BODHISATTVA MANJUSHRI.
Manjusri adalah Bodhisattva kebijaksanaan yang
sesungguhnya telah mencapai kebuddhaan. Ada dua perwujudan dari
Bodhisattva Manjusri, yaitu perwujudan pertama menggambarkan tangan
kanannya memegang pedang (lambang kebijaksanaan yang mendalam) sedangkan tangan
kirinya memegang setangkai bunga teratai biru yang diatasnya terdapat naskah
suci (Lambang pengetahuannya tentang jalan yang tak terbatas). Perwujudan kedua menggambarkan
Bodhisattva Manjushri dengan tangan kirinya memegang setangkai bunga teratai
biru dengan naskah suci diatasnya, seperti perwujudan diatas dan tangan
kanannya dalam sikap Varada Mudra (telapak tangan menghadap keatas, diletakkan
pada lutut kanan).
Dalam Buddhisme Mahayana Vajrayana, Bodhisattva Manjusri
merupakan Bodhisattva yang paling utama dari kedelapan Bodhisattva utama, yang
terdiri dari: Manjusri, Vajrapani, Avalokitesvara, Ksitirdarbha,
Sarvanivarana-Viskanbhi, Akasagarbha, Maitreya dan Samantabadra.
Untuk mendapatkan kebijaksanaan dan pengetahuan yang
mendalam, seseorang harus bermeditasi pada bodhisattva Manjusri dan membaca
mantranya secara terus menerus hingga tercapainya kebijaksanaan. Hal ini pernah
dialami oleh Acarya Shantideva ketika beliau belajar di Nalanda. Beliau adalah
salah seorang bhikkhu yang sangat sulit melafal naskah-naskah suci. Kemudian
gurunya menganjurkan agar beliau membaca mantra suci Bodhisattva Manjusri.
Siang dan malam Acarya Shantideva membaca mantra itu, hingga
akhirnya Bodhisattva menampakkan diri dan berkata :
“Apakah yang kamu lakukan Shantideva?”
“Besok pagi saya harus dapat menghafalkan sutra, itulah
sebabnya saya memohon kepada yang suciBodhisattva Manjusri”, jawab Shantideva.
“Apakah kamu tidak mengenal saya?”, tanya
Bodhisattva Manjusri.
“Tidak Bhante, saya tidak mengenal Bhante,”Jawab Shantideva.
“saya Bodhisattva Manjushri”
“Oh” Shantideva terkejut.
“Kemarilah, saya akan memberikan siddhi kebijaksanaan luhur
untuk memudahkan engkau menghafal sutra besok pagi dan saya juga akan
memberikanmu pengetahuan”, kata Bodhisattva Manjushri dan menghilang.
Keesokan harinya Acarya Shantideva dapat menghafalkan sutra
dengan baik dan dari tubuhnya memancarkan praba yang memukau hadirin yang
menyaksikannya.
Para Acarya di dalam menulis naskah-naskah ajaran selalu
memohon Adisthana dari Bodhisattva Manjusri. Beliau sering dipanggil dengan
“Namo Arya Manjushri Kumarabhuta” yang biasanya diletakkan pada awal (barisan
pertama) penulisan naskah, dengan harapan naskah itu dapat membawa mereka yang
membacanya menemukan kebijaksanaan dan pengetahuan yang mendalam.
Dalam Tantra tertinggi (Anutara Yoga Tantra) Bodhisattva
Manjushri Kumarabhairava dilaksanakan secara luas. Hal ini terbukti dengan
begitu banyak arca-arca Vajrabhairava maupun Manjushri Kunarabhuta dari masa
tersebut. Arca ini bisa kita dapatkan juga di komplek vihara Plaosan, pada
ruang sebelah kiri dimana arca Manjusri ada bersama arca Bodhisattva
Vajrapani dan Sang Buddha Sakyamuni.
Nama Bodhisattva Manjusri adalah perkataan bahasa
Sansekerta yang artinya “nasib baik yang mendatangkan kesuksesan yang
menakjubkan”. Di dalam agama Buddha Mahayana Bodhisattva Manjusri dianggap
pribadi Maha Agung yang telah memiliki kebijaksanaan tinggi diantara para
Bodhisattva. Oleh karena itu Bodhisattva Manjusri sering menjadi “Ibu” dari
segala Buddha, menjadi guru dari Bodhisattva yang jumlahnya tak terbilang, mendidik
dan membuat umat mencapai keberhasilan.
Bodhisattva Manjusri atau disebut Wen Shu Phu Sa merupakan
pencerminan watak kebijaksanaan yang luar biasa. Ia adalah Bodhisattva pertama
yang disebut dalam kitab-kitab suci, dan merupakan Bodhisattva terkemuka dan
terpenting dalam kalangan Buddha Mahayana. Di dalam Mahayana, bijaksana dan
welas asih adalah dua watak yang sangat penting. Manjusri adalah Bodhisattva
kebijaksanaan dan pengetahuan, sebab itu ia dianggap terkemuka, sejajar dengan
Avalokitesvara Bodhisattva atau Kuan Yin yang merupakan Bodhisattva belas
kasih.
Menurut versi Tionghoa, manjusri Bodhisattva telah memperoleh
petunjuk dari Sakyamuni Buddha bahwa tanggung jawab dan tugas
utamanya adalah untuk mengajarkan dan menunjukkan jalan keselamatan bagi
penduduk Tiongkok. Sebab itu ia memilih gunung Wu Tai San di propinsi Shan Shi,
menjadi salah satu dari empat gunung suci Buddhisme dia Tiongkok. Orang
Tionghoa menganggap Manjusri Bodhisattva sebagai seseorang arsitek surgawi yang
memberikan penerangan dan kecerdasan bagi siapa saja yang giat menjalankan
Dharma. Sebab itu ia juga disebut “Wen Shu Se Li Phu Sa atau disingkat “Wen Shu
Phu Sa”. Dengan pedangnya yang disebut pedang kebijaksanaan ia menyibak
kegelapan menyelimuti manusia. Lambangnya yang lain adalah buku kebijaksanaan,
sering digambarkan sebagai gulungan kertas tipis yang diikat dengan tali sutra.
Wen Shu Phu Sa dianggap sebagai guru kebijaksanaan dan
pengetahuan secara umum ditampilkan dalam keadaan samadi diatas seekor singa
yang berbulu hijau. Singa ini melambangkan nafsu liar yang hanya dapat
ditundukkan dengan meditasi. Sebab itu, melaksanakan meditasi adalah suatu
keharusan bagi mereka yang ingin mencapai bathin yang tenang dan terkendali.
Dan Wen Shu Phu Sa adalah Bodhisattva yang dapat membantu mereka dalam
mengatasi hambatan-hambatan rohani dalam menjalankan Dharma. Sebab itu gunung
Wu Tai Shan yang menjadi tempat tinggalnya, menjadi tempat berkumpul para
penganutnya, karena mereka percaya ditempat inilah para Bodhisattva berkumpul,
walaupun untukmencapai puncak Wu Tai Shan harus melalui perjalanan yang sulit
dan berliku-liku, namun mereka melakukannya karena ingin merasakan suatu
ketentraman batin “sempurna” dengan mencapai kuil Wen Shu yang berada di puncak
gunung tersebut.
Ada banyak kesaksian tentang penampakan sinar-sinar ajaib
yang disaksikan oleh banyak orang yang melakukan pemujaan di puncak gunung
tersebut. Oleh orang awam mungkin hal ini dianggap halusinasi dari mereka yang
mengalami kelelahan karena mendaki puncak tersebut. Tetapi harus diingat bahwa
kebanyakan orang-orang yang naik ke sana adalah mereka yang ingin mencari
“kebijaksanaan” dan umumnya telah menjalani meditasi dengan tekun, sehingga
tidak mudah goyah dan tidak mempunyai pikiran yang tidak stabil sehingga mudah
terpengaruh oleh gejala-gejala yang dapat menimbulkan halusinasi itu.
Kelenteng yang khusus diperuntukkan untuk pemujaan Wen Shu
Phu Sa jarang ada, kecuali yang di Wu Tai Shan itu. Tapi
patung-patungnya banyak terlihat di kelenteng-kelenteng yang bercorak
Buddhisme. Wen Shu Phu Sa seringkali ditampilkan dalam bentuk tiga serangkaian
dengan Sakyamuni Buddha dan Pu Sien Phu Sa, atau yang bersama dengan Kuan Yin
Phu Sa dan Pu sien Phu Sa. Dalam bentuk tiga serangkaian dengan Kuan Yin
biasanya, baik Pu Sien Phu Sa dan Wen Shu Phu Sa ditampilkan dalam wujud
wanita, Wen Shu Phu Sa naik hingga hijau dan Pu Sien naik gajah putih Wen Shu
Phu Sa melambangkan segi kebijaksanaan, Pu Sien sebagai lambang kegiatan cinta
kasih yang sempurna dan Kuan Yin sebagai lambang maha pengasih dan penyayang.
Ketiganya merupakan kesempurnaan dari ajaran Buddhisme Mahayana.
Dalam kisah puteri Miao Shan, singa hijau Wen Shu Phu Sa diceritakan
sebagai penjelmaan Dewa Api dan Gajah Putih Pu Sien adalah Dewa Air.
Kedua dewa ini menangkap rombongan raja Miao Zhuang yang akan berjiarah ke
Xiang Shan, tempat Miao Shan menjadi Bodhisattva, kedua kakak perempuannya juga
diangkat mendampinginya. Miao Shu (dalam versi yang lain disebut Miao Qing)
diangkat sebagai Wen Shu Phu Sa dan Miao Yin diangkat menjadi Pu Sien Phu Sa.
Hari lahir Wen Shu Phu Sa di rayakan pada tanggal 4 bulan 4
Imlek. Meskipun bagi orang awam kurang mendapat perhatian, tapi bagi
pengikut Buddhis aliran Chan (Zen) menganggapnya sebagai hari besar yang
diperingati secara khusus setiap tahunnya.
PANGERAN DHARMA ( MANJUSRI BODHISATTVA )
Menurut pemahaman Buddhisme Mahayana, Bodhisattva
Manjusri diwujudkan sebagai sosok Bodhisattva yang memegang sebatang pedang
kebijaksanaan (perlambang pemutus kekotoran batin) dan mengendarai singa
berbulu emas (simbol keperkasaan menaklukkan kekuatan jahat), kadangkala
dilukiskan juga dalam kondisi duduk di atas bunga teratai (melambangkan
kemurnian).
Dalam sutra Avatamsaka, Bodhisattva Manjusri
dikenal sebagai salah satu dari Tiga Makhluk Suci Avatamsaka, yakni:
Bodhisattva Manjusri (kiri), Buddha Sakyamuni (tengah) dan Bodhisattva
Samantabhadra (kanan).
Dalam Buddhisme Tiongkok, terdapat beberapa versi dalam
penyebutan nama Bodhisattva Manjusri, diantaranya adalah Wenshushili-Pusa dan
Manshusili-pusa, namun lebih populer dengan sebutan singat Wenshu Pusa. Nama
Manjusri sendiri memiliki beberapa makna, yakni Miaode (kebajikan menakjubkan),
Miaoshu (kepala menakjubkan – karena kebajikannya tertinggi di atas para
Bodhisattva) dan Miaojixiang (berkah Menakjubkan).
Jika Bodhisattva Avalokitesvara dikatakan sebagai manifestasi
welas asih terluhur, maka Bodhisattva manjusri dikenal sebagai manifestasi
kebijaksanaan tertinggi. Ini dikarenakan Bodhisattva Manjusri merupakan Buddha
masa lalu yang terus menerus bermanifestasikan dengan kekuatan kebijaksanaan
sejati. Dalam kitab Suranggama Samadhi Sutra, Buddha Sakyamuni menjelaskan
bahwa bodhisattva Manjusri merupakan Buddha masa lalu yang bernama Tathagata
Longzhong Shangzunwang.
Bodhisattva Manjusri juga muncul di masa kini sebagai Buddha
Huanxiziangmonibaoji dari tanah suci Buddha Changxi (kegembiraan abadi),
(Angulimala Sutra, bab 4). Pada sisi lain, juga bermanifestasi dalam wujud
Bodhisattva Manjusri sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.
Selain itu, ketika Buddha Amitabha masih berstatus sebagai
seorang raja Cakravartin, saat itu Bodhisattva Manjusri merupakan putera
mahkota ketiga. Buddha Ratnagarbha di masa itu meramalkan bahwa Manjusri akan
menjadi Buddha dengan nama Tathagata Samanthadarsin (Karuna Pundarika
Sutra, bab 3).
Dengan semua manifestasi ini, Bodhisattva Manjusri
mempertunjukkan kebijaksanaan sempurna dan upaya kausalya (metode tepat dan
praktis) membimbing semua makhluk agar tergerak untuk membangkitkan Bodhicitta
mencapai penerangan sempurna. Itulah sebabnya, Bodhisattva Manjusri dijuluki
sebagai ibu para Buddha dari tiga masa dan guru para Buddha.
Pada masa kehidupan Buddha Sakyamuni, Bodhisattva Manjusri
terlahir di kerajaan Kosala sebagai anak dari seorang kasta Brahmana bernama
Fande (kebajikan Brahma). Tubuhnya berwarna keemasan, memiliki 32 fisik manusia
unggul dan dilahirkan dari sisi sebelah kanan tubuh ibunya. Makna nama MiaoJixiang
(berkah menakjubkan) berasal dari munculnya sepuluh peristiwa sepuluh peristiwa
menakjubkan saat kelahirannya, yakni: turun Amrta (air surgawi) dari langit;
muncul tujuh permata dari dalam tanah; padi dalam lumbung berubah menjadi beras
emas; tumbuh bunga teratai di halaman rumah; cahaya gemilang memenuhi rumah;
ayam menetaskan burung hong; kuda melahirkan kirin; sapi melahirkan anak sapi
langka; babi melahirkan longtun (babi berwujud naga); muncul gajah bergading
enam.
Manjusri dikenal memiliki kebijaksanaan dan kemampuan
berbicara yang unggul, sanggup mengalahkan para penganut dari 96 aliran tirtika
dalam hal perdebatan. Setelah menjadi siswa Buddha Sakyamuni, Manjusri berhasil
menguasai suatu tingkat samadhi Shuranggama. Dengan kekuatan samadhi Shuranggama
ini Manjusri melakukan berbgaia metode yang sangat bijaksana dalam membimbing
para makhluk, bahkan setelah 450 tahun Parinirvana Buddha Sakyamuni, Manjusri
masih tetap melakukan tugas pengajaran Dharma. Dalam jajaran siswa tingkat
Bodhisattva, beliau menduduki posisi sebagai siswa yang paling terkemuka dalam
hal kebijaksanaan. Oleh karena itu, beliau juga dijuluki sebagai pangeran
Dharma Manjusri. Sekitar tiga ratusan sesi pembabaran filosofi Mahayana oleh
Buddha Sakyamuni, Manjusri selalu hadir sebagai ketua dari komunitas
Bodhisattva.
Dalam Vimalakirti Nirdesa Sutra misalnya, saat para siswa
Sravaka dan Bodhisattva merasa berkecil hati untuk bertemu Vimalakirti karena
tidak sanggup berhadapan dengan kemampuan berbicaranya yang menakjubkan, Manjusri
tampil mengemban tugas ini. Pertemuannya dengan Vimalakirti menjadi sebuah
ajang perbincangan Dharma yang menakjubkan. Tidak hanya dalam satu sutra, dalam
berbagai sutra juga tercantum tentang kemampuan pembabaran Dharma yang dimiliki
Manjusri yang dapat dipastikan akan membuat kita berdecak kagum. Buddha
Sakyamuni sendiri kerap menceritakan kehidupan lalu Bodhisattva Manjusri,
bahkan dalam salah satu kehidupan lampau, Sakyamuni pernah menjad murid
Manjusri.
Dimata penganut Buddhisme Tiongkok, Bodhisattva Manjusri
memiliki posisi yang cukup istimewa. Perlu diketahui bahwa di Tiongkok
terdapat empat Gunung Buddha yang diyakini sebagai tempat pembabaran Dharma
empat Bodhisattva Agung, yakni Putuo Shan (Bodhisattva Avalokitesvara), Jiuhua
Shan (Bodhisattva Ksitigarbha), Emei Shan (Bodhisattva Samantabadra), sedang
Wutai Shan atau juga dikenal dengan sebutan Qingliang Shan (gunung sejuk)
sebagai tempat pembabaran Dharma Bodhisattva Manjusri.
Dalam Avatamsaka Sutra bagian “Kediaman Para
Bodhisattva” disebutkan, “Di wilayah Timur, terdapat gunung Qingliang
(gunung sejuk). Semenjak lama gunung ini menjadi tempat kediaman para
Bodhisattva, dan sekarang ini Bodhisattva Manjusri bersama sekelompok
Bodhisattva lain sejumlah 10.000 orang menetap di gunung ini untuk membabarkan
Dharma.” Kemudian dalam Ratna-garbha Dharani Sutra disebutkan, “pada saat itu,
Bhagava berkata kepada Bodhisattva Guyhapada: setelah Parinirvanaku, diarah
timur laut dari Jambudwipa terdapat sebuah negeri bernama Mahacina. Di negeri
ini terdapat pegunungan yang bernawa Wuding (lima puncak). Bodhisattva Manjusri
berdiam di tempat ini untuk membabarkan Dharma kepada para makhluk hidup.
Terdapat juga makhluk dewa, naga, yaksha, raksasa, kinnara, maharoga, manusia
dan makhluk bukan manusia yang jumlahnya tak terbatas mengelilinginya,
menghormati dan memberi persembahan.”
Berbagai kisah keajaiban tentang jelmaan Beliau tidak
henti-hentinya bertebaran di seantero Wutai Shan. Baik sebagai wujud orang tua
maupun anak kecil, Manjusri menggunakan berbagai upaya kausalya untuk menjalin
ikatan jodoh karma dengan para makhluk hidup. Bahkan tokoh kharismatik Master
Xuyun pun dalam perjalanan san bu yi bai (tiga langkah satu sujud) ke Wutai
Shan sempat mendapat pertolongan dari Bodhisattva Manjusri dalam wujud seorang
pengemis. Patriak ke 4 dari mazhab Sukhavati, Master Fazhao, juga pernah
bertemu dengan Bodhisattva Manjusri beserta kemegahan viharanya di sebuah hutan
yang tidak dapat dilihat secara kasat mata saat berkunjung ke Wutai Shan.
Semua kisah yang bernuansa metafisik ini sungguh di luar
jangkauan pemahaman kita. Namun sebagai seorang umat Buddha yang berpandangan
benar, hendaklah kita melihat segala mukjijat yang dilakukan Bodhisattva
Manjusri sebagai upaya kausalya. Bodhisattva Manjusri adalah Bodhisattva adalah
Bodhisattva kebijaksanaan tertinggi, pada sisi lain kebijaksanaan itu mengalir
menjadi berbagai wujud tubuh penjelmaan yang semata-mata ditujukan demi manfaat
dan kebahagiaan semua makhluk. Tetapi, manifestasi Bodhisattva Manjusri sebenarnya
tidak hanya sebatas di Wutai Shan atau pada bentuk-bentuk tubuh jelmaan saja.
Saat kebijaksanaan transenden muncul dalam batin setiap makhluk hidup, maka
disitulah tempat bersemayam yang sesungguhnya dari Bodhisattva Agung ini. Sat
hati dan pikiran kita dalam keadaan bersih dan murni, disitulah akan tertampak
Pangeran Dharma ini.
Dalam Buddhisme Mahayana Vajrayana, Bodhisattva Manjusri merupakan Bodhisattva yang paling utama dari kedelapan Bodhisattva utama, yang terdiri dari: Manjusri, Vajrapani, Avalokitesvara, Ksitirdarbha, Sarvanivarana-Viskanbhi, Akasagarbha, Maitreya dan Samantabadra.
Untuk mendapatkan kebijaksanaan dan pengetahuan yang mendalam, seseorang harus bermeditasi pada bodhisattva Manjusri dan membaca mantranya secara terus menerus hingga tercapainya kebijaksanaan. Hal ini pernah dialami oleh Acarya Shantideva ketika beliau belajar di Nalanda. Beliau adalah salah seorang bhikkhu yang sangat sulit melafal naskah-naskah suci. Kemudian gurunya menganjurkan agar beliau membaca mantra suci Bodhisattva Manjusri.
Siang dan malam Acarya Shantideva membaca mantra itu, hingga akhirnya Bodhisattva menampakkan diri dan berkata :
Keesokan harinya Acarya Shantideva dapat menghafalkan sutra dengan baik dan dari tubuhnya memancarkan praba yang memukau hadirin yang menyaksikannya.
Para Acarya di dalam menulis naskah-naskah ajaran selalu memohon Adisthana dari Bodhisattva Manjusri. Beliau sering dipanggil dengan “Namo Arya Manjushri Kumarabhuta” yang biasanya diletakkan pada awal (barisan pertama) penulisan naskah, dengan harapan naskah itu dapat membawa mereka yang membacanya menemukan kebijaksanaan dan pengetahuan yang mendalam.
Dalam Tantra tertinggi (Anutara Yoga Tantra) Bodhisattva Manjushri Kumarabhairava dilaksanakan secara luas. Hal ini terbukti dengan begitu banyak arca-arca Vajrabhairava maupun Manjushri Kunarabhuta dari masa tersebut. Arca ini bisa kita dapatkan juga di komplek vihara Plaosan, pada ruang sebelah kiri dimana arca Manjusri ada bersama arca Bodhisattva Vajrapani dan Sang Buddha Sakyamuni.
Nama Bodhisattva Manjusri adalah perkataan bahasa Sansekerta yang artinya “nasib baik yang mendatangkan kesuksesan yang menakjubkan”. Di dalam agama Buddha Mahayana Bodhisattva Manjusri dianggap pribadi Maha Agung yang telah memiliki kebijaksanaan tinggi diantara para Bodhisattva. Oleh karena itu Bodhisattva Manjusri sering menjadi “Ibu” dari segala Buddha, menjadi guru dari Bodhisattva yang jumlahnya tak terbilang, mendidik dan membuat umat mencapai keberhasilan.
Bodhisattva Manjusri atau disebut Wen Shu Phu Sa merupakan pencerminan watak kebijaksanaan yang luar biasa. Ia adalah Bodhisattva pertama yang disebut dalam kitab-kitab suci, dan merupakan Bodhisattva terkemuka dan terpenting dalam kalangan Buddha Mahayana. Di dalam Mahayana, bijaksana dan welas asih adalah dua watak yang sangat penting. Manjusri adalah Bodhisattva kebijaksanaan dan pengetahuan, sebab itu ia dianggap terkemuka, sejajar dengan Avalokitesvara Bodhisattva atau Kuan Yin yang merupakan Bodhisattva belas kasih.
Menurut versi Tionghoa, manjusri Bodhisattva telah memperoleh petunjuk dari Sakyamuni Buddha bahwa tanggung jawab dan tugas utamanya adalah untuk mengajarkan dan menunjukkan jalan keselamatan bagi penduduk Tiongkok. Sebab itu ia memilih gunung Wu Tai San di propinsi Shan Shi, menjadi salah satu dari empat gunung suci Buddhisme dia Tiongkok. Orang Tionghoa menganggap Manjusri Bodhisattva sebagai seseorang arsitek surgawi yang memberikan penerangan dan kecerdasan bagi siapa saja yang giat menjalankan Dharma. Sebab itu ia juga disebut “Wen Shu Se Li Phu Sa atau disingkat “Wen Shu Phu Sa”. Dengan pedangnya yang disebut pedang kebijaksanaan ia menyibak kegelapan menyelimuti manusia. Lambangnya yang lain adalah buku kebijaksanaan, sering digambarkan sebagai gulungan kertas tipis yang diikat dengan tali sutra.
Wen Shu Phu Sa dianggap sebagai guru kebijaksanaan dan pengetahuan secara umum ditampilkan dalam keadaan samadi diatas seekor singa yang berbulu hijau. Singa ini melambangkan nafsu liar yang hanya dapat ditundukkan dengan meditasi. Sebab itu, melaksanakan meditasi adalah suatu keharusan bagi mereka yang ingin mencapai bathin yang tenang dan terkendali. Dan Wen Shu Phu Sa adalah Bodhisattva yang dapat membantu mereka dalam mengatasi hambatan-hambatan rohani dalam menjalankan Dharma. Sebab itu gunung Wu Tai Shan yang menjadi tempat tinggalnya, menjadi tempat berkumpul para penganutnya, karena mereka percaya ditempat inilah para Bodhisattva berkumpul, walaupun untukmencapai puncak Wu Tai Shan harus melalui perjalanan yang sulit dan berliku-liku, namun mereka melakukannya karena ingin merasakan suatu ketentraman batin “sempurna” dengan mencapai kuil Wen Shu yang berada di puncak gunung tersebut.
Ada banyak kesaksian tentang penampakan sinar-sinar ajaib yang disaksikan oleh banyak orang yang melakukan pemujaan di puncak gunung tersebut. Oleh orang awam mungkin hal ini dianggap halusinasi dari mereka yang mengalami kelelahan karena mendaki puncak tersebut. Tetapi harus diingat bahwa kebanyakan orang-orang yang naik ke sana adalah mereka yang ingin mencari “kebijaksanaan” dan umumnya telah menjalani meditasi dengan tekun, sehingga tidak mudah goyah dan tidak mempunyai pikiran yang tidak stabil sehingga mudah terpengaruh oleh gejala-gejala yang dapat menimbulkan halusinasi itu.
Kelenteng yang khusus diperuntukkan untuk pemujaan Wen Shu Phu Sa jarang ada, kecuali yang di Wu Tai Shan itu. Tapi patung-patungnya banyak terlihat di kelenteng-kelenteng yang bercorak Buddhisme. Wen Shu Phu Sa seringkali ditampilkan dalam bentuk tiga serangkaian dengan Sakyamuni Buddha dan Pu Sien Phu Sa, atau yang bersama dengan Kuan Yin Phu Sa dan Pu sien Phu Sa. Dalam bentuk tiga serangkaian dengan Kuan Yin biasanya, baik Pu Sien Phu Sa dan Wen Shu Phu Sa ditampilkan dalam wujud wanita, Wen Shu Phu Sa naik hingga hijau dan Pu Sien naik gajah putih Wen Shu Phu Sa melambangkan segi kebijaksanaan, Pu Sien sebagai lambang kegiatan cinta kasih yang sempurna dan Kuan Yin sebagai lambang maha pengasih dan penyayang. Ketiganya merupakan kesempurnaan dari ajaran Buddhisme Mahayana.
Dalam kisah puteri Miao Shan, singa hijau Wen Shu Phu Sa diceritakan sebagai penjelmaan Dewa Api dan Gajah Putih Pu Sien adalah Dewa Air. Kedua dewa ini menangkap rombongan raja Miao Zhuang yang akan berjiarah ke Xiang Shan, tempat Miao Shan menjadi Bodhisattva, kedua kakak perempuannya juga diangkat mendampinginya. Miao Shu (dalam versi yang lain disebut Miao Qing) diangkat sebagai Wen Shu Phu Sa dan Miao Yin diangkat menjadi Pu Sien Phu Sa.
Hari lahir Wen Shu Phu Sa di rayakan pada tanggal 4 bulan 4 Imlek. Meskipun bagi orang awam kurang mendapat perhatian, tapi bagi pengikut Buddhis aliran Chan (Zen) menganggapnya sebagai hari besar yang diperingati secara khusus setiap tahunnya.
Menurut pemahaman Buddhisme Mahayana, Bodhisattva Manjusri diwujudkan sebagai sosok Bodhisattva yang memegang sebatang pedang kebijaksanaan (perlambang pemutus kekotoran batin) dan mengendarai singa berbulu emas (simbol keperkasaan menaklukkan kekuatan jahat), kadangkala dilukiskan juga dalam kondisi duduk di atas bunga teratai (melambangkan kemurnian).
Dalam sutra Avatamsaka, Bodhisattva Manjusri dikenal sebagai salah satu dari Tiga Makhluk Suci Avatamsaka, yakni: Bodhisattva Manjusri (kiri), Buddha Sakyamuni (tengah) dan Bodhisattva Samantabhadra (kanan).
Dalam Buddhisme Tiongkok, terdapat beberapa versi dalam penyebutan nama Bodhisattva Manjusri, diantaranya adalah Wenshushili-Pusa dan Manshusili-pusa, namun lebih populer dengan sebutan singat Wenshu Pusa. Nama Manjusri sendiri memiliki beberapa makna, yakni Miaode (kebajikan menakjubkan), Miaoshu (kepala menakjubkan – karena kebajikannya tertinggi di atas para Bodhisattva) dan Miaojixiang (berkah Menakjubkan).
Jika Bodhisattva Avalokitesvara dikatakan sebagai manifestasi welas asih terluhur, maka Bodhisattva manjusri dikenal sebagai manifestasi kebijaksanaan tertinggi. Ini dikarenakan Bodhisattva Manjusri merupakan Buddha masa lalu yang terus menerus bermanifestasikan dengan kekuatan kebijaksanaan sejati. Dalam kitab Suranggama Samadhi Sutra, Buddha Sakyamuni menjelaskan bahwa bodhisattva Manjusri merupakan Buddha masa lalu yang bernama Tathagata Longzhong Shangzunwang.
Bodhisattva Manjusri juga muncul di masa kini sebagai Buddha Huanxiziangmonibaoji dari tanah suci Buddha Changxi (kegembiraan abadi), (Angulimala Sutra, bab 4). Pada sisi lain, juga bermanifestasi dalam wujud Bodhisattva Manjusri sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.
Selain itu, ketika Buddha Amitabha masih berstatus sebagai seorang raja Cakravartin, saat itu Bodhisattva Manjusri merupakan putera mahkota ketiga. Buddha Ratnagarbha di masa itu meramalkan bahwa Manjusri akan menjadi Buddha dengan nama Tathagata Samanthadarsin (Karuna Pundarika Sutra, bab 3).
Manjusri dikenal memiliki kebijaksanaan dan kemampuan berbicara yang unggul, sanggup mengalahkan para penganut dari 96 aliran tirtika dalam hal perdebatan. Setelah menjadi siswa Buddha Sakyamuni, Manjusri berhasil menguasai suatu tingkat samadhi Shuranggama. Dengan kekuatan samadhi Shuranggama ini Manjusri melakukan berbgaia metode yang sangat bijaksana dalam membimbing para makhluk, bahkan setelah 450 tahun Parinirvana Buddha Sakyamuni, Manjusri masih tetap melakukan tugas pengajaran Dharma. Dalam jajaran siswa tingkat Bodhisattva, beliau menduduki posisi sebagai siswa yang paling terkemuka dalam hal kebijaksanaan. Oleh karena itu, beliau juga dijuluki sebagai pangeran Dharma Manjusri. Sekitar tiga ratusan sesi pembabaran filosofi Mahayana oleh Buddha Sakyamuni, Manjusri selalu hadir sebagai ketua dari komunitas Bodhisattva.
Dalam Vimalakirti Nirdesa Sutra misalnya, saat para siswa Sravaka dan Bodhisattva merasa berkecil hati untuk bertemu Vimalakirti karena tidak sanggup berhadapan dengan kemampuan berbicaranya yang menakjubkan, Manjusri tampil mengemban tugas ini. Pertemuannya dengan Vimalakirti menjadi sebuah ajang perbincangan Dharma yang menakjubkan. Tidak hanya dalam satu sutra, dalam berbagai sutra juga tercantum tentang kemampuan pembabaran Dharma yang dimiliki Manjusri yang dapat dipastikan akan membuat kita berdecak kagum. Buddha Sakyamuni sendiri kerap menceritakan kehidupan lalu Bodhisattva Manjusri, bahkan dalam salah satu kehidupan lampau, Sakyamuni pernah menjad murid Manjusri.
Dimata penganut Buddhisme Tiongkok, Bodhisattva Manjusri memiliki posisi yang cukup istimewa. Perlu diketahui bahwa di Tiongkok terdapat empat Gunung Buddha yang diyakini sebagai tempat pembabaran Dharma empat Bodhisattva Agung, yakni Putuo Shan (Bodhisattva Avalokitesvara), Jiuhua Shan (Bodhisattva Ksitigarbha), Emei Shan (Bodhisattva Samantabadra), sedang Wutai Shan atau juga dikenal dengan sebutan Qingliang Shan (gunung sejuk) sebagai tempat pembabaran Dharma Bodhisattva Manjusri.
Dalam Avatamsaka Sutra bagian “Kediaman Para Bodhisattva” disebutkan, “Di wilayah Timur, terdapat gunung Qingliang (gunung sejuk). Semenjak lama gunung ini menjadi tempat kediaman para Bodhisattva, dan sekarang ini Bodhisattva Manjusri bersama sekelompok Bodhisattva lain sejumlah 10.000 orang menetap di gunung ini untuk membabarkan Dharma.” Kemudian dalam Ratna-garbha Dharani Sutra disebutkan, “pada saat itu, Bhagava berkata kepada Bodhisattva Guyhapada: setelah Parinirvanaku, diarah timur laut dari Jambudwipa terdapat sebuah negeri bernama Mahacina. Di negeri ini terdapat pegunungan yang bernawa Wuding (lima puncak). Bodhisattva Manjusri berdiam di tempat ini untuk membabarkan Dharma kepada para makhluk hidup. Terdapat juga makhluk dewa, naga, yaksha, raksasa, kinnara, maharoga, manusia dan makhluk bukan manusia yang jumlahnya tak terbatas mengelilinginya, menghormati dan memberi persembahan.”
Berbagai kisah keajaiban tentang jelmaan Beliau tidak henti-hentinya bertebaran di seantero Wutai Shan. Baik sebagai wujud orang tua maupun anak kecil, Manjusri menggunakan berbagai upaya kausalya untuk menjalin ikatan jodoh karma dengan para makhluk hidup. Bahkan tokoh kharismatik Master Xuyun pun dalam perjalanan san bu yi bai (tiga langkah satu sujud) ke Wutai Shan sempat mendapat pertolongan dari Bodhisattva Manjusri dalam wujud seorang pengemis. Patriak ke 4 dari mazhab Sukhavati, Master Fazhao, juga pernah bertemu dengan Bodhisattva Manjusri beserta kemegahan viharanya di sebuah hutan yang tidak dapat dilihat secara kasat mata saat berkunjung ke Wutai Shan.
Semua kisah yang bernuansa metafisik ini sungguh di luar jangkauan pemahaman kita. Namun sebagai seorang umat Buddha yang berpandangan benar, hendaklah kita melihat segala mukjijat yang dilakukan Bodhisattva Manjusri sebagai upaya kausalya. Bodhisattva Manjusri adalah Bodhisattva adalah Bodhisattva kebijaksanaan tertinggi, pada sisi lain kebijaksanaan itu mengalir menjadi berbagai wujud tubuh penjelmaan yang semata-mata ditujukan demi manfaat dan kebahagiaan semua makhluk. Tetapi, manifestasi Bodhisattva Manjusri sebenarnya tidak hanya sebatas di Wutai Shan atau pada bentuk-bentuk tubuh jelmaan saja. Saat kebijaksanaan transenden muncul dalam batin setiap makhluk hidup, maka disitulah tempat bersemayam yang sesungguhnya dari Bodhisattva Agung ini. Sat hati dan pikiran kita dalam keadaan bersih dan murni, disitulah akan tertampak Pangeran Dharma ini.
No comments:
Post a Comment