TERPUJILAH PARA BUDDHA, PARA BHODHISATTVA MAHASATTVA, SERTA PARA ARYA NAN BIJAKSANA..._/\_ NAMO BUDDHAYA _/\_


Hidup bukan untuk berharap, memohon, mengeluh.. Tapi hidup untuk berlatih, berusaha, berdoa dan teruslah berbuat baik.
Biarlah para mahluk suci menilai, melihat ketulusan dan keikhlasan dalam kebaikan yang kita lakukan. Selalu bersyukur saat para Buddha, Bodhisattva, Dewa, manusia atau mahluk suci lainnya memancarkan Welas Asih-nya kepada kita.

W E L C O M E ( E H I P A S S I K O )

Monday 30 December 2013

MEMAHAMI TRADISI MAHAYANA (01) : Ajaran Agung dan Sempurna



Ajaran Agung dan Sempurna


Dewasa ini, kita dapat melihat bahwa semakin banyak orang–orang di dunia mulai belajar Buddhisme (ajaran Buddha). Walaupun demikian, tidak banyak dari mereka yang benar-benar memahami apa sebenarnya Buddhisme itu. Oleh karena itu, hal ini sangatlah penting untuk dibicarakan. Apa sebenarnya Buddhisme itu? Kita perlu memahaminya dengan jelas. Buddhisme adalah sebuah ajaran yang agung dan sempurna, yang diajarkan langsung oleh Buddha kepada semua makhluk hidup di dalam sembilan alam kehidupan. Mengapa kita mengatakan bahwa Buddhisme adalah sebuah pendidikan? Pertama–tama, kita melihat dari cara menyebut Buddha Shakyamuni sebagai “Guru Agung” kita sebagaimana dialah yang pertama menemukan Buddhisme dan kita semua sebagai muridnya. Dari sini, sangatlah jelas bahwa antara Sang Buddha dan kita memiliki ikatan guru dan murid. Ikatan ini hanya ada di dalam proses mengajar.

Jika Buddhisme adalah ajaran, maka siapa sebenarnya Buddha? Buddha berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti kebijaksanaan dan pencerahan. Akan tetapi, kebijaksanaan yang dimaksud disini bukanlah kebijaksanaan seperti yang telah kita pahami secara luas sampai saat ini. Secara umum, yang dimaksud kebijaksanaan Buddha adalah sebuah kemampuan yang dengan luar biasa, dengan sempurna, dan dengan benar mampu untuk memahami realitas kehidupan dan alam semesta di masa yang lalu, sekarang, maupun di masa yang akan datang. Seseorang yang memahami kebijaksanaan ini disebut sebagai Buddha. Buddha Shakyamuni menjelaskan bahwa : semua makhluk hidup, termasuk kita sendiri, sejak lahir juga memiliki bibit kebijaksanaan dan kemampuan ini. Dalam hal ini, Buddhisme menganggap semua makhluk sama. Meskipun kita memiliki kemampuan yang sama, namun saat ini kita tidak mampu melihat realitas kehidupan karena kebijaksanaan dan kemampuan setiap orang berbeda.

Dalam komunitas kita, ada anggapan bahwa ada yang pintar dan ada yang tidak, ada yang memiliki kemampuan yang hebat ataupun berbakat dan ada yang kurang. Bagaimana hal seperti ini dapat muncul? Buddha menjelaskan bahwa hal ini muncul dikarenakan kita membuat perbandingan berdasarkan delusi (pandangan yang salah, khayalan). Bibit kebijaksanaan dan kemampuan kita hilang karena tertutupi oleh delusi kita, tetapi tidak hilang secara utuh melainkan hanya sementara. Jika kita mampu menyadari dan menghancurkan delusi ini, maka kita akan menemukan kembali kemampuan itu. Karena alasan inilah, ajaran Buddha mengajarkan kepada kita bagaimana cara untuk mengendalikan diri terhadap delusi dan cara untuk menyingkapi bibit kebijaksanaan dan kemampuan kita.

Sering dijelaskan dalam Sutra-sutra Mahayana bahwa Buddha tidak secara langsung membantu makhluk hidup. Jadi bagaimana caranya setiap makhluk hidup bisa menjadi Buddha? Jawabannya adalah dengan usaha dari makhluk hidup tersebut. Sang Buddha hanya membantu dengan menjelaskan realitas bagaimana kita mendelusi diri kita sendiri. Setelah menyadari hal ini, kita seharusnya dengan tekun mempraktikkan ajarannya untuk memperoleh pencerahan tentang realitas yang sesungguhnya. Kita kemudian akan menjadi Buddha. Buddha Shakyamuni dengan jelas memaparkan bahwa semua makhluk hidup bisa menjadi Buddha.

Dari hal ini, kita dapat melihat bahwa Buddhisme adalah sebuah ajaran. Bagaimanapun juga, seorang guru hanya dapat mengajarkan prinsip–prinsip dasar kepada kita, menjelaskan pengalamannya dalam praktik dan pencapaiannya, dan menyarankan metode yang bervariasi untuk membantu pencapaian kita. Sisanya bergantung pada kita. Kitalah yang seharusnya bersemangat dan tekun berupaya. Sekali kita mengerti bahwa Buddhisme adalah sebuah pendidikan, maka kita secara sadar akan menganggap Buddha sebagai guru kita. Beranjak dari hal ini, kita harus mengerti bahwa di wihara, kita tidak menganggap gambar ataupun rupa Buddha ataupun Bodhisattwa sebagai dewa yang harus disembah. Kita melakukan puja (penghormatan) kepada gambar ataupun rupa ini untuk dua alasan. Pertama, untuk mengingat dan sebagai rasa terima kasih kita atas ajarannya yang sangat luar biasa. Kita sangatlah beruntung dapat bertemu dan menerima ajarannya dalam masa kehidupan kita kali ini.

Dikatakan dengan jelas dalam baris pembukaan sutra-sutra; ”Sangatlah sulit untuk bertemu dengan ajaran ini di dalam beribu–ribu masa yang tidak terhingga/eon (kalpa).” Hutang terima kasih kita ini kepada Buddha lebih seperti sebuah pengenangan, seperti yang dilakukan suku–suku Tionghoa kepada leluhur mereka. Kita sadar bahwa tanpa leluhur–leluhur kita tidak akan ada saat ini. Alasan kedua kita memuja adalah untuk mengikuti contoh yang agung. Buddha Shakyamuni (Gautama) sebelumnya adalah manusia biasa seperti kita; kemudian dia mampu mencapai pencerahan dan menjadi Buddha. Apa yang dapat menghentikan kita untuk mencapai hal yang sama? Oleh karena itu, gambar ataupun rupang (patung) Buddha dibuat untuk mengingatkan kita agar tekun mengejar tujuan ini. Gambar ataupun rupa ini bukan sebagai dewa ataupun objek takhayul.

Di Vihara-Vihara Buddhis, gambar-gambar Buddha dan Bodhisattva memiliki banyak penampilan. Hal ini sering memicu kesalahpahaman yaitu Buddhisme [dianggap] tidak hanya sebagai agama tetapi juga penyembahan terhadap banyak dewa. Selain itu Buddha dan Bodhisattva memiliki banyak nama. Sebagai contoh, di dalam Tripitaka ada Sutra Sepuluh Ribu Nama Buddha, yang berisi lebih dari dua belas ribu nama–nama Buddha dan Bodhisattva. Mengapa ada begitu banyak nama Buddha dan Bodhisattva? Dalam sifat alamiah kita ada kebijaksanaan yang tidak terbatas, keagungan, dan kemampuan artistik yang keseluruhannya tidak dapat diwakili hanya oleh sebuah nama. Hal ini sama seperti seseorang dengan jabatan yang tinggi, kartu namanya mungkin memiliki beberapa gelar kehormatan.

Nama–nama dari Buddha mencerminkan sebuah kesempurnaan, kemurnian dan kebajikan dari sifat-alami kita. Semua nama–nama Bodhisattva mencerminkan suatu pengembangan kebajikan yang berbeda–beda. Kemampuan sebenarnya di dalam sifat-alami kita tidak terbatas, tetapi sementara hilang. Tanpa melihat secara apa adanya, kita tidak akan pernah mampu untuk melihat bibit ini. Semua Buddha dan Bodhisattwa tiada lain adalah diri kita sendiri. Ketika kita menyadari hal ini, kita akan menyadari bahwa ajaran Buddha memiliki tingkat artistik yang sangat tinggi. Sebagai contoh, pahatan dan gambar–gambar Buddha dapat diekspresikan sebagai Dharma. Memahami arti yang sebenarnya dari gambar–gambar ini akan membantu seseorang untuk memperoleh manfaat di dalam ajaran Buddha.

Jika Buddhisme bukanlah agama, mengapa Buddhisme juga bukan sebuah filosofi (filsafat)? Dalam filosofi, dikenal adanya subjek dan objek. Sedangkan dalam Buddhisme Mahayana, tidak ada perbedaan antara subjek dan objek, mereka adalah satu kesatuan. Pengertian ini sangatlah dalam dan sulit untuk dipahami. Sebagai contoh, seorang guru besar berkata, ”Gunakan emas untuk membentuk peralatan rumah tangga, semua peralatan rumah tangga berasal dari emas.” Apakah semua emas dan peralatan rumah tangga merupakan benda yang sama atau berbeda? Dari penampilan fisiknya keduanya akan terlihat berbeda. Namun, dari komposisi penyusunnya kita tahu bahwa keduanya adalah sama.

Seseorang membutuhkan pemahaman yang mendalam untuk memahami realitas dari kehidupan dan alam semesta. Seluruh Sutra–sutra Mahayana mencoba untuk memberikan pemahaman tentang konsep ini dan kebenaran sejati. Seseorang akan memiliki cara pandang yang sama dengan Buddha jika telah benar–benar mengerti dan dengan jelas mengenal kebenaran sejati. Manusia biasa seperti kita pada dasarnya telah terdelusi. Mengapa? Karena kita cenderung melihat sesuatu secara berlawanan, tanpa menyadari bahwa semuanya adalah satu dan bukan dua. 

Sunday 29 December 2013

18 ARAHAT ( SHI BA LUO HAN )

18 ARAHAT


Menurut LEGENDA, Dikatakan bahwa BUDDHA memerintahkan 16 orang ARAHAT untuk menunda parinibbana-nya untuk terus membabarkan dharma dan menolong umat manusia. Tetapi dalam perkembangannya, terutama dalam kebudayaan tertentu (apalagi dengan adanya personifikasi dalam bentuk patung) kemudian muncul lagi 2 orang ARAHAT sehingga total menjadi 18 ARAHAT atau dalam tradisi Tiongkok disebut dengan Se Pa Lo Han (18 ARAHAT).

16 Arahat pertama kali disebutkan dalam Mahayana Vataraka Shastra yang ditulis oleh Sthiramati dan diterjemahkan oleh Bhiksu Daotai ke dalam bahasa Tionghoa pada abad ke-5 M. Dalam Taiwan Wenxian (dokumen dari Taiwan) disebutkan bahwa di anatara 18 Arahat, yang tercatat dalam sutra-sutra hanayalah 16 Arahat, dua lainnya ditambahkan oleh umat Buddhis di Tiongkok. 18 Arahat dalam lukisan Guan Xiu pada tahun 891 M:

01. Rahula,  Arahat Pemikir / Luo Hu Luo Duo Zun Zhe / Chen Si Luo Han.
02. Pindola Bharadvaja, Arahat Penunggang Rusa / Bin Du Luo Ba Luo Duo She Zun Zhe / Qi Lu Luo Han.
03. Subinda, Arahat Pembawa Pagoda / Su Pin Tuo Zun Zhe / Tuo Ta Luo Han.
04. Panthaka, Arahat Pengangkat Tangan / Ban Tuo Jia Zun Zhe / Tan Shou Luo Han.
05. Bhadra, Arahat Pengelana Ba Tuo Luo Zun Zhe / Guo Jiang Luo Han.
06. Vanavasa, Arahat di bawah pohon pisang / Fa Na Po Si Zun Zhe / Ba Jiao Luo Han.
07. Nakula, Arahat Pemeditasi / Nuo Ju Luo Zun Zhe / Jing Zuo Luo Han.
08. Kalika, Arahat Penunggang Gajah / Jia Li Jia Zun Zhe / Qi Xiang Luo Han.
09. Chudapanthaka, Arahat Penjaga Pintu / Zhu Cha Ban Tuo Jia Zun Zhe / Kan Men Luo Han.
10. Nandimitra, Arahat Penjinak Naga / Qing You Zun Zhe / Jiang Long Luo Han.
11. Kanaka Bharadvaja, Arahat Pembawa Mangkok / Jia Nuo Jia Ba Li Duo She Zun Zhe / Ju Bo Luo Han.
12. Angida, Arahat Karung Besar / Yin Jie Tuo Zun Zhe / Bu Dai Luo Han.
13. Asita/Ajita, Arahat dengan Alis Panjang / A Shi Duo Zun Zhe / Chang Mei Luo Han.
14. Gobaka, Arahat pembuka Hati / Xu Bo Jia Zun Zhe / Kai Xin Luo Han.
15. Kanakavatsa, Arahat Bahagia / Jia Nuo Jia Dai Cuo Zun Zhe / Xi Qing Luo Han.
16. Nagasena, Arahat Pembersih Telinga / Na Jia Xi Na Zun Zhe / Wa Er Luo Han.
17. Vajraputra, Arahat Singa Tertawa / Fa She Luo Fu Duo Zun Zhe / Xiao Shi Luo Han.
18. Pindola, Arahat Penjinak Macan / Bin Tou Lu Zun Zhe / Fu Hu Luo Han.

Arahat Penunggang Rusa terkadang menunjuk pada Pindola Bharadvaja dan terkadang menunjuk pada Ajita. Mahakasyapa dengan Nandimitra juga sering tertukar-tukar.



1). Bin-du-lo-ba-duo-Zun-zhe atau Pindola Bharadvaja



Pindola mempunyai wilayah kekuasaan di wilayah sebelah barat Surga Barat. menurut legenda, pada waktu usia muda, ia adalah seorang yang kejam dan sangat tidak patuh pada orang tuanya. Ia kemudian dilemparkan ke neraka dan harus memakan karang dan batu - bata sebagai santapan sehari - hari. Karena penderitaan ini badan menjadi kurus kering. Tapi kemudian ia menyesali dosa - dosanya dan menjadi penganut ajaran Buddha. Ia menjadi salah satu murid Buddha yang terkemuka dan punya Luo Han bawahan sebanyak 1.000 orang. Ia mempunyai kesaktian antara lain dapat terbang diudara dan terapung di atas air. Seringkali ia ditampilkan dengan membawa buku yang sedang terbuka di atas pahanya dan sebatang tongkat pengemisnya tersandar disampingnya.


2). Ba-tuo-luo Zun-zhe atau Badra



Ia digambarkan sebagai orang perkasa yang menaklukkan seekor harimau, sebagai lambang kesaktidan
kekuatannya dalam menaklukkan kejahatan secara umum, ia disebut Fu hu Zun-zhe (Hok Houw Cun Cia - Hokkian) atau Luo Han yang menaklukkan harimau.



3). Jia-nuo-jia-fa-she Zun-zhe atau Kanaka Vatsa.


Luo Han ini mempunyai kekuasaan di suatu tempat di Kashmir. Sesudah menjadi pengikut Buddha, ia rajin belajar dan menjadi orang yang sangat berpengetahuan. Ia mempunyai bawahan sebanyak 500 Arhat. Ia dilukiskan sebagai orang yang berparas luar biasa dan beralis panjang. Secara umum ia disebut Chang-mei Zun-zhe (Tiang Bi Cun Cia - Hokkian) atau orang terhormat yang beralis panjang. 



4). Jia-li-jia Zun-zhe atau Kalika.


Juga dikenal sebagai Kala. Ia mempunyai wilayah kekuasaan dibagian Sri Lanka. Dalam legenda ia adalah Raja Kala yang mencapai tingkatan Arhad setelah melalui pengorbanan. Iamempunyai bawahan yangterdiri dari : 1.000 Arhad. Seringkali ia di - tampilkan sedang meditasi atau sedang membersihkan telinga. Sebabitu ia disebut juga Xi-er Zun-zhe atau orang terhormat yang mencuci telinga. 


5). Jia-nuo-ba-li-duo Zun-zhe atau Kanaka Baridvaja


Disebut juga Pintoulosuoshe atau Pinkola yang muda. Ia bertugas di wilayah Purva Videha dibantu oleh 600 Arhad bawahan, sering digambarkan beijenggot Di Tiongkok ia disebut juga Fei-zhang Zun-zhe (Hui Tiang Cun Cia - Hokkian ) atau orang suci bertongkat terbang.



6). Fa-na-bo-si Zun-zhe atau Vanavasa.


adalah penguasa pegunungan Gan Zhou, Dia membawahi 1.400 Luo Han sebagai pembantu pembantunya. Ia sering dilukiskan sebagai seorang pertapa yang sedang bersemedi dengan mata tertutup. Ia juga di sebut sebagai Long-po Zunzhe atau ( Lang-poat Cun Cia - Hokkian) atau orang suci yang memainkan kecer, sebab beliau sering ditampilkan dengan membawa kecer.



7). Su-pinduo Zun-zhe atau Subhinda


Luo Han ini biasanya ditampilkan sebagai seorang suci yang terpelajar, dengan mangkok untuk sedekah dan sebuah kitab suci ditangan kirinya. Jari-jari tangan kanannya membentuk "mudra" yang menyatakan bahwa ia akan masuk ke nirwana dalam waktu singkat. Wilayah kekuasaannya berada di negeri Kuru, dengan dibantu 800 Arhad. Secara umum ia disebut sebagai Dao-wu Zun-zhe (To Ngo Cun Cia - Hokkian) yang berarti "orang suci yang menyadari Tao".



8). Nuo-ju-luo Zun-zhe atau Nakula



disebut juga sebagai Puchulo. Ia menguasai wilayah India, mempunyai bawahan sebanyak 800 Arhad yang menjadi pembantu - pembantunya. Ia berhasil melepaskan diri dari kehidupan sesat dan memeluk ajaran Buddha pada usia 120 tahun. Seringkali ditampilkan dengan kedua tangan membuka dadanya, dan dalam rongga itu dada itu terlihat wajah sang Sakyamuni Buddha, sebab itu ia secara umum disebut Kai-xin Zun-zhe (Khay-sim Cun-cia - Hokkian ) yang berarti "orang suci yang membuka hati".



9). Fa-she-luo-fu-duo-luo Zun-zhe atau Vajra Putra.


Wilayah kekuasaannya ada di Parnadvipa dan dibantu oleh 1.100 Arhad. Secara umum ia disebut
sebagai Duo-li Zun-zhe atau (To Li Cun Cia-Hokkian) atau "orang suci yang memberikan keuntungan berlimpah".



10). Ba-tuo-jia Zun-zhe atau Pantoka, Pantha


Namanya ini berarti "melanjutkan jalan dan penyebaran agama Buddha". Pos-nya berada di sorga Troyastrimsat, dengan dibantu oleh 1.300 Arhad bawahan. Menurut legenda ia dilahirkan pada saat ibunya sedang dalam peijalanan. Ia bertemu dengan Buddha mengikuti pelajarannya, sampai akhirnya mencapai nirwana. Ia mempunyai kesaktian antara lain dapat menembus benda - benda padat dan pergi tanpa meninggalkan bekas. Secara umum disebut Bai-na Zun-zhe (Pek Lap Cun Cia- Hokkian).



11). Shu-bo-jia Zun-zhe atau Gobaka

Kedudukannya ada di pegunungan Gandhamadana. Arhad pembantunya terdiri dari 900 orang. Sering ditampilkan dalam keadaan semedi, dengan tangannya memegang kipas, Dalam bahasa Tionghoa ia sering disebut sebagai Jin-xiang Zun-zhe atau (Cin Hio Cun Cia - Hokkian) yang berarti : "Orang suci yang mempersembahkan dupa".



12). Na-jia-xi-na Zun-zhe atau Nagasina


Ia diberi kekuasaan di gunung Pandhava, wilayah Inagadha, dengan dibantu oleh 1.200 Arhad. Luo Han yang satu ini terkenal suka humor tapi cerdik. Ia seorang penceramah dan guru yang ulung dalam hal ajaran - ajaran Buddha. Nagasina sering disebut sebagai Jin-deng Zun-zhe (Cin Teng Cun Cia - Hokkian) yang berarti "orang suci yang membawa penerangan".



13). Luo-hu-luo Zun-zhe atau Rahula


Ia adalah seorang murid Buddha yang sangat rajin dan sangai. taat akan hukum - hukum Buddhisme, setelah menyadari bahwa dia hidupnya penuh kesesatan.Orang - orang percaya bahwa dia akhirnya akan kembali ke dunia sebagai putra Buddha. Sekarang ini ia bertanggungjawab atas suatu daerah yang penuh keharuman tanaman - tanaman obat, dengan dibantu oleh 1.000 Arhad pembantu. 


Ia biasanya ditampilkan dengan wajah luar biasa, kepala berbentuk kubah dan halis yang tebal. Secara umura ia disebut sebagai Xi-she Zun-zhe (Hi Say Cun Cia - Hokkian), sebab ia sering digambarkan dengan mempermainkan seekor singa kecil dilangannya.



14). A-she-duo Zun-zhe atau Ajita


Ajita dianggap sebagai reinkarnasi dari Maitreya (Mi-le-fo). Ia selalu digambarkan sebagai seorang pendeta yang menggendong kantong besar yang diikatkan dipunggungnya. Di dalam kantong itu terdapat banyak perampok dan Mencuri serta pembuat dosa yang lain. 


Menurut legenda ia hidup pada kira - kira abad ke-6 Masehi. Di Tiongkok, Luo Han ini terkenal sebagai Bu-dai Zun-zhe (Poh Tay Cun Cia - Hokkian) atau "orang suci dengan kantong dari kain".



15). Yin-he-duo Zun-zhe atau Angida.


Ia menguasai sebuah pegunungan yang disebut Guang-xie, dibantu dengan 1.300 Arhad sebagai bawahannya.Dalam patung ia sering diwujudkan sebagai seorang pendeta tua yang membawa tongkat kayu dan kitab suci. Di Tiongkok ia sering disebut sebagai Jin-hua Zun-zhe (Cin Hoa Cun Cia - Hokkian) atau "orang suci yang mempersembahkan bunga".



16). Zhu-tu-ban-duo-jia atau Pantha, Choto Panthaka


Pada waktu muda ia bebal dan sulit untuk mencerna pelajaran. Tapi dengan bantuan Sakyamuni ia menjadi rajin dan cerdas sekali. Akhirnya ia mencapai tingkatan Arhad dan masuk nirwana. Karena punya kesaktian untuk terbang, ia ditunjuk sebagai penguasa pegunungan, Ishidara dengan dibantu oleh 1.600 Arhad bawahan. 


Ia adalah adik kandung Pantha atau Panthoka, merupakan salah satu murid kesayangan Buddha. Ia digambarkan sebagai seorang tua yang bersandar dibatang pohon tua memegang kipas sambil mengajar Dharma. Dalam kalangan Tionghoa ia disebut juga Jin guo Zun-zhe (Cin Ko Cun Cia - Hokkian)
atau "orang suci yang mempersembahkan buah". 




Setelah masuk ke Tiongkok, dari ke - 16 Arhat, ini Ym-he duo digantikan oleh Boddhidharma pendiri aliran Chan (Zen Buddhisme) yang dalam bahasa Tionghoa disebut Da Mo Zu Shi (Tat Mo Couw Su - Hokkian) di tambah dengan dua tokoh lagi yaitu seorang kaisar yang hidup pada jaman dinasti Liang, Liang Wu Di (Liang Bu Te - Hokkian) yang memerintah dari tahun 502 - 549 Masehi, dan seorang pendeta jaman Tang bernama Zhi Kuan.



Kaisar Liang Wu Di giat sekali memajukan Buddhisme dan berusaha menghayati ajaran - ajarannya. Ia rajin sembahyang ke kelenteng - kelenteng dan menelaah kitab - kitab suci dan membuat pembahasannya. Dia berusaha menerapkan ajaran Sakyamuni dalam hidupnya. 



Sebab itu ia enggan membunuh mahluk hidup, dan melarang orang untuk membunuh semua barang yang berjiwa untuk sesajian. Bahkan orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilanpun dibebaskan dengan cucuran air matanya. Seperti Raja Asoka dari India, ia pun menjadi paderi. 



Sifatnya yang penyayang ini mengakibatkan ia mengabaikan pertahanan negeri. Seorang jenderal dari utara, IIou Qing, menyerbu ke kota raja dan menangkapnya. Kaisar ini meninggal dunia dalam tahanan para musuhnya. Pada masa pemerintahan Liang Wu Di inilah, Boddhidharma datang ke Tiongkok



Tentang Zhi Kuan, tidak banyak yang kita ketahui. Hanya ia adalah seorang pendeta yang pernah berbuat banyak bagi masyarakat. Ia berbuat antara lain dengan mengusir Han - ba, mahluk halus yang menjadi penyebab bencana kekeringan, demikian menurut legenda. Zhi Kuan secara umum sering disebut Zhi Gong.



Mengenai tambahan dua orang Arahat ini, memang ada banyak versi. Kecuali versi di atas, ada juga versi yang memasukkan Nandimitra dan Pindola yang muda, sebagai Arhat tambahan. Ji Gong (Ce Kong - Hokkian), itu pendeta jenaka yang berwatak eksentrik tapi ringan tangan dan suka menolong sesama orang, juga tercatat menjadi salah satu dari 18 Luo Han (tentang Ji Gong ini, lihat bab tentang Ji Gong Huo Fo).

ERL LANG SHEN ( DEWA ERL LANG )

DEWA ERL LANG ,


Bagi anda yang pernah menonton film Sung Go Kong tentu tidak asing lagi dengan Dewa Erl Lang. Menurut ceritanya, Er Lang Shen ( Ji Long Sin) adalah putra Li Bing gubernur propinsi Sichuan pada jaman dinasti Qin. Waktu itu sungai Min (cabang sungai Yang Tze yang bermata air di Sichuan) sering mengakibatkan banjir di wilayah Guan Kuo (Dekat Cheng Du).

Li Bing mengajak putranya meninjau daerah bencana untuk kemudian memikirkan penanggulangannya. Rakyat Guan Kou waktu itu sangat putus asa sehingga mengandalkan dukun untuk mengatasi banjir. Para dukun pun memanfaatkan situasi ini untuk memeras dan menakut - nakuti rakyat.

Para dukun membohongi rakyat dengan mengatakan bahwa banjir itu diakibatkan oleh raja naga yang ingin mencari istri. Maka rakyat diharuskan setiap tahun mengirimkan seorang gadis untuk dijadikan istri oleh raja naga tersebut. 

Li Bing bertekad mengakhiri semua ini dan berusaha menyadarkan rakyat bahwa bencana dapat dihindari asalkan mereka bersedia bergotong-royong memperbaiki aliran sungai. Usaha ini tentu saja ditentang keras oleh para dukun yang melihat bahwa mereka akan rugi apabila rakyat tidak percaya lagi pada mereka.

Untuk menghadapi mereka, Li Bing mengatakan bahwa putrinya bersedia menjadi pengantin Raja Naga untuk tahun itu. Dia minta sang dukun untuk memimpin upacara. Sebelumnya Li Bing memerintahkan Er Lang untuk menangkap seekor ular air yang sangat besar, dimasukkan dalam karung dan disembunyikan di dasar sungai.

Pada saat diadakan upacara mengantar pengantin di tepi sungai, Li Bing mengatakan pada dukun kepala, bahwa ia ingin sang Raja Naga menampakkan diri agar rakyat bisa melihat wajahnya. Sang dukun marah dan mengeluarkan ancaman. Tapi Li Bing yang telah bertekad mengakhiri praktek yang kejam dan curang ini bersikeras agar sang dukun menampilkan wujud Raja Naga.

Pada saat yang memungkinkan untuk bertindak, Li Bing memerintahkan Er Lang untuk terjun ke sungai dan memaksa sang Raja Naga untuk keluar. Setelah menyelam sejenak Er Lang muncul kembali sambil menyeret bangkai ular air itu ke tepi. Penduduk menjadi gempar. Li Bing menyatakan bahwa sang Raja Naga yang jahat sudah dibunuh, rakyat tidak usah risau akan gangguannya lagi dan tidak perlu mengorbankan anak gadis setiap tahun. 

Setelah itu Li Bing mengajak rakyat untuk bergotong-royong membangun bendungan untuk mengendalikan Sungai Min. Usaha ini akhirnya berhasil dan rakyat di daerah itu terbebas dari bencana banjir. Untuk memperingati jasa-jasa Li Bing dan Er Lang di tempat itu kemudian didirikanlah klenteng peringatan.

Hari besarnya diperingati pada tanggal 28 bulan 8 Imlek. Er Lang Shen banyak dipuja di Propinsi Sichuan. Beberapa klenteng besar yang didirikan khusus untuknya terdapat di Chengdu yaitu Er Lang Miao, di Guan Xian dengan nama Guan Kou Miao, di Baoning, Ya-an dan beberapa tempat lain dengan nama Er Lang Miao. Kecuali Sichuan, Propinsi Hunan juga memiliki beberapa klenteng Er Lang yang cukup kuno. 

Er Lang Shen ditampilkan sebagai seorang pemuda tampan bermata tiga, memakai jubah keemasan, membawa tombak bermata tiga, diikuti seekor anjing, kadang-kadang ditambah dengan seekor elang. Beliau dianggap sebagai Dewa Pelindung Kota-Kota di tepi sungai dan sering ditampilkan bersama Maha Dewa Tai Shang Lao Jun sebagai pengawal.


Hwa Kong Hwa Pho – Dewa/i Perjodohan

Hwa Kong Hwa Pho – Dewa/i Perjodohan


Hua Gong {Hok Kian = Hwa Kong} adalah salah satu putra dari Pangeran Bun dan merupakan saudara muda Kaisar Bu Ong. Beliau hidup semasa dinasti Ciu Barat (1027-771 SM). Hwa Kong merupakan salah satu orang suci pada masa itu dengan panggilan Ciu Kong Tan.

Sebagai orang suci bijaksana beliau menyusun kitab-kitab peradaban. Misalnya Ciu Lee (kitab adat istiadat dinasti Ciu), yang berisi adat perkawinan & perkabungan. Ada juga kitab tafsir mimpi, firasat, dan lain-lain yang sampai detik ini masih menjadi rujukan berbagai kalangan.

Namun rakyat terutama menghormati beliau sebagai Dewata Pengikat Perjodohan. Pada hari ulang tahunnya para umat yang belum menikah mempersembahkan keranjang bunga (Hwa Lan) dengan harapan agar cepat memperoleh jodoh (enteng jodoh).

Hwa Kong biasa ditampilkan dengan kedua istrinya, yang pertama ( Twa Ma ) di sebelah kirinya, sedangkan yang bercengkerama dengan anak-anak kecil adalah istri keduanya ( Ji Ma ). Perlu ditambahkan dalam beberapa hal Khong Hu Cu menganggap Ciu Kong Tan sebagai guru spiritualnya.


Tuesday 24 December 2013

PAT SIEN / BA XIAN ( 8 DEWA )


DELAPAN DEWA ,


Legenda Delapan Dewa mungkin berawal pada Dinasti Tang, dan cerita itu bervariasi pada setiap dinasti. Para karakternya, menurut versi setelah Dinasti Ming, adalah Han Zhongli, Zhang Guolao, Han Xiangzi, Tie Guali, Cao Guojiu, Lu Dongbin, Lan Caihe, dan He Xianggu. Dengan memiliki penampilan dan kepribadian yang sangat berbeda, Delapan orang ini merupakan Dewa yang hebat dalam ajaran Tao, dan mereka sering berkumpul bersama.

Delapan Dewa tidak langsung dilahirkan abadi. Mereka berasal dari dunia manusia, seperti dari anggota keluarga kekaisaran, pengemis, pendeta Tao, dan lain-lain. Ada kisah yang yang sangat menarik di belakang mereka saat berhasil berlatih dan mencapai keabadian.

Cao Guojiu adalah saudara seorang Kaisar, Tie Guali berkaki pincang dan berjalan dengan sebuah tongkat, He Xiangu seorang perempuan muda dan sangat menarik, Zhang Guolao terlihat sangat sehat di usianya yang lanjut dan sering menunggang keledai dengan terbalik. Han Xiangzi, keponakan dari Han Yu, seorang penulis terkenal di zaman Dinasti Tang dan sangat senang bermain seruling, Han Zhongli selalu terlihat dengan kipas daun palem di tangannya.

Melalui berbagai perjalanan mereka, Delapan Dewa bertemu dengan berbagai orang dan situasi, banyak di antaranya tertulis menjadi sebuah cerita. Satu perumpamaan keterlibatan Lu Dongbin yang menghalangi usaha untuk menawarkan penyelamatan manusia.

Delapan Dewa terdiri dari laki-laki dan perempuan, muda dan tua, kaya dan berbudi luhur, serta miskin dan rendah hati. Klenteng Tao dari Delapan Dewa tersebar di seluruh Tiongkok dan patungnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prosesi penyembahan. Senjata yang mereka bawa seperti lonceng kayu keras, kipas, tongkat, seruling, pedang, botol labu, Tao dan keranjang bunga, ini semua disebut "delapan harta" dan simbol dari Delapan Dewa.


1. Li Te Guai



Li Tie Guai ("Li dengan tongkat besi"). Tongkat besi yang dimilikinya, diberikan oleh Xi Wang-mu saat dia disembuhkan kakinya. Xi Wang-mu juga mengajarinya mengultivasi diri menjadi Dewa. benda lain yang dibawa-Nya adalah labu yang berisi ramuan ajaib.

Li kadang-kadang digambarkan dengan temperamen tinggi dan keras kepala, tapi murah hati terhadap orang miskin, orang sakit dan yang membutuhkan. Dengan menggunakan obat khusus dari labu-Nya, dia dapat mengurangi penderitaan orang lain. Ia sering digambarkan sebagai seorang pria tua jelek dengan wajah kotor, jenggot kumal, dan rambut berantakan yang diikat dengan pita emas. 

Dia berjalan dengan bantuan sebuah tongkat besi dan sering memikul labu miliknya di bahu atau dipegang ditangan. Dia juga sering digambarkan sebagai tokoh lucu, turun ke bumi dalam bentuk seorang pengemis dan menggunakan kemampuannya untuk memperjuangkan nasib yang membutuhkan dan tertindas.

Ada sebuah cerita lain tentang bagaimana Li sampai memiliki kaki yang pincang. Dengan Turun dari langit, Lao-zi memulai mengajarkan ajaran-ajaran Tao kepada Li. Segera setelah Li mencapai keabadian, ia meninggalkan tubuhnya untuk melakukan perjalanan ke Gunung suci Huashan. Dia meminta salah seorang muridnya untuk menjaga tubuhnya dan memberikan tugas khusus kepada murid-Nya untuk membakar tubuhnya jika ia tidak kembali dalam waktu tujuh hari. 

Namun, pada hari keenam, murid-Nya menerima pesan bahwa ibunya sedang sakit keras. Dia bingung apakah harus memenuhi kewajibannya sebagai seorang anak atau menjaga tubuh Li. Akhirnya murid itu memilih pulang menjenguk Ibunya tapi sebelum itu ia membakar tubuh Li. Pada hari ketujuh, Li kembali dan menemukan tubuhnya sudah terbakar menjadi abu. 

Dia terpaksa memasuki tubuh seorang pengemis yang telah meninggal yaitu seorang pria dengan kaki pincang, dan cacat. Li tidak ingin hidup dengan tubuh barunya tetapi Lao-zi memintanya untuk menerima nasibnya, dan memberi Li sebuah tongkat besi untuk membantu dia berjalan.


2. Zhang Guo Lao




Zhang Guo Lao adalah salah satu dari Delapan Dewa. Dia adalah tokoh nyata dalam sejarah, keberadaanya-Nya dimulai sekitar masa pertengahan atau akhir abad ketujuh sebelum Masehi, dan berakhir kira-kira pada masa pertengahan abad kedelapan. julukan The "Lao" ditambahkan di akhir namanya, kata ini memiliki arti "Tua".

Zhang Guo Lao adalah paling eksentrik dari dewa lain, salah satunya dapat dilihat dari gaya kung fu yang didedikasikan untuk dirinya. gaya ini meliputi bergerak seperti memberikan tendangan sambil memutar badan atau tekukan sejauh bahu Anda menyentuh tanah. Dia dikenal cukup menghibur, sering membuat dirinya menghilang, minum dari bunga beracun, memetik burung-burung di langit, serta bunga menjadi layu hanya dengan menunjuk kearah mereka, saat berada dihadapan Kaisar.

Zhang Guolao punya kebiasaan unik, yaitu menunggang keledai putih secara terbalik, sehari berjalan bisa mancapai 10.000 Li. Tentu saja keledai itu juga merupakan keledai khayangan, yang bisa dilipat dan dimasukkan ke dalam tas saat ia sedang tak diperlukan tuannya.

Sangat sedikit yang tahu mengapa dia menunggang keledai secara terbalik. Dia menemukan bahwa dengan berjalan ke depan berarti mundur ke belakang, dia lalu menunggang secara terbalik.

3. Cao Guojiu



Cao Guojiu adalah Dewa terakhir dari Delapan Dewa. Dia ditampilkan dengan pakaian pejabat resmi dan butiran batu giok. Kadang-kadang ia terlihat memegang alat musik. keajaiban butiran batu gioknya adalah dapat memurnikan lingkungan.

Cao Guojiu adalah paman dari seorang Kaisar pada zaman Dinasti Song, yaitu adik terkecil dari janda Ibu Suri Cao.

Adik Cao Guojiu, Cao Jingzhi adalah pengganggu, tapi tak ada yang berani menuntut dia karena koneksi yang kuat, bahkan setelah dia membunuh seseorang. Cao Guojiu begitu kewalahan oleh kelakuan adiknya, merasa sedih dan malu. Akhirnya ia mengundurkan diri kantornya dan kembali pulang.

Suatu hari Zhongli Quan dan Lu Dongbin bertemu dengannya dan menanyakan apa yang sedang dia lakukan. Dia menjawab bahwa dia sedang belajar Tao.
"Apakah itu dan dimanakah itu?", mereka balik bertanya.
Pertama-tama dia menunjuk ke langit dan kemudian ke hatinya.


4. Zhongli Quan



Zhongli Quan adalah salah satu Dewa yang paling kuno dan menjadi pemimpin dari Delapan Dewa (Beberapa orang menganggap Lu Dongbin menjadi pemimpin). Ia juga dikenal sebagai Zhongli Han (Han Zhongli) karena dia lahir pada masa Dinasti Han.

Lahir di Yantai, Zhongli Quan pada masa hidupnya hanya pernah mengabdi pada masa Dinasti Han.

Menurut legenda, cahaya terang memenuhi ruangan saat dia dilahirkan. Setelah lahir, tujuh hari penuh dia terus-menerus menangis tanpa henti.

Zhongli Quan adalah seorang Jenderal dalam kerajaan pada masa Dinasti Han. Biasa digambarkan sebagai laki-laki gemuk bertelanjang perut dan membawa kipas bulu yang dapat mengendalikan lautan dan dapat menghidupkan orang mati.
Pada hari tuanya dia menjadi petapa dan mendalami ajaran Tao.


5. Han Xiang

Han Xiang atau Xiang Zi, adalah Salah satu dari Delapan Dewa. Han Xiang lahir pada masa Dinasti Tang, dan memiliki nama kehormatan Qingfu. Dia adalah kemenakan atau cucu dari Han Yu, seorang negarawan terkemuka diPengadilan Tang. Han Xiang belajar Taoisme di bawah bimbingan Lv Dongbin.

Pada suatu perjamuan dengan Han Yu, Han Xiang membujuk Han Yu untuk melepaskan hidupnya sebagai pejabat dan ikut belajar Tao bersama dia. Tapi Han Yu tetap pada pendiriannya dan sebaliknya mengatakan bahwa Han Xiang harus memberikan hidupnya untuk Taoisme, bukan Konghucu, jadi Han Xiang menunjukkan kemampuan Tao yang dia pelajari dengan menuangkan anggur kedalam cangkir demi cangkir dari labu miliknya tanpa berhenti.

Karena serulingnya dapat memberikan kehidupan, maka Han Xiang juga disebut pemain seruling pemberi perlindungan.



6. Lan Caihe



Dari kedelapan dewa, Lan Caihe adalah dewa yang paling sedikit memiliki informasi. Umur dan jenis kelaminya tidak di ketahui.

Lan biasanya digambarkan dalam pakaian yang tidak jelas, tetapi sering ditampilkan sebagai pemuda atau gadis membawa keranjang bunga yang terbuat dari bambu.

Diceritakan perilaku Lan sering aneh dan eksentrik. Beberapa sumber mengatakan gaun Lan Caihe menggunakan gaun biru lusuh, dan dikenal sebagai dewa pelindung para pujangga. Dalam tradisi lain, Lan adalah penyanyi wanita dan memiliki lirik lagu yang dapat memprediksi kejadian masa depan secara akurat.

Dia terbang meninggalkan dunia dengan angsa langit atau burung bangau pergi ke langit. Diceritakan pernah suatu hari ketika berada di sebuah kedai, ia diduga bangun dan pergi ke kamar mandi. Tapi sebelum berangkat pergi dia melepaskan pakaiannya dan terbang dengan burung bangau atau angsa pergi ke langit.



7. He Xian Gu



He Xian Gu adalah satu-satunya dewa perempuan di antara Delapan Dewa.
Ada sumber yang mengatakan He Xian Gu berasal dari daerah Prefektur Yong (hari ini disebut Linglin County, Hunan) pada masa Dinasti Tang, atau dari keluarga kaya dan dermawan di daaerah Zengcheng, Guangdong.

Saat lahir He Xian Gu memiliki enam rambut panjang di kepalanya. Saat berusia 14 atau 15 tahun, seorang dewa muncul dalam mimpinya dan memberi petunjuk kepada dia untuk makan bubuk mika, agar tubuhnya bisa menjadi sangat ringan dan abadi. Jadi, ia memakannya, dan juga bersumpah untuk tetap menjaga keperawananya.

Saat mendaki bukit dan menuruni lembah He Xian Gu dapat melintasinya dengan sangat cepat, rasanya melayang seperti makhluk bersayap. Setiap hari saat fajar dia pergi dan kembali di sore hari dengan membawa buah gunung yang dia kumpulkan untuk ibunya. Kemudian lambat laun dia menyerah mengambil makanan biasa. Ratu Wu mengirim utusan untuk memanggil dia datang ke istana, tetapi di jalan, ia menghilang.

Suatu hari pada periode Long Jing (sekitar 707 CE), He Xiangu terbang ke langit di siang hari bolong, dan menjadi Dewa Tao.



8. Lu Dong Bin



Lu Dongbin pernah dalam satu kali berjanji pada  Han Zhongli untuk menyelamatkan semua makhluk hidup. Namun dia belum juga menyelamatkan satu orang pun, kemudian dia melakukan sebuah perjalanan menuju daerah Yue Yang. Dia berada di sana dua tiga kali sebelum mencoba untuk mencapai masyarakat umum. Yue Yang sekarang adalah sebuah wilayah administrasi di Provinsi Hunan, Tiongkok, di tepi danau Dong Ting.

Lu Dongbin menyamar menjadi seorang lelaki tua yang menjual minyak untuk memasak. Dengan cara menjual minyak sebagai dalih untuk bertemu dan memilih orang yang diprospeknya, lalu bila seorang pelanggan terlihat tidak tamak, tidak meminta lebih banyak minyak daripada yang dibayarnya, maka dia akan menolongnya.

Jadi, selama bertahun-tahun dia berkeliling untuk menjual minyak, selama itu para pelanggan yang ditemui semuanya tamak meminta terlalu banyak, kecuali seorang perempuan tua. Bagaimanapun si perempuan tua, hanya mengambil sesuai dengan yang dibayarnya, bahkan tidak lebih satu tetes pun.

Mengejutkan, Lu Dongbin berpikir akhirnya dia menemukan seseorang yang layak diselamatkan. Dia bertanya pada perempuan itu, “Semua yang datang membeli minyak selalu ingin mendapatkan lebih kecuali Anda. Kenapa tidak meminta lebih?”

Si perempuan menjawab, “Saya cukup puas dengan sebuah botol minyak, selain itu sangatlah tidak mudah bagi Anda untuk mencari nafkah dengan menjual minyak. Bagaimana saya boleh meminta lebih?” Kemudian dia menawarkan Lu Dongbin minuman arak untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya.

Lu Dongbin merasa dia adalah seorang prospek yang baik dan bermaksud memberikan penyelamatan kepadanya. Saat dia menemukan ada sebuah sumur di ladangnya, dia menaburkan beberapa biji padi ke dalamnya. Dia berkata pada perempuan itu, “Anda bisa mendapatkan keberuntungan dengan menjual air dalam sumur ini.” Lalu dia beranjak pergi.

Perempuan tua itu berbalik dan menemukan air dalam sumur tersebut telah berubah menjadi arak. Seperti saran Lu Dongbin, perempuan tua itu menjual arak dalam sumur itu dan meraih keberuntungan selama setahun.

Pada suatu hari Lu Dongbin datang kembali ke tempat perempuan tua itu. Si perempuan tua tidak berada di rumah, hanya anak lelakinya yang ada di dalam. Lu Dongbin bertanya padanya, “Bagaimana hasil dari usaha menjual arak?”

“Usahanya berjalan sangat baik, tetapi tidak ada penyulingan biji–biji padi untuk memberikan makanan pada babi-babi.” jawab si anak lelaki. Mendengar perkataannya, Lu Dongbin mendesah. “Ketamakan manusia telah mencapai pada tingkat separah ini.” Maka dia mengambil kembali biji-biji beras dalam sumur tersebut dan berlalu pergi.

Tidak lama kemudian, perempuan tua itu kembali. Anak lelakinya menceritakan apa yang telah terjadi. Dia pergi ke sumur dan melihat ke dalam. Arak di dalamnya telah berubah kembali menjadi air. Si perempuan tua itu bergegas ke pintu, namun Lu Dongbin telah menghilang.

Lu Dongbin meninggalkan Yue Yang menuju Danau Dong Ting dan meninggalkan sebuah puisi yang meratapi sifat manusia, “Tiga kali ke Yue Yang namun belum menemukannya, menyenandungkan sajak saat melintasi Danau Dong Ting.”

Monday 23 December 2013

SI DA TIAN WANG / CATURMAHARAJIKHA ( EMPAT RAJA LANGIT )

Si Twa Thien Ong – Empat Raja Langit,


Si Da Tian Wang {Hok Kian = Si Twa Thien Ong} adalah Empat Raja Langit, yang terdiri dari :
  1. Nan Fang Zeng Chang Tian Wang
  2. Xi Fang Guang Mu Tian Wang
  3. Bei Fang Duo Wen Tian Wang
  4. Dong Fang Che Guo Tian Wang

Si Twa Thien Ong ini sering disebut juga sebagai  Si Da Jin Gang {Si Twa Kim Kong} yang berarti Empat Prajurit Pengawal Buddha (Sansekerta = Catur Vajra). Si Twa Thien Ong adalah para hulu balang yang menjaga langit. Mereka adalah penguasa benua-benua yang terletak di ke empat mata angin dari Gunung Suci Semeru yang dianggap oleh para umat Buddha sebagai pusat dunia. Mereka juga dianggap bisa melimpahkan berkah kepada siapa saja yang menghormati Tri Ratna Buddha (Tiga Pusaka Buddhisme) yaitu Buddha, Dharma & Sangha.

Menurut Kitab Suci Buddha, mereka berempat adalah pengawal Indra, yang bertugas di luar kahyangan, dan mempunyai wilayah kekuasaan di empat penjuru alamNan Fang Zeng Chang Tian Wang (Virudhaka) yang berwajah biru berkuasa di wilayah Selatan. Xi Fang Guang Mu Tian Wang (Virupaksa) yang berwajah merah berkuasa di wilayah Barat. Bei Fang Duo Wen Tian Wang (Dhanada) yang berwajah kuning berkuasa di wilayah Utara. Dong Fang Che Guo Tian Wang (Dhatarastra) yang berwajah putih berkuasa di wilayah Timur.

Setelah Buddhisme memasuki Daratan Tiongkok, muncullah versi Tionghoa untuk Si Twa Kim Kong ini. Mereka sering kali muncul dalam bentuk arca yang berukuran besar dan menjaga sebelah kiri & kanan pintu besar kelenteng-kelenteng Buddhis. Hampir semua kelenteng Buddhis, seperti Shao Lin Si (kuil Shao Lim) di pegunungan Song Shan, Bi Yun Si di lereng Utara bukit Xiang Shan dekat Bei Jing dan lain-lain, terdapat arca-arca mereka berempat dalam ukuran besar. Kira-kira 3 X ukuran manusia.

Dalam versi Tionghoa, Si Twa Thien Ong digambarkan sebagai 4 saudara yang bertubuh raksasa, memakai pakaian perang yang lengkap & memegang senjata yang berbeda-beda. Riwayat mereka terdapat dalam novel  Feng Shen {Hong Sin}, dan disebut sebagai 4 Saudara dari keluarga Mo.

Saudara tertua adalah Mo Li Qing {Mo Le Khing}, bergelar Zeng Chang Tian Wang (Raja Langit Penguasa Pertumbuhan) dengan tinggi 8 meter, mempunyai warna kulit yang bersih tapi wajahnya bengis, berewokan. Ia membawa sebuah pedang & gelang kumala. Di mata pedang tersebut terdapat 4 buah huruf : Di, Shui, Huo, Feng (Tanah, Air, Api & Angin). Apabila pedang ini dihunus, muncullah angin hitam yang membawa puluhan ribu lembing yang dapat menembus tubuh musuh-musuhnya dan membuatnya menjadi debu. Angin hitam ini kemudian diikuti munculnya beribu-ribu ekor ular. Asap tebal menutupi bumi, membuat musuh-musuhnya menjadi buta & terbakar, dan tak seorangpun dapat meloloskan diri.

Mo Li Hong {Mo Le Hong} bergelar Guang Mu Tian Wang (Raja Langit Pelihat Jauh), mempunyai sebatang payung pusaka yang disebut Payung Pengacau Jagat. Payung ini terbuat dari rangkaian mutiara-mutiara yang mahal. Apabila payung ini dibuka, seluruh jagat akan terselimuti kegelapan. Bila payung itu diputar, akan terjadi topan di laut & gempa di daratan.

Mo Li Hai {Mo Le Hai} bergelar Duo Wen Tian Wang (Raja Langit Yang Amat Termashur), ia memakai senjata sejenis mandolin yang mempunyai 4 dawai. Apabila dawai itu dipetik, sebuah kekuatan yang dahsyat akan muncul dan mempengaruhi bumi, air, api & angin. Kalau sebuah lagu dimainkan, kubu-kubu musuh akan tenggelam dalam lautan api.

Mo Li Shou {Mo Le Siu} bergelar Che Guo Tian Wang (Raja Langit Pendukung Negara), mempunyai 2 batang cambuk sakti & sebuah kantong dari kulit macan tutul, yang selalu digantungkan di pinggangnya. Dalam kantong ini terdapat seekor mahluk sebesar tikus yang disebut Hua Hu Diao. Jika dikeluarkan dari kantongnya Hua Hu Diao ini dapat berubah menjadi mahluk raksasa yang mirip dengan gajah putih yang bersayap, & melahap siapa saja yang ditemuinya. Seringkali Mo Li Shou dilukiskan juga dengan membawa ular atau mahluk ajaib lain yang siap melaksanakan perintahnya, & gemar menelan manusia.

Pemujaan Si Twa Kim Kong di Tiongkok dipopulerkan oleh seorang Bikkhu dari Sri Lanka, Bu Kong {Hok Kian = Put Kong} yang datang ke Tiongkok pada tahun 720 M, pada masa Dinasti Tang [618 – 907 M]. Kemudian pada masa pemerintahan Kaisar Xuan Zong [712 – 756 M] arca-arcanya mulai bermunculan. Kaisar sendiri memerintahkan agar arca Si Twa Kim Kong ini ditempatkan di sudut Barat Laut ibukota untuk melindungi kota itu dari pengaruh buruk.

Di kalangan Taoist, ada juga istilah untuk 4 Jendral Langit yang bertugas mengawal pintu Surga & Kahyangan yang disebut Si Da Yuan Shuai {Si Twa Gwan Swee}. Mereka terdiri dari orang-orang yang bermarga Li, Ma, Zhao & Wen. Kelompok 4 Jendral versi Taoist ini adalah : Li Jing {Li Ceng} yang memiliki sebuah pagoda wasiat, sehingga disebut juga Li Tian Wang {Li Tian Ong}, yang bermarga Ma tidak jelas apa lengkapnya. Yang ketiga adalah Zhao Gong Ming {Tio Kong Beng} yang dikenal juga sebagai Xuan Dan Yuan Shuai (Dewa Kekayaan). Yang keempat adalah Wen Tai Shi / Wen Zhong {Bun Tiong}, Jendral terkenal dari Zhou Wang, pada masa Dinasti Shang [abad 16 – abad 11 SM].

Selain di Tiongkok, di Kuil Todainyi, Jepang, juga memiliki arca Si Twa Thien Ong dalam ukuran besar, yang tentu saja dalam Versi Jepang. Di Singapura, arca Si Twa Thien Ong dapat ditemui di Kelenteng-kelenteng Xuang Lin Si {Siang Lim See}, di Jalan Toa Payoh, yang merupakan suatu hasil seni yang bermutu tinggi.


Tho Tak Thien Ong / Bei Fang Duo Wen Tian Wang – Raja Langit Penyangga Pagoda

Si Da Tian Wang {Si Twa Thien Ong = Empat Raja Langit}

Tho Tak Thien Ong – Raja Langit Penyangga Pagoda.

Dalam kepercayaan di kalangan rakyat Tionghoa, Tho Tak Thien Ong adalah Jendral Langit yang memimpin para perwira langit, pada umumnya menganggap beliau adalah dewa dari Taoisme, namun sebenarnya Tho Tak Thien Ong adalah salah satu dari Si Da Tian Wang {Si Twa Thien Ong = Empat Raja Langit} dalam agama Buddha, yaitu Bei Fang Duo Wen Thian Wang (Raja Langit Utara yang sangat termashur), disebut juga Pi Sha Men Tian Wang.


Pi Sha Men Tian Wang adalah salah satu dari Si Da Tian Wang (Empat Raja Langit), menjadi Dewa Pelindung Dharma & penakluk iblis dalam agama Buddha. Karena beliau menyangga sebuah pagoda Buddha dengan telapak tangannya, sehingga beliau disebut Tuo Ta Tian Wang {Hok Kian = Tho Tak Thien Ong}, yang berarti Raja Langit Penyangga Pagoda.

Pi Sha Men Tian Wang dihormati secara universal antara lain di India & Tibet. Kadang kala beliau juga dipuja sebagai Dewa Pemenangan Peperangan. Selain itu Pi Sha Men Tian Wang disebut juga sebagai salah satu dari Tujuh Dewa Keberuntungan dalam Buddhisme, karena beliau bisa memberikan berkah rezeki kepada umatnya.

Rupang Dewa Tho Tak Thien Ong pada umumnya berujud Raja dengan kaki menginjak 2 setan, tangan kiri mengangkat sebuah pagoda kecil, & tangan kanan menggenggam sebuah gada mestika. Ujud lainnya dilukiskan dengan tangan yang memegang payung, tikus, ular & naga.

Setelah Tho Tak Thien Ong masuk ke Tiongkok, secara perlahan-lahan figur Buddhisme ini berubah menjadi Tho Tak Thien Ong versi Tionghoa, yaitu Tuo Ta Li Tian Wang {Tho Tak Li Thien Ong}. Penambahan marga Li ini karena dikaitkan dengan Li Jing yang berasal dari propinsi Shan Xi, seorang panglima perang terkenal yang sangat berjasa dalam membantu Kaisar Li Shi Min {Lie Se Bin} mendirikan Dinasti Tang.

Dalam Feng Shen Yan Yi {Hok Kian = Hong Sin Yen Gi = Kisah Penganugerahan Dewa}, disebutkan bahwa Tho Tak Thien Ong adalah Li Jing {Li Ceng}, panglima perang yang pernah bertugas di kota Chen Tang Guan, & pernah membantu Raja Zhou Wu Wang menumbangkan Raja Zhou Wang (Raja terakhir Dinasti Shang : + abad 16 SM – abad 11 SM) yang lalim. Setelah berhasil membantu raja mendirikan Dinasti Zhou, Li Ceng kembali ke kampung halamannya, mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk membina diri. Akhirnya ia berhasil mencapai kesucian.

Li Ceng pernah berguru kepada Du E Zhen Ren. Dari hasil pernikahannya ia memperoleh 3 orang putra : Jin Zha {Kim Cia}, Mu Zha {Bok Cia}, Na Zha {Lo Cia} .

Pada saat Li Ceng mengirim pasukan bersenjata untuk menumpas Raja Zhou yang lalim, tak terduga ia malah bermusuhan dengan putranya. Li Ceng bukanlah tandingan putra ketiganya tersebut, maka kemudian Li Ceng meminta bantuan kepada Tai Yi Zhen Ren {Thay It Cin Jin} yang memberinya sebuah pagoda wasiat yang mungil, barulah Li Ceng bisa menaklukkan putra ketiganya, Lo Cia. Pagoda ini akhirnya menjadi ciri khas yang melekat erat dengan julukannya yaitu Tuo Ta Tian Wang {Tho Tak Thien Ong = Raja Langit Penyangga Pagoda} !

Dalam Xi You Ji {Se Yu Ki = Catatan Perjalanan Ke Barat}, oleh Yu Huang Da Di {Giok Hong Tay Te = Maha Dewa Kaisar Giok}, Li Ceng diangkat menjadi Jendral Langit yang memimpin para perwira langit. Setiap kali memimpin pasukan kahyangan, Lo Cia menjadi kepala pasukan perintis.

Dewa Tho Tak Thien Ong sangat terkenal di kalangan rakyat Tiongkok. Pada zaman dinasti Tang & Song, di mana Buddhisme mencapai masa keemasannya, keluarga Kaisar mendorong pemujaan kepada Tho Tak Li Thien Ong, sehingga di setiap kota besar didirikan kelenteng Tian Wang Ci {Thien Ong Su} sebagai lambang kewibawaan kerajaan.

Di Taiwan hanya sedikit kelenteng yang memuja Tho Tak Thien Ong. Kelenteng Tian Wang Gong di kota Ji Long menjadikan Tho Tak Thien Ong sebagai tuan rumahnya. Selain itu Tho Tak Thien Ong juga dipuja di Wen Su Dian & Tian Chi Tan di kota Tai Nan.

HIAN THIAN SIANG TEE - DEWA LANGIT UTARA

Hian Thian Siang Tee – Dewa Langit Utara.


Xuan Tian Shang Di { Hok Kian = Hian Thian Siang Tee } disebut juga  Xuan Tian Da Di / Yuan Tian Da Di /  Bei Ji Da Di /  Zhen Wu Da Di /  Kai Tian Da Di /  Xuan Wu Di / Zhen Wu Di / Yuan Wu Di, adalah salah satu Dewa yang paling terkenal dengan wilayah penghormatan yang amat luas, dari Tiongkok Utara sampai Selatan, Taiwan, Malaysia & Indonesia. Sebagian orang menyebutnya sebagai Shang Di Gong { Siang Te Kong }.  Kedudukannya di kalangan Dewa Langit sangat tinggi, berada setingkat di bawah Yu Huang Da Di { Giok Hong Tai Tee }. Merupakan salah satu dari Si Tian Shang Di (baca: Se Thian Sang Ti = Empat Maha Raja Langit), yang terdiri dari :
  1. Qing Tian Shang Di di Timur.
  2. Yan Tian Shang Di di Selatan.
  3. Bai Tian Shang Di di Barat.
  4. Xuan Tian Shang Di di Utara.

Hian Thian Siang Tee mempunyai kekuasaan di Langit bagian Utara & menjadi pemimpin tertinggi para Dewa di kawasan tersebut. Arcanya selalu digambarkan dengan menginjak kura-kura & ular. Xuan Wu adalah dewa yang berkedudukan di wilayah Utara & dilambangkan sebagai ular & kura-kura. Hian Thian Siang Te yang disebut juga Zhen Wu Da Di { Cin Bu Tay Tee } adalah Xuan Wu. Pada zaman Dinasti Song secara resmi huruf Xuan diganti Zhen, dan sebutan Xuan Wu diganti menjadi Zhen Wu Da Di. Di sebelah kiri & kanan Hian Thian Siang Te biasanya terdapat 2 orang pengawal yaitu Jendral Zhao & Jendral Kang.

Penghormatan kepada Hian Thian Siang Te mulai berkembang pada masa Dinasti Ming. Dikisahkan pada masa permulaan pergerakan Zhu Yuan Zhang (pendiri Dinasti Ming), dalam suatu pertempuran pernah mengalami kekalahan besar, sehingga ia terpaksa bersembunyi di Pegunungan Wu Tang Shan {Bu Tong San}, propinsi Hu Bei, dalam sebuah Kelenteng Shang Di Miao.  Berkat perlindungan Hian Thian Siang Te, Zhu Yuan Zhang dapat terhindar dari kejaran pasukan Mongol, yang mengadakan operasi penumpasan besar-besaran terhadap sisa-sisa pasukannya.

Kemudian berkat bantuan Hian Thian Siang Te pula, Zhu Yuan Zhang berhasil mengusir penjajah Mongolia dan menumbangkan Dinasti Yuan. Zhu Yuan Zhang mendirikan Dinasti Ming, setelah mengalahkan saingan-saingannya dalam mempersatukan Tiongkok.

Untuk mengenang jasa-jasa Hian Thian Siang Te & berterima kasih atas perlindungannya, Zhu Yuan Zhang lalu mendirikan kelenteng penghormatan kepadanya di ibukota Nan Jing (Nan King) & di Gunung Bu Tong San. Sejak itu Bu Tong San menjadi tempat suci bagi penganut Taoisme. Kemudian penghormatan kepada Hian Thian Siang Te meluas ke seluruh negeri, & hampir di setiap kota besar ada kelenteng yang menghormatinya. Kelenteng Hian Thian Siang Te dengan arcanya yang terbuat dari tembaga, bisa dilihat sampai sekarang. Selain itu Hian Thian Siang Te juga diangkat sebagai Dewa Pelindung Negara.

Di Taiwan pada masa Zheng Cheng Gong berkuasa, banyak kelenteng Shang Di Gong {Siang Te Kong} didirikan. Tujuannya adalah untuk menambah wibawa pemerintah, & menjadi pusat pemujaan bersama rakyat & tentara. Oleh karena itu, kelenteng Shang Di Miao {Siang Te Bio} tersebar di berbagai tempat. Di antaranya yang terbesar adalah di Tai Nan (Taiwan Selatan), yang dibangun pada saat Belanda berkuasa di Taiwan.

Setelah kekuasaan Zheng Cheng Gong jatuh, Dinasti Qing dari Manzhu yang berkuasa, mendiskreditkan Shang Di Gong dengan mengatakan bahwa beliau sebenarnya adalah seorang tukang jagal yang telah bertobat. Usaha ini mempunyai tujuan politik yaitu melenyapkan & mengikis habis sisa-sisa pengikut Dinasti Ming secara moral, dengan memanfaatkan dongeng ajaran Buddha tentang seorang tukang jagal yang telah bertobat, lalu membelah perutnya sendiri, membuang seluruh isinya & menjadi pengikut Buddha. Kura-kura & ular yang diinjak tersebut dikatakan sebagai usus & jeroan si tukang jagal. Oleh karena itu tingkatannya diturunkan menjadi Malaikat Pelindung Pejagalan.

Sejak itu pembangunan kelenteng-kelenteng Siang Te Bio amat berkurang. Pada masa ini pembangunan kelenteng Shang Di Miao hanya satu, yaitu Lao Gu Shi Miao di Tai Nan.
Namun sebenarnya Kaisar-Kaisar Manzhu sangat menghormati Hian Thian Siang Te, terbukti dengan dibangunnya kelenteng penghormatan khusus untuk Hian Thian Siang Te di komplek Kota Terlarang, Istana Kekaisaran di Beijing, yang dinamakan Qin An Tian. Satu kelenteng lagi dibangun di Istana Persinggahan di Cheng De.

Wu Dang Shan, gunung suci para penganut Taoisme, terletak di propinsi Hu Bei, Tiongkok Tengah. Sejak zaman Dinasti Tang, kelenteng-kelenteng sudah mulai didirikan di sana. Namun pembangunan secara besar-besaran adalah pada masa pemerintahan Kaisar Yong Le pada zaman Dinasti Ming. Hal ini tidak mengherankan karena Xuan Tian Shang Di diangkat sebagai Dewa Pelindung Kerajaan.

Di antara kelenteng-kelenteng di sana yang terkenal adalah Yu Xu Gong {Giok Hi Kiong} dengan bangunannya bergaya istana Beijing, terletak di bagian Barat Laut puncak utama Bu Tong San. Adalagi kelenteng Yu Zhen Gong yang dibangun pada tahun Yong Le ke-15, terletak di kaki Utara Bu Tong San. Di kelenteng ini terdapat penghormatan & arca Zhang San Feng {Thio Sam Hong}, pendiri perguruan silat cabang Wu Dang {Bu Tong Pay}.

Bangunan kuil yang paling lengkap adalah kelenteng Zi Xiao Gong yang terletak di puncak Timur Laut, merupakan pusat dari keseluruhan rangkaian tempat ibadah di gunung tersebut. Arca perunggu Hian Thian Siang Tee hasil pahatan Guru Ji (pemahat ulung dari Korea yang amat terkenal sampai ke manca negara) ditempatkan di sini. Di kelenteng ini dapat terlihat lambang Gunung Bu Tong San yaitu patung kura-kura & ular. Patung logam itu menggambarkan seekor kura-kura sedang dililit erat-erat oleh seekor ular. Katanya sang ular bermaksud memaksa sang kura-kura memuntahkan semua isi perutnya.

Menurut kepercayaan, kura-kura tersebut berasal dari perut besar (lambung/maag), & sang ular dari usus Zhen Wu yang berubah ujud. Dikisahkan bahwa suatu ketika dalam samadhinya yang tanpa makan & minum, Zhen Wu merasakan usus & lambungnya sedang bertengkar. Rupanya rasa lapar yang amat sangat menyebabkan kedua organ tubuh tersebut saling menyalahkan. Zhen Wu menyadari kalau dibiarkan, hal ini dapat mempengaruhi ketentraman batinnya. Dalam kejengkelannya, ia membelah perutnya & mengeluarkan kedua organ tubuh tersebut, lalu melemparkan ke rerumputan di belakangnya. Kemudian seperti tanpa terjadi sesuatu ia melanjutkan samadhinya.

Sang lambung & usus karena setiap hari mendengarkan Zhen Wu membaca ayat-ayat suci Tao, lama kelamaan memiliki tenaga gaib juga. Keduanya lalu berubah menjadi kura-kura & ular, kemudian menyelinap turun gunung untuk memakan ternak & juga manusia. Zhen Wu yang telah menjadi Dewa, amat murka akan kejadian ini. Dengan mengendarai awan & pedang terhunus ia turun gunung. Tebasan pedangnya di punggung kura-kura meninggalkan bekas sampai sekarang. Sejak itu di punggung kura-kura tampak guratan-guratan seperti bekas tebasan pedang. Dengan tali wasiat diikatnya leher sang ular, sehingga sejak itu leher ular menjadi lebih kecil daripada tubuhnya.

Setelah ditaklukkan, kura-kura & ular memperoleh pangkat Er Jiang yang berarti “Dua Panglima”, dan menjadi landasan tempat duduk Zhen Wu Da Di. Tapi sang kura-kura rupanya masih belum hilang watak silumannya. Hal ini diketahui oleh Zhen Wu, beliau lalu menyuruh sang ular melilit tubuh kura-kura erat-erat, agar segala benda yang telah ditelannya dimuntahkan kembali, & agar mengungkapkan semua kejahatan yang pernah dilakukannya. Patung kura-kura & ular ini sampai sekarang masih ada di ruang belakang kelenteng Zi Xiao Gong, & selanjutnya dijadikan logo yang melambangkan gunung Bu Tong San.

Masih ada 1 peninggalan penting yang ada kaitannya dengan Hian Thian Siang Tee, yaitu sebuah sumur yang dinamakan Mo Zhen Jing (Sumur tempat mengasah jarum). Konon pada waktu Zhen Wu sedang melakukan tapa di gunung ini, hatinya merasa goyah. Ia lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut. Sampai di tepi sumur ini ia melihat seorang wanita tua sedang mengasah alu besi. Zhen Wu merasa heran, lalu menanyakan apa maksud si nenek mengasah alu besi. Dengan tertawa si nenek berkata bahwa ia sedang mengasah alu untuk membuat jarum sulam. Mendengar jawaban ini Zhen Wu baru menyadari maksud yang terkandung di balik perkataan sang nenek. Segera ia kembali ke atas gunung untuk melanjutkan tapanya. Nama Mo Zhen Jing kemudian menjadi terkenal. Kini di dekat sumur itu dibangun rangon & patung seorang nenek tua yang sedang mengasah alu.

Sehubungan dengan kura-kura & ular ini, para pengusaha rakit bambu di Taiwan & Hongkong sembahyang kepada Hian Thian Siang Tee, agar kura-kura & ular di sungai-sungai tidak berani menimbulkan ombak & gelombang yang mengancam usaha mereka. Selain di Taiwan & Hongkong, persembahyangan kepada Hian Thian Siang Tee ini telah menyebar ke Asia Tenggara, terutama di Malaysia, Singapura & Indonesia. Di Singapura, kelenteng Wak Hai Cheng Bio di Philip Street, terkenal sembahyang kepada Hian Thian Siang Tee. Di Indonesia hampir setiap kelenteng menyediakan altar untuknya.
Menurut cerita, Kelenteng Hian Thian Siang Tee yang pertama di Indonesia adalah Kelenteng Welahan, Jawa Tengah. Di Semarang, sebagian besar kelenteng ada menyediakan altar khusus untuknya. Sedangkan kelenteng yang khusus sembahyang Hian Thian Siang Tee sebagai tuan rumah adalah Kelenteng Gerajen & Bugangan.

Hian Thian Siang Tee (Zhen Wu Da Di / Cin Bu Tay Tee) ditampilkan sebagai seorang dewa yang memakai pakaian perang keemasan dengan tangan kanan menghunus pedang penakluk iblis, kedua kakinya yang tanpa sepatu menginjak kura-kura & ular. Hari Se Jit Hian Thian Siang Te diperingati setiap tanggal 3 bulan 3 Imlek.