Guan Yu, meskipun memiliki sifat-sifat luhur dan berkebajikan, namun karena semasa hidupnya banyak melakukan pembunuhan, maka setelah meninggal beliau terlahir di alam hantu. Seperti dikatakan oleh Master Ch’an Hsuan Hua, murid Mahaguru Xu Yun (Awan Kosong), dalam komentarnya pada Shurangama Sutra:
“Beberapa makhluk halus memiliki hati yang baik dan bertindak sebagai para Pelindung Dharma. Guan Di Gong adalah salah satu contohnya. Ia adalah makhluk halus yang kuat dan agung. Jenis makhluk halus ini melindungi dan menyokong Triratna. Mereka dapat menggunakan spiritual mereka untuk menuju ke kekosongan.”
“Ada puluhan ribu jenis makhluk halus. Guan Di Gong di Tiongkok adalah salah satu contoh dari seorang makhluk halus yang kaya raya. Namun setelah ia berlindung di dalam Buddha, maka ia dikenal sebagai Bodhisattva Sangharama, seorang Pelindung Dharma.”
Jadi ketika Guan Yu meninggal, Beliau terlahir kembali di alam preta, di mana dikisahkan bahwa Beliau mencari-cari kepalanya yang hilang. Setelah bertemu dengan Sang Bhiksu, Beliau tersadar akan kesalahan-kesalahannya, menjadi Pelindung Dharma dan mendapat Trisarana. Beliau menjadi tercerahkan dan banyak berbuat bajik sehingga terlahir kembali di alam Deva, sebagai Pelindung Dharma juga.
Mengenai perang, ada satu kisah dalam kitab suci Tipitaka. Suatu hari, Sinha, seorang tentara, mengunjungi Guru Buddha dan mengatakan, “O Bhagava, saya adalah seorang tentara yang ditunjuk oleh raja untuk menegakkan hukum dan berperang. Guru Buddha mengajarkan cinta kasih yang universal, kebaikan, dan kasih sayang untuk makhluk yang menderita. Apakah Buddha mengizinkan pemberian hukuman untuk para penjahat? Dan juga, apakah Buddha menyatakan bahwa berperang demi melindungi rumah, istri, anak-anak, dan harta kita adalah salah? Apakah Buddha mengajarkan agar kita menyerahkan diri sepenuhnya? Apakah saya harus menderita dengan melakukan apa yang disenangi oleh para pelaku kejahatan dan memberikan secara patuh kepadanya yang mengancam akan mengambil secara paksa apa yang menjadi milik saya? Apakah Buddha menetapkan bahwa semua perselisihan termasuk berperang demi alas an-alasan yang pantas seharusnya dilarang?” Buddha menjawab, “Mereka yang pantas dihukum harus dihukum. Dan mereka yang pantas ditolong wajib ditolong. Tidak melukai makhluk hidup apapun, tetapi harus adil, penuh dengan cinta dan kebaikan.” Keputusan ini tidaklah bertentangan karena orang yang dihukum atas kejahatannya akan menderita atas lukanya bukan karena niat jahat sang hakim namun dikarenakan oleh tindakan jahatnya itu sendiri. Tindakan jahat itu sendiri yang telah mengakibatkan luka yang diberikan oleh sang penegak hukum. Jika seorang hakim memberikan hukuman, dia seharusnya tidak menyimpan rasa benci di hatinya. Jika seorang pembunuh dieksekusi mati, dia seharusnya menyadari bahwa hukumannya itu adalah akibat perbuatannya sendiri.
Dengan pemahaman ini, dia tidak perlu lagi meratapi nasibnya tetapi dapat menenangkan pikirannya. Guru Buddha melanjutkan, “Buddha mengajarkan bahwa segala perang di mana terjadi pembantaian terhadap saudara-saudara sendiri adalah sangat disayangkan sekali. Akan tetapi, Buddha tidak mengajarkan bahwa mereka yang terlibat perang untuk memelihara perdamaian dan ketentraman, setelah menggunakan berbagai cara untuk menghindari konflik, adalah pantas disalahkan.”
“Perjuangan tetap harus ada, karena pada hakikatnya hidup adalah perjuangan. Tetapi pastikan bahwa engkau tidak berjuang demi kepentingan pribadi hingga menentang kebenaran dan keadilan. Seseorang yang berjuang demi kepentingan pribadi untuk membesarkan dirinya sendiri atau memiliki kekuasaan atau kaya atau terkenal, tidak akan mendapatkan penghargaan. Tetapi, dia yang berjuang demi perdamaian dan kebenaran akan memperoleh penghargaan besar, bahkan kekalahannya akan dianggap sebagai kemenangan.”
“Kemudian Sinha, jika seseorang pergi berperang bahkan untuk alasan yang pantas, dia harus siap-siap untuk dibunuh musuhnya karena kematian adalah bagian dari resiko seorang prajurit. Dan jika karmanya itu mengikutinya, dia tidak memiliki alasan apapun untuk mengeluh. Tetapi jika dia yang menang, keberhasilannya akan dianggap besar, tetapi tidak peduli sebesar apapun itu, roda kehidupan akan berputar kembali dan membawa hidupnya hancur lebur seperti debu. Akan tetapi, apabila dia mampu berkompromi dengan dirinya sendiri dan melenyapkan semua kebencian di hatinya, dan jika dia dapat mengangkat musuhnya yang tertindas dan mengatakan pada mereka, ‘Marilah berdamai dan biarlah kita menjadi saudara,’ maka dia akan memperoleh kemenangan yang bukan keberhasilan sementara; dikarenakan buah kemenangan ini akan bertahan selamanya.”
“Seorang jenderal yang berhasil adalah seorang pemenang, Sinha, tetapi dia yang menaklukkan diri sendiri adalah pemenang sejati. Ajaran penaklukan diri sendiri ini, Sinha, tidaklah diajarkan untuk menghancurkan kehidupan orang lain, tetapi untuk melindungi mereka. Seseorang yang telah menaklukkan dirinya sendiri akan lebih siap menghadapi hidup, mengukir keberhasilan, dan meraih kemenangan daripada seseorang yang diperbudak diri sendiri. Seseorang yang pikirannya terbebas dari ilusi keakuan, akan lebih mampu bertahan dan tidak terjatuh dalam pertempuran hidup. Dia, yang tujuannya penuh kebenaran dan keadilan, tidak akan menemui kegagalan. Dia akan berhasil dalam usahanya dan keberhasilannya akan bertahan. Dia yang memiliki cinta akan kebenaran dalam hatinya akan hidup terus dan tidak akan menderita. Jadi, berjuanglah dengan berani dan bijaksana. Kemudian, engkau akan menjadi prajurit pembela kebenaran.”
Tidak ada keadilan dalam peperangan atau kekerasan. Ketika kita yang menyatakan perang, kita membenarkannya; namun ketika pihak lain menyatakan perang, kita menganggap itu tidak adil. Selanjutnya, siapa sebenarnya yang dapat membenarkan perang? Orang seharusnya tidak mengikuti hukum rimba untuk mengatasi masalah manusia. Namun ada kalanya perang terpaksa dilakukan untuk membela negara dan melindungi masyarakat. Maka dari itu dalam Arya-Bodhisattva-gocara-upavisaya-vikurvana-nirdesa Sutra dikatakan:
“Seorang raja, yang benar-benar siap untuk berperang, setelah menggunakan tindakan yang terampil ini, meskipun ia membunuh ataupun melukai prajurit lawan, tindakannya itu hanya menimbulkan ketidakbajikan kecil... Mengapa bisa seperti itu? Ini disebabkan karena tindakan tersebut disertai oleh motivasi welas asih dan melindungi. Dengan basis mengorbankan dirinya dan kekayaannya untuk melindungi para makhluk hidup dan demi keluarganya, istri dan anak-anaknya, maka kebajikan yang tidak terbatas akan muncul, bahkan meningkat tajam.”
Dari kutipan-kutipan sabda Sang Buddha di atas, dapat disimpulkan bahwa Guan Gong pergi berperang tidak bisa dijadikan alasan untuk menilai bahwa beliau bukan seorang Bodhisattva. Guan Yu pergi berperang dengan tujuan dan motivasi yang mulia, maka dari itu beliau memperoleh buah karma kebajikan sehingga dapat berjodoh dengan Buddha Dharma, menjadi pelindung Dharma dan nama-Nya dikenal dan dihormati berjuta-juta orang di seantero negeri selama berabad-abad lamanya. Walaupun sebelumnya beliau terlahir di alam preta karena bagaimanapun juga karma buruk membunuh itu tetap ada, tetapi kebajikan yang ditanamnya jauh lebih besar sehingga beliau mampu membangkitkan batin Bodhi dan menjadi Dewa Pelindung Dharma. Namun di atas semua itu, ajaran Buddha tidaklah pernah membenarkan perang dalam bentuk apapun juga dan seperti yang beliau ajarkan kepada Sinha, bahwa perdamaian dan kemenangan sejati.
No comments:
Post a Comment