 alam samsara) bukan seorang Bodhisattva.
Namun kita harus ingat, banyak para dewa yang telah menjadi
pelindung Dharma (Dharmapala) setelah mereka berikrar untuk menapaki jalur
bodhisattva sehingga mereka telah mencapai, paling tidak adalah
Bodhisattva Bhumi. Dalam Vajrayana, Bodhisattva mulai dari Bhumi disebut mereka
yang mempunyai mata kebijaksanaan. Setelah mencapai Bhumi, progress mereka tak
akan mundur lagi sampai mencapai Buddha yang sempurna. Mereka banyak melakukan
kebajikan. Jika kita berjodoh dengan mereka maka kita sering mendapat
pertolongan dari mereka. Bodhisattva Bhumi dapat melakukan 100 emanasi (100
perwujudan di tempat/alam yang berbeda tetapi pada waktu yang sama), mereka
juga dapat melihat Buddha.
Di altar kita bila telah mempersemayamkan Dewa Kwan kong
pasti ada pasangannya yaitu Dewa Wei tuo.
Di samping Bodhisattva dan Arahat, dalam agama Buddha
dikenal banyak sekali makhluk surgawi yang mengemban misi mulia melindungi
Buddha Dharma. Mereka secara tulus berikrar menjadi Dharmapala (Pelindung Dharma)
dan pelindung praktisi Buddha Dharma yang tekun.
Di antara sekian banyak dewa itu terdapat satu sosok
Dharmapala yang sangat menonjol. Dalam tradisi Mahayana Tiongkok, dewa yang
berasal dari tradisi India kuno ini sama terkenalnya dengan Dewa Kwan Kong
(Guan Yu) yang juga merupakan salah satu Dharmapala.
Bila mengunjungi vihara Mahayana Tiongkok, saat melangkahkan
kaki memasuki bangunan pertama vihara, figur pertama yang berhadapan dengan
kita adalah Bodhisattva Maitreya dengan deretan Empat Maharaja Dewa dari Surga
Caturmaharajika di kedua sisi. Masuk lagi ke dalam, ada satu figur yang membelakangi
Bodhisattva Maitreya, dengan posisi berdiri sambil memegang tongkat Vajra.
Seorang jendral perang berpenampilan gagah perkasa, namun bermimik muka bak
seorang putra remaja. Figur ini menghadap ke dalam vihara berhadapan dengan
rupang Buddha. Dialah Dharmapala Veda (Skanda), jendral surgawi yang berikrar
sebagai Pelindung Dharma dan Sangha. Ada pula vihara yang menempatkan rupang
Dharmapala Veda ini berpasangan dengan rupang Dewa Kwan Kong.
JENDRAL VEDA,
Veda ini sebenarnya adalah salah satu dari delapan jendral
surgawi di bawah pimpinan Raja Dewa Virdhaka – salah satu Empat Maharaja Dewa
Surga Caturmaharajika dari penjuru selatan. Setiap Empat Maharaja Dewa di empat
penjuru Surga Caturmaharajika memiliki 8 jendral surgawi. Dari 32 jendral
surgawi ini, Dharmapala Veda adalah panglima tertinggi. Meskipun merupakan
makhluk alam Surga Karmadhatu (alam nafsu), Jendral Veda telah mempraktikkan
brahmacari (perilaku suci) sehingga paras mukanya bagaikan seorang remaja dan
tidak ternoda oleh kenikmatan alam surgawi.
Jendral Veda disebut juga dengan nama Dewa Skanda, sedang
Buddhisme Tiongkok menyebutnya sebagai Bodhisattva Weituo. Istilah Weituo
merupakan transliterasi dari kata Veda. Para umat Mahayana Tiongkok meyakini
Gunung Tianmu (Tianmushan) di Propinsi Zhejiang, Tiongkok, sebagai tempat
Dharmapala Veda membabarkan Dharma.
Adapun awal munculnya pemujaan Jendral Veda di vihara-vihara
Tiongkok sangat erat hubungannya dengan kisah nyata dalam Daoxuan Lushi
Gantonglu (Catatan Kontak Batin Bhiksu Lu Daoxuan) yang ditulis oleh Master
Daoxuan, pendiri mazhab Vinaya di Tiongkok. Saat itu Bhiksu Daoxuan banyak
berjasa dalam penyusunan literatur Vinaya serta menjalani disiplin Vinaya yang
ketat. Moralitas kebajikan Daoxuan menggetarkan batin makhluk alam dewa sehingga
seorang dewa dari Surga Caturmaharika datang mengunjungi beliau.
Adapun kontak batin dengan makhluk alam dewa secara
perlahan-lahan mulai muncul setelah beliau menyelesaikan kitab “Xu Gaoseng
Zhuan” (Lanjutan Riwayat Bhiksu Mulia) dan “Guang Hong Ming Ji” (Kumpulan
Perluasan Pembabaran Ajaran Terang).
Para dewa mengetahui bahwa usia kehidupan Daoxuan akan
segera berakhir, maka satu demi satu berdatangan demi melengkapi berbagai topik
vinaya yang belum sempat beliau selesaikan. Dewa pertama yang datang berkunjung
memperkenalkan diri sebagai dewa yang mengemban tugas melindungi Buddha Dharma
dan merupakan utusan dari Jendral Veda. Dewa tersebut berkata, “Jendral Veda
sangat tekun dalam melindungi Buddha Dharma di 3 benua. Bila terdapat
perselisihan yang riskan di ruang lingkup agama Buddha, maka Jendral Veda akan
memberi nasehat untuk mendamaikan perselisihan itu. Oleh karena itu, beliau
sangat sibuk hingga belum sempat datang berkunjung, sebab itu mengutus kami
terlebih dahulu untuk menyampaikan hormat, namun tidak lama kemudian beliau
pasti akan datang.”
Dewa kedua yang datang berkunjung memperkenalkan diri
menyatakan telah mengikuti Jendral Veda sejak masa Buddha Kasyapa. Dewa ini
berkata bahwa Jendral Veda telah menjalani kehidupan suci dan tidak melekat
pada kenikmatan surgawi. Beliau silih berganti mengunjungi 4 benua (Jambudwipa
di penjuru selatan, Purvavideha di penjuru timur, Aparagodaniya di penjuru
barat dan Uttarakuru di penjuru utara) untuk memberi perlindungan kepada para
bhiksu.
Berbeda dengan kondisi di Uttarakuru, ajaran Buddha hanya
ada di tiga benua lainnya, namun meski demikian anggota Sangha di tiga benua
ini kerap melakukan pelanggaran dan bertindak tidak sesuai dengan Dharma.
Karena Buddha pernah berpesan agar selalu melindungi Buddha Dharma, maka para
dewa pun tidak berani bersikap lalai dalam menjalankan misi mulia ini. Oleh
karena itu, meskipun para bhiksu banyak melakukan pelanggaran sila, namun bila
mereka melakukan satu kebajikan saja, maka pelanggaran-pelanggaran tersebut
tidak akan dipersoalkan [oleh para dewa]. Meskipun para dewa dapat merasakan
aroma busuk alam manusia menebar sejauh 400.000 mil hingga ke atas langit,
namun karena pesan dari Buddha pulalah maka para dewa tetap berkenan
mengunjungi alam manusia untuk memberi perlindungan. Lantas, Jendral Veda
adalah satu dari 32 jendral surgawi yang paling gigih dalam melindungi Buddha
Dharma. Setiap ada iblis Mara yang mengganggu para bhiksu, maka beliau akan
segera datang untuk melindungi dan menyadarkan sesuai dengan sikon yang tepat.
Bila beliau menemui Empat Raja Dewa, maka Raja Dewa akan menyambut beliau
dengan sikap berdiri sebagai tanda hormat atas kegigihannya.
Akhirnya Jendral Veda sendiri datang mengunjungi Daoxuan.
Jendral Veda lalu bercerita tentang kemerosotan agama Buddha di tanah India,
dan perkembangannya di wilayah Tiongkok. Menurut beliau, para bhiksu di
Tiongkok kerap melanggar sila namun masih memiliki rasa bersalah dan melakukan
penyesalan. Meski batin mereka sering melakukan pelanggaran, namun perilakunya
masih berusaha menjaga Sila. Itu pula sebabnya Jendral Veda sering memberi
pesan kepada para dharmapala lain bahwa asalkan terdapat satu kebajikan saja
yang dilakukan oleh para bhiksu, maka lupakan saja seratus kesalahannya. Jika
melihat ada yang melakukan pelanggaran, walau sampai meneteskan air mata
(sedih, karena melihat pelanggaran yang dilakukan para bhiksu tersebut), tetap
harus menjaga dan melindungi para pelanggar itu, agar tidak disesatkan oleh
para iblis Mara hingga meninggalkan Buddhasasana.
Menurut Dharmapala Veda, pelanggaran Sila yang dilakukan
oleh bhiksu di dunia kita ini (benua Jambudwipa) masih tidak seberapa
dibandingkan dengan bhiksu di benua Aparagodaniya di penjuru barat. Di
Aparagodaniya, pemimpin vihara sangat berkuasa dan otoriter, mereka sanggup
memobilisasi bhiksu yang berjumlah puluhan juta orang, hingga raja pun tidak
sanggup melawan mereka. Mereka menyembunyikan emas di bawah stupa, dan di dapur
menumpuk kepala ikan bagaikan gunung tingginya. Usus kambing menggantung lebih
banyak daripada yang ada di tempat penjagalan. Namun dalam kondisi seperti
inipun Dharmapala Veda masih berusaha melindungi mereka agar tidak semakin
disesatkan oleh Mara. Bayangkan, betapa besar belas kasih beliau kepada para
anggota Sangha dan betapa tegarnya beliau menahan diri agar tidak terpancing
amarah melihat perilaku buruk para bhiksu sebagai realisasi atas ikrar agung
untuk selalu melindungi Buddhasasana.
Pentingnya Rasa Malu dan Menyesal.
Hal lain yang menarik tentang Dharmapala Veda adalah kisah
pertolongan beliau kepada Bhiksu Miaofeng (tradisi Chan) pada masa dinasti Ming
(abad 16). Miaofeng adalah seorang terpelajar, namun setelah menyadari bahwa
ilmu pengetahuan duniawi tidak sanggup menjawab hakekat hidup secara tuntas, ia
kemudian memutuskan untuk menjadi bhiksu.
Setelah menjadi bhiksu, Miaofeng berlatih dengan tekun.
Namun setelah melewati satu masa, ia merasa masih belum mencapai kemajuan yang
berarti. Salah satu kelemahannya adalah sering mengantuk bila sedang
bermeditasi. Dengan menyadari kekurangannya ini, Miaofeng lalu bertekad untuk
berlatih di tepi jurang dengan pertimbangan rasa takut untuk terjatuh ke dasar
jurang akan membuatnya selalu terjaga.
Saat pertama bermeditasi, terlihat cukup berhasil, ia
sanggup mempertahankan kesadarannya dalam jangka waktu yang cukup lama. Namun
setelah melewati satu sesi waktu, akhirnya rasa kantuk menyerang dan benar saja
dalam sekejap mata tubuhnya langsung terhempas ke dasar jurang. Ia tersentak, “Matilah
aku sebelum mencapai keberhasilan!” Namun pada detik-detik yang
menegangkan itu, tiba-tiba tubuhnya disanggah oleh sepasang tangan.
“Siapa yang menolongku?”
Tidak terlihat sosok makhluk satu pun, hanya terdengar
sebuah suara menjawab, “Wei tuo, sang Pelindung Dharma.”
Miaofeng bertanya lebih lanjut, “Mengapa menolongku?”
Weituo menjawab, “Siapapun yang menjadi praktisi
sejati, aku akan melindunginya. Inilah ikrarku terhadap Buddha.”
Mendengar jawaban ini, Miaofeng merasa sangat senang, lantas
dengan rasa bangga bertanya, “Di dunia ini ada berapa banyak praktisi
sejati sepertiku?”
Weituo menjawab, “Jumlahnya sebanyak pasir di Sungai
Gangga. Karena melihat ketekunanmu, aku melindungimu. Tapi ternyata kamu malah
menjadi sombong. Mulai sekarang, aku bersumpah tidak akan melindungimu lagi
selama dua puluh kehidupan.”
Miaofeng yang awalnya begitu bangga disebut sebagai praktisi
sejati, justru membuat Weituo kecewa. Semakin dipikirkan, Miaofeng semakin
merasa malu dan bersalah, timbullah rasa penyesalan dalam dirinya. Ia lalu
kembali ke tepi jurang untuk kembali bermeditasi dengan lebih tekun daripada
sebelumnya. Sialnya, rasa kantuk masih saja datang menyerang. Ia terhempas
untuk kedua kalinya. Kali ini dengan pasrah ia berkata dalam hati, “Tidak ada
lagi yang menolongku kali ini.” Di tengah keputus-asaan ini, ternyata muncul
lagi sepasang tangan yang sebelumnya pernah menolongnya.
“Bukankah selama dua puluh kehidupan tidak akan melindungiku
lagi, mengapa sekarang kembali menolongku?” demikian tanya Miaofeng.
“Karena rasa bersalah dan penyesalan yang kau lakukan telah
melampaui dua puluh kehidupan,” jawab Weituo.
Kisah Miaofeng ini mengajarkan kita bahwa rasa malu dan
menyesal adalah sangat penting bagi praktisi Dharma, pun melukiskan betapa
luhur dan konsistennya jiwa Weituo (Dharmapala Veda) dalam melaksanakan Jalan
Bodhisattva sebagai Pelindung Dharma yang tidak memendam rasa kecewa ataupun
mencampakkan praktisi yang berusaha memperbaiki diri.
Ikrar agung sebagai Pelindung Dharma sesungguhnya telah
muncul sejak kalpa yang tak terhingga di masa lalu. Ikrar agung inilah yang
menempatkan sang Jendral Surgawi ini sebagai Bodhisattva. Pada masa kalpa lalu
yang tak terhingga, Veda merupakan salah satu dari seribu putra Raja
Cakravartin yang bernama Fayi. Seribu putra raja ini kemudian dipastikan akan
menjadi Buddha di era kalpa Bhadra, dengan Fayi sebagai calon Buddha yang
keseribu. Sebagai Buddha terakhir di kalpa Bhadra.
Veda berikrar untuk selalu muncul dalam wujud sebagai
pelindung Buddha Dharma. Sebagaimana diketahui, masa sekarang ini adalah masa
kalpa Bhadra. Buddha pertama di era ini adalah Buddha Krakuchanda, selanjutnya
adalah Buddha Kanakamuni, Buddha Kasyapa dan Buddha Sakyamuni. Inilah empat
Buddha yang telah muncul di era kalpa Bhadra. Buddha ke-5 adalah Bodhisattva
Maitreya, sedangkan Bodhisattva Veda adalah Buddha ke-1.000 dengan sebutan
Buddha Rucika. Kata Rucika mengandung makna tangisan haru. Karena melindungi
Dharma dan membantu para makhluk hidup mencapai pencerahan, Veda menangis haru
dalam kesukacitaan, inilah makna nama Buddha Rucika.
Demikianlah keagungan Dharmapala Veda, Pelindung Dharma dan
calon Buddha yang memiliki ikrar luhur. Sebagai siswa Buddha, kita sudah
sepatutnya menjadikan Dharmapala Veda sebagai suri tauladan untuk selalu
belajar dan berlatih dalam Dharma, agar Buddha Dharma dapat bertahan selamanya
di dunia ini serta senantiasa hidup dalam batin setiap makhluk