Ajaran Agung dan Sempurna
Dewasa ini, kita dapat melihat bahwa semakin banyak
orang–orang di dunia mulai belajar Buddhisme (ajaran Buddha). Walaupun
demikian, tidak banyak dari mereka yang benar-benar memahami apa sebenarnya
Buddhisme itu. Oleh karena itu, hal ini sangatlah penting untuk dibicarakan.
Apa sebenarnya Buddhisme itu? Kita perlu memahaminya dengan jelas. Buddhisme
adalah sebuah ajaran yang agung dan sempurna, yang diajarkan langsung oleh Buddha
kepada semua makhluk hidup di dalam sembilan alam kehidupan. Mengapa kita
mengatakan bahwa Buddhisme adalah sebuah pendidikan? Pertama–tama, kita melihat
dari cara menyebut Buddha Shakyamuni sebagai “Guru Agung” kita sebagaimana
dialah yang pertama menemukan Buddhisme dan kita semua sebagai muridnya. Dari
sini, sangatlah jelas bahwa antara Sang Buddha dan kita memiliki ikatan guru
dan murid. Ikatan ini hanya ada di dalam proses mengajar.
Jika Buddhisme adalah ajaran, maka siapa sebenarnya Buddha?
Buddha berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti kebijaksanaan dan pencerahan.
Akan tetapi, kebijaksanaan yang dimaksud disini bukanlah kebijaksanaan seperti
yang telah kita pahami secara luas sampai saat ini. Secara umum, yang dimaksud
kebijaksanaan Buddha adalah sebuah kemampuan yang dengan luar biasa, dengan
sempurna, dan dengan benar mampu untuk memahami realitas kehidupan dan alam
semesta di masa yang lalu, sekarang, maupun di masa yang akan datang. Seseorang
yang memahami kebijaksanaan ini disebut sebagai Buddha. Buddha Shakyamuni
menjelaskan bahwa : semua makhluk hidup, termasuk kita sendiri, sejak lahir juga
memiliki bibit kebijaksanaan dan kemampuan ini. Dalam hal ini, Buddhisme
menganggap semua makhluk sama. Meskipun kita memiliki kemampuan yang sama,
namun saat ini kita tidak mampu melihat realitas kehidupan karena kebijaksanaan
dan kemampuan setiap orang berbeda.
Dalam komunitas kita, ada anggapan bahwa ada yang pintar dan
ada yang tidak, ada yang memiliki kemampuan yang hebat ataupun berbakat dan ada
yang kurang. Bagaimana hal seperti ini dapat muncul? Buddha menjelaskan bahwa
hal ini muncul dikarenakan kita membuat perbandingan berdasarkan delusi (pandangan
yang salah, khayalan). Bibit kebijaksanaan dan kemampuan kita hilang karena
tertutupi oleh delusi kita, tetapi tidak hilang secara utuh melainkan hanya
sementara. Jika kita mampu menyadari dan menghancurkan delusi ini, maka kita
akan menemukan kembali kemampuan itu. Karena alasan inilah, ajaran Buddha
mengajarkan kepada kita bagaimana cara untuk mengendalikan diri terhadap delusi
dan cara untuk menyingkapi bibit kebijaksanaan dan kemampuan kita.
Sering dijelaskan dalam Sutra-sutra Mahayana bahwa Buddha
tidak secara langsung membantu makhluk hidup. Jadi bagaimana caranya setiap
makhluk hidup bisa menjadi Buddha? Jawabannya adalah dengan usaha dari makhluk
hidup tersebut. Sang Buddha hanya membantu dengan menjelaskan realitas
bagaimana kita mendelusi diri kita sendiri. Setelah menyadari hal ini, kita
seharusnya dengan tekun mempraktikkan ajarannya untuk memperoleh pencerahan
tentang realitas yang sesungguhnya. Kita kemudian akan menjadi Buddha. Buddha
Shakyamuni dengan jelas memaparkan bahwa semua makhluk hidup bisa menjadi
Buddha.
Dari hal ini, kita dapat melihat bahwa Buddhisme adalah
sebuah ajaran. Bagaimanapun juga, seorang guru hanya dapat mengajarkan prinsip–prinsip dasar kepada kita, menjelaskan
pengalamannya dalam praktik dan pencapaiannya, dan menyarankan metode yang
bervariasi untuk membantu pencapaian kita. Sisanya bergantung pada kita.
Kitalah yang seharusnya bersemangat dan tekun berupaya. Sekali kita mengerti
bahwa Buddhisme adalah sebuah pendidikan, maka kita secara sadar akan
menganggap Buddha sebagai guru kita. Beranjak dari hal ini, kita harus mengerti
bahwa di wihara, kita tidak menganggap gambar ataupun rupa Buddha ataupun Bodhisattwa
sebagai dewa yang harus disembah. Kita melakukan puja (penghormatan) kepada
gambar ataupun rupa ini untuk dua alasan. Pertama, untuk mengingat dan sebagai
rasa terima kasih kita atas ajarannya yang sangat luar biasa. Kita sangatlah
beruntung dapat bertemu dan menerima ajarannya dalam masa kehidupan kita kali
ini.
Dikatakan dengan jelas dalam baris pembukaan sutra-sutra;
”Sangatlah sulit untuk bertemu dengan ajaran ini di dalam beribu–ribu masa yang
tidak terhingga/eon (kalpa).” Hutang terima kasih kita ini kepada Buddha lebih
seperti sebuah pengenangan, seperti yang dilakukan suku–suku Tionghoa kepada
leluhur mereka. Kita sadar bahwa tanpa leluhur–leluhur kita tidak akan ada saat
ini. Alasan kedua kita memuja adalah untuk mengikuti contoh yang agung. Buddha
Shakyamuni (Gautama) sebelumnya adalah manusia biasa seperti kita; kemudian dia
mampu mencapai pencerahan dan menjadi Buddha. Apa yang dapat menghentikan kita
untuk mencapai hal yang sama? Oleh karena itu, gambar ataupun rupang (patung)
Buddha dibuat untuk mengingatkan kita agar tekun mengejar tujuan ini. Gambar
ataupun rupa ini bukan sebagai dewa ataupun objek takhayul.
Di Vihara-Vihara Buddhis, gambar-gambar Buddha dan
Bodhisattva memiliki banyak penampilan. Hal ini sering memicu kesalahpahaman
yaitu Buddhisme [dianggap] tidak hanya sebagai agama tetapi juga penyembahan
terhadap banyak dewa. Selain itu Buddha dan Bodhisattva memiliki banyak nama. Sebagai contoh,
di dalam Tripitaka ada Sutra Sepuluh Ribu Nama Buddha, yang berisi lebih dari
dua belas ribu nama–nama Buddha dan Bodhisattva. Mengapa ada begitu banyak nama
Buddha dan Bodhisattva? Dalam sifat alamiah kita ada kebijaksanaan yang tidak
terbatas, keagungan, dan kemampuan artistik yang keseluruhannya tidak dapat
diwakili hanya oleh sebuah nama. Hal ini sama seperti seseorang dengan jabatan
yang tinggi, kartu namanya mungkin memiliki beberapa gelar kehormatan.
Nama–nama dari Buddha mencerminkan sebuah kesempurnaan,
kemurnian dan kebajikan dari sifat-alami kita. Semua nama–nama Bodhisattva
mencerminkan suatu pengembangan kebajikan yang berbeda–beda. Kemampuan
sebenarnya di dalam sifat-alami kita tidak terbatas, tetapi sementara hilang.
Tanpa melihat secara apa adanya, kita tidak akan pernah mampu untuk melihat
bibit ini. Semua Buddha dan Bodhisattwa tiada lain adalah diri kita sendiri.
Ketika kita menyadari hal ini, kita akan menyadari bahwa ajaran Buddha memiliki
tingkat artistik yang sangat tinggi. Sebagai contoh, pahatan dan gambar–gambar
Buddha dapat diekspresikan sebagai Dharma. Memahami arti yang sebenarnya dari
gambar–gambar ini akan membantu seseorang untuk memperoleh manfaat di dalam
ajaran Buddha.
Jika Buddhisme bukanlah agama, mengapa Buddhisme juga bukan
sebuah filosofi (filsafat)? Dalam filosofi, dikenal adanya subjek dan objek.
Sedangkan dalam Buddhisme Mahayana, tidak ada perbedaan antara subjek dan
objek, mereka adalah satu kesatuan. Pengertian ini sangatlah dalam dan sulit
untuk dipahami. Sebagai contoh, seorang guru besar berkata, ”Gunakan emas untuk
membentuk peralatan rumah tangga, semua peralatan rumah tangga berasal dari
emas.” Apakah semua emas dan peralatan rumah tangga merupakan benda yang sama atau berbeda? Dari penampilan
fisiknya keduanya akan terlihat berbeda. Namun, dari komposisi penyusunnya kita
tahu bahwa keduanya adalah sama.
Seseorang membutuhkan pemahaman yang mendalam untuk memahami
realitas dari kehidupan dan alam semesta. Seluruh Sutra–sutra Mahayana mencoba
untuk memberikan pemahaman tentang konsep ini dan kebenaran sejati. Seseorang
akan memiliki cara pandang yang sama dengan Buddha jika telah benar–benar
mengerti dan dengan jelas mengenal kebenaran sejati. Manusia biasa seperti kita
pada dasarnya telah terdelusi. Mengapa? Karena kita cenderung melihat sesuatu
secara berlawanan, tanpa menyadari bahwa semuanya adalah satu dan bukan dua.