TERPUJILAH PARA BUDDHA, PARA BHODHISATTVA MAHASATTVA, SERTA PARA ARYA NAN BIJAKSANA..._/\_ NAMO BUDDHAYA _/\_


Hidup bukan untuk berharap, memohon, mengeluh.. Tapi hidup untuk berlatih, berusaha, berdoa dan teruslah berbuat baik.
Biarlah para mahluk suci menilai, melihat ketulusan dan keikhlasan dalam kebaikan yang kita lakukan. Selalu bersyukur saat para Buddha, Bodhisattva, Dewa, manusia atau mahluk suci lainnya memancarkan Welas Asih-nya kepada kita.

W E L C O M E ( E H I P A S S I K O )

Wednesday 1 January 2014

MEMAHAMI TRADISI MAHAYANA (03) : SIMBOLISME DAN SENI

SIMBOLISME DAN SENI

Setelah kita memahami dengan jelas apa maksud dari ajaran Sang Buddha, kita akan melihat sutra-sutra sebagai sesuatu yang berbeda. Sutra-sutra ini adalah salah satu koleksi literatur terbesar di dunia. Saya percaya ketika kita mempertimbangkan luasnya semua ajaran akademis, maka tidak ada satupun yang mampu melampaui luasnya Buddhisme. Untuk memperoleh manfaat dari koleksi yang luas ini, maka penting bagi kita untuk mengetahui dan memahami esensi dari isi ajarannya, yang merupakan realitas sejati dari semua Dharma, realitas sejati kehidupan dan alam semesta. Istilah “Kehidupan” mengacu pada diri kita sendiri. “Alam semesta” mengacu pada lingkungan yang ada di sekeliling kita. Tidak benar jika kita menganggap Buddhisme sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak jelas yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Setiap kata di dalam sutra sangat erat kaitannya dengan kehidupan kita. Selain itu, sudah pasti Buddhisme bukanlah takhayul.

Bagaimana dan di mana kita mulai? Untuk kenyamanan, kesempurnaan di dalam metode pengajaran Sang Buddha, memerlukan kreativitas yang lebih. Buddhisme sejak dua ribu tahun yang lalu telah menggunakan hal-hal yang berhubungan dengan artistik. Sebagai contoh, semua nama-nama Buddha dan rupang-rupang (patung-patung) mewakili kebajikan alamiah kita, kualitas kebijaksanaan lahiriah, kemampuan kebajikan dan bakat artistik. Semua nama-nama dan rupa-rupa Bodhisattva mewakili kebajikan luhur kita. Mereka mengajarkan kepada kita cara menerapkan ajaran Buddha dalam kehidupan kita untuk membawa keluar sifat lahiriah kebajikan kita sehingga manfaat dari Buddhisme dapat kita rasakan.

Dalam Buddhisme Mahayana Cina, keempat Maha Bodhisattwa merupakan sebuah gambaran dari tingkat latihan dan pencapaian kita. Yang pertama adalah Bodhisattva Ksitigarbha (Bodhisattva Kandungan Bumi). Ketika kita berpikir tentang semua pengetahuan duniawi, dharma ataupun Buddhisme, tidak ada yang dapat diketahui jika tidak ada bumi atau tempat untuk kita berada. Kehadiran manusia tidak dapat dipisahkan dari bumi yang di dalamnya kita bertahan hidup. Baik pakaian, makanan, hidup ataupun bekerja, semua bergantung pada produksi dari tanah, sehingga harta yang tak terbatas yang ada di bumi kelihatannya tidak akan pernah habis untuk kita gunakan. Kata “bumi” dalam nama Bodhisattva ini menggambarkan ‘pikiran’ dan kata “kandungan” menggambarkan ‘harta’.

Ajaran Sang Buddha pertama-tama mengajarkan kepada kita untuk memulai latihan dengan pikiran kita, sebagaimana sifat alami kita yang meliputi kebijaksanaan yang tak terbatas dan kemampuan bajik tidaklah berbeda dengan para Buddha atau Bodhisattwa. Namun, untuk sekarang ini kita telah kehilangan kebijaksanaan dan kemampuan bajik kita. Sang Buddha mengungkapkan bahwa kemampuan ini tidak sepenuhnya hilang, hanya belum terungkap. Saat ini, kita tanpa hentinya membiarkan diri kita terus mengembara, dengan pikiran yang terus membanding-bandingkan dan kemelekatan kita, yang berdampak pada hilangnya kemampuan ini sementara. Akan tetapi, di dalam pikiran yang benar, tidak ada pikiran yang mengembara. Jika ada pikiran yang mengembara, maka pikiran itu sendiri yang salah. Pada dasarnya kita telah memiliki pikiran yang benar, jadi berlatih Buddhisme hanyalah untuk memulihkannya kembali.

Oleh karena itu, tujuan pertama dalam latihan adalah mengungkap dan mencari harta karun dalam pikiran kita. Atau dengan kata lain, ajaran Buddha tidak dapat dicari di luar diri tetapi dapat ditemukan di dalam sifat-alami dalam diri.

Bodhisattwa Kandungan Bumi (Bodhisattwa Ksitigarbha) menggambarkan tentang bakti, Jadi, Sutra Kandungan Bumi merupakan sutra tentang bakti, sebuah konsep dasar dimana semua orang akan melakukan dengan baik untuk memulainya. Kebaikan yang ditunjukkan orang tua kita dengan memberi kehidupan dan merawat kita adalah tidak terlukiskan. Berbakti dan merawat orang tua kita pada hakikatnya adalah tanggung jawab kita. Kita tidak hanya harus memenuhi kebutuhan materi mereka saja tetapi kita juga harus memenuhi kehidupan rohani mereka juga. Lebih dari itu, kita juga perlu memelihara aspirasi mereka untuk kita dan bagi kita, hal inilah yang paling sulit. Orang tua menginginkan anak-anaknya memiliki karir yang sukses, berperilaku baik, dan dihormati oleh generasi sekarang dan yang akan datang. Dengan kata lain, kita harus melakukan dan bertindak dengan baik, yang akan membuat mereka bangga pada kita. Oleh karena itu, pencapaian tertinggi dan sempurna dari bakti pada orang tua adalah menjadi Buddha. Kita mulai dengan berlatih hal ini dan kemudian mengembangkan bakti dan hormat kita pada semua makhluk hidup.


Bodhisattwa kedua, Guan Yin, menggambarkan welas asih dan kebaikan. Apa tujuan membuat persembahan kepada Bodhisattwa Guan Yin? Ini adalah untuk mengingatkan kepada kita untuk memperlakukan semua orang dengan welas asih yang besar dan penuh kebaikan, menggunakan cinta tanpa syarat dan kepedulian untuk membantu semua makhluk hidup.

Bodhisattwa ketiga, Manjusri, menggambarkan kebijaksanaan dan pemikiran yang logis, mengingatkan kita bahwa ketika kita berlatih dan berinteraksi dengan orang lain kita harus memenuhi kewajiban berbakti kita, mengandalkan kebijaksanaan dan pemikiran yang logis, dan bukan pada emosi.


Bodhisattwa keempat, Samantabhadra yang Maha Agung (Keagungan Universal) menggambarkan penanaman kejujuran, penerapan bakti, belas kasihan, kebaikan dan pemikiran yang logis dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika seseorang dengan sempurna mencapai jalan Bodhisattwa Keagungan Universal, seseorang akan menjadi Buddha. Buddhisme mengajarkan kita bagaimana untuk hidup harmoni dengan realitas sejati kehidupan dan alam semesta. Dengan kata lain, kita akan hidup sempurna dan kehidupan yang indah yang serupa dengan para Buddha dan Bodhisattwa. Ini adalah sebuah kebenaran, inti dan ajaran Mahayana yang sempurna.


Untuk berlatih Buddhisme, kita memulai dengan :
  1. Berbakti dan menghormati orang tua, guru dan para tetua,
  2. Memiliki pikiran yang penuh welas asih,
  3. Memelihara pikiran dan kebijaksanaan,
  4. Memperluas pikiran. 

Meskipun berurutan, tetapi dapat juga dipraktikkan secara bersamaan, karena saling berhubungan. Contohnya, berbakti kepada orang tua termasuk kasih sayang dan kebaikan, nalar dan
kebijaksanaan. Kebijaksanaan termasuk berbakti, penuh kasih dan baik.

Setelah kita memiliki pemahaman tentang Buddhisme, bagaimana cara kita menerapkannya dalam kehidupan? Pertama kita perlu mengetahui apa yang direpresentasikan oleh Buddha dan Bodhisattwa. Jika kita tidak tahu, maka Buddhisme tak pelak hanya menjadi takhayul dan kita tidak menerima manfaat apapun. Semua sutra-sutra Buddhis mengandung sifat-sifat, karakteristik dan cara untuk berlatih ini; Oleh karena itu, hanya mempelajari satu sutra saja akan cukup. Seseorang perlu tahu bagaimana memahami dan menerapkan ajaran secara efektif.

Biasanya di tengah aula utama Vihara, ada satu patung Buddha dan dua Bodhisattva, yang mencerminkan sifat-alami dan entitas asli kita. Kedua Bodhisattva mencerminkan kemampuan bajik di dalam sifat-alami kita, satunya adalah pemahaman dan yang lainnya adalah praktik. Jika Buddha yang di tengah adalah Buddha Shakyamuni, maka kedua sosok yang ada di sisinya adalah Manjusri dan Bodhisattwa Samantabhadra (Keagungan Universal), mencerminkan kebijaksanaan dan aplikasinya masing-masing. Jadi, pemahaman dan praktik digabung menjadi satu. Jika aula memiliki rupang tiga orang bijak dari Tanah Suci Barat, dengan Buddha Amitabha di bagian tengah mencerminkan sifat-alami, maka kedua sosok yang ada pada kedua sisinya adalah Bodhisattva Avalokitesvara (Guan Yin) dan Bodhisattwa Mahasthamaprapta (Bodhisattwa Kekuatan Agung). Masing-masing mencerminkan welas asih dan kebijaksanaan, sepenuhnya melambangkan kebijaksanaan tak terbatas dan kemampuan bajik. Oleh karena itu, sekali lagi kita melihat bahwa Buddhisme adalah suatu ajaran.

Ada makna ajaran yang mendalam di dalam nama-nama para Buddha dan Bodhisattva, misalnya nama Buddha Shakyamuni memberitahukan tentang prinsip-prinsip ajaran Buddha. “Shakya” berarti kemanusiaan dan kebaikan. “Muni” berarti kemurnian pikiran. Ajaran tentang kedua kualitas ini sangat dianjurkan karena orang-orang di dunia ini kurang welas asih dan kebaikan, dan terkadang cenderung egois. Lebih dari itu, semua makhluk hidup yang kurangnya pikiran murni terus-menerus berputar di dalam pikiran yang mengembara, keserakahan, kemarahan, kebodohan dan kesombongan. Setiap Bodhisattva yang menjadi Buddha di dunia ini akan diberi nama Shakyamuni untuk mengajarkan kepada kita solusi dari masalah kita. Setelah representasi dari rupang Buddha dan Bodhisattva dipahami secara intuisi hanya dengan melihat mereka, seseorang akan memahami dengan sempurna tujuan ajaran Buddha.


Ketika kita memasuki aula pertama Vihara, yaitu Aula Penjaga Surga, kita akan melihat rupang (patung) Bodhisattva Maitreya dikelilingi oleh empat Penjaga Surga ( catummaharajika ) di tengah aula. Bodhisattva Maitreya, dikenal di Barat sebagai Buddha Bahagia, memiliki senyum yang lebar yang menandakan kebahagiaan. Perut besarnya menandakan toleransi yang sangat besar dan pikiran yang luas, yang mengajarkan kepada kita bagaimana berinteraksi dengan orang lain dan berbagai hal dengan penuh sukacita, tidak membanding-bandingkan dan toleran. Di sisi-sisinya ada empat penjaga surga atau pelindung Dharma yang mengajarkan kita untuk melindungi diri sendiri.

Pelindung Dharma Timur, melambangkan pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab, mengajarkan kita terlepas dari posisi apapun, seseorang harus menunaikan kewajibannya. Dia memegang sebuah kecapi di tangannya. Sebenarnya tidak boleh terlalu ketat, atau akan putus; tidak boleh terlalu longgar juga, atau mereka tidak dapat dimainkan dengan baik. Ketika diatur dengan benar dan seimbang, instrumen dapat dimainkan dengan indah, melambangkan bahwa kita harus mengambil jalan tengah ketika berhubungan dengan hal-hal, orang dan objek. Ketika setiap dari kita memenuhi tanggung jawab dan kewajiban kita, bagaimana mungkin bangsa kita tidak makmur?

Pelindung Dharma Selatan melambangkan perkembangan dan kemajuan setiap hari. Tidak hanya melakukan sesuatu saja perlu dilakukan dengan tepat; perkembangan yang berkesinambungan juga perlu dicari. Di tangan kanannya, Pelindung Dharma Selatan memegang pedang kebijaksanaan dan di tangan kirinya ada sebuah cincin yang melambangkan kebijaksanaan yang sempurna, menunjukkan bahwa seseorang perlu kebijaksanaan untuk menjadi lebih baik. Pedang melambangkan bahwa seseorang perlu memutus rantai penderitaan sebelum mereka lepas kendali.

Penjaga Surga ketiga dan keempat adalah Pelindung Dharma Barat dan Pelindung Dharma Utara, melambangkan visi atau pandangan yang luas dan mendengarkan dengan seksama. Keduanya mengajarkan kita untuk mengamati dan mendengar dengan lebih hati-hati serta membaca berbagai buku dan melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk memperluas pengetahuan. Mereka mengajarkan kita untuk melakukan pekerjaan kita dengan baik, mengambil yang baik serta mengabaikan kekurangan yang lain.

Pelindung Dharma Barat menandakan pengamatan yang jauh ke depan dan memegang seekor naga atau ular. Naga atau ular melambangkan perubahan yang terus-menerus. Di tangannya yang lain, dia memegang manik-manik, melambangkan prinsip. Manusia, hal dan objek dalam masyarakat mengalami perubahan terus-menerus. Seseorang perlu mengamati dengan cermat dan teliti, untuk memiliki pemahaman yang kuat pada prinsip-prinsip agar dapat mengontrol “naga atau ular” ini.

Pelindung Dharma Utara memegang sebuah payung untuk mencegah seseorang tercemar. Hal ini mengingatkan kita di dalam masyarakat yang kompleks, seseorang perlu tahu bagaimana menjaga tubuh dan pikiran dari polusi dan korupsi. Dari contoh-contoh ini, dapat kita lihat bahwa aspek seni dari ajaran para Buddha sangatlah indah. Tetapi sayang, banyak orang menganggap pelindung-pelindung Dharma ini sebagai dewa-dewa yang harus disembah, yang sepenuhnya salah.


MEMAHAMI TRADISI MAHAYANA (02) : Tujuan Ajaran Buddha


Tujuan Ajaran Buddha

Dari sifat dasar Buddhisme, selanjutnya kita akan membahas tujuan dari ajaran Buddha. Tujuannya adalah untuk menghancurkan delusi dan mencapai pencerahan. Sang Buddha menunjukkan kepada kita mengapa kita hidup dalam penderitaan dan mengapa kelahiran kembali di enam alam itu ada. Hal ini karena kebijaksanaan dan kemampuan kita masih tertutupi delusi. Jadi, semua cara pandang dan interaksi kita terhadap kehidupan dan alam ini adalah salah. Tindakan yang salah ini telah mengakibatkan kita menderita kelahiran berulang di dalam enam alam.

Tujuan dari ajaran Buddha adalah untuk membantu dan menuntun kita menghancurkan delusi, melepaskan penderitaan kita dan memperoleh kebahagiaan. Apa yang kita cari di dalam Buddhisme? Jawabannya adalah kita mencari Anuttara-Samyak-Sambodhi, yaitu tercapainya pencerahan yang sempurna. Buddha mengajar dan berharap kita semua dapat mencapai pencerahan, atau dalam arti lain, menjadi Buddha.

Pencerahan Sempurna Lengkap dibagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu: Arhat, Bodhisattva dan Buddha.

Tingkatan yang pertama adalah “ Pencerahan Yang Benar ” (Arhat). Dalam dunia kita, ada beberapa orang yang pintar dan bijak, seperti ilmuwan, filsuf, dan pemuka agama. Mereka telah mencapai pemahaman yang lebih dibanding pemahaman yang dimiliki kebanyakan orang pada umumnya. Akan tetapi, meskipun mereka memiliki pemahaman yang lebih, Buddha tidak mengakui pengetahuan mereka sebagai Pencerahan Yang Benar, karena mereka belum sepenuhnya melenyapkan beberapa kesusahan-derita (affliction) mereka. Mereka masih berkecamuk di dalam penilaian yang benar dan yang salah terhadap orang lain, ketamakan, kemarahan, ketidaktahuan dan kesombongan. Mereka masih memiliki pikiran yang kacau, pikiran yang membeda-bedakan sesuatu dan kemelekatan. Dengan kata lain, pikiran mereka belum murni. Tanpa pikiran murni, tidak peduli setinggi apapun pemahaman yang dicapai, belum dapat dikatakan sebagai pencerahan yang benar.

Dalam Buddhisme, standar untuk mencapai pencerahan yang benar adalah pikiran murni yang menjadi cikal bakal munculnya kebijaksanaan sejati. Ini merupakan harapan Buddha bahwa kita semua dapat mencapai pencerahan yang sebenarnya. Inilah yang merupakan level atau gelar dari seorang Arhat sama seperti seseorang berkuliah untuk memperoleh gelar sarjana. Karena itu, Arhat, Boddhisattwa, dan Buddha adalah gelar yang diberikan berdasarkan tingkatan pencerahan yang dicapai di dalam Buddhisme. Seseorang yang mencapai pencerahan yang benar disebut sebagai Arahat. Arahat tidak memiliki ilusi atau pikiran dan pandangan yang salah. Mereka tidak lagi berkecamuk di dalam penilaian terhadap seseorang, mana yang benar dan salah, atau pikiran–pikiran yang tamak, marah, tidak tahu atau sombong.

Dari sini, dengan intuisi saja kita dapat secara jelas membedakan Buddhisme dan ajaran lain pada umumnya. Dari Sang Buddha, kita belajar ajaran dan pencerahan yang benar. Hanya dengan pencerahan yang benar, seseorang dapat melenyapkan semua penderitaan dan meraih kebahagiaan. Sebagai makhluk hidup, kita mengalami penderitaan dari kelahiran, usia tua, sakit, dan kematian. Kita tidak memperoleh apa yang kita inginkan, kita mengalami perpisahan dengan orang-orang yang kita cintai dan berada di tengah-tengah orang yang tidak kita sukai atau bahkan kita benci. Kita berada di antara semua penderitaan ini tanpa ada jalan yang jelas untuk terbebaskan. Hanya setelah mempelajari Buddhisme maka kita akan dapat memperoleh kebebasan sejati.

Sutra Karangan Bunga (Avatamsaka Sutra atau Huáyán Jīng) menjelaskan kepada kita, “Semua makhluk hidup memiliki bibit kebijaksanaan dan kemampuan yang sama seperti Buddha, tetapi bibit ini belum berbuah karena kebingungan pikiran dan kemelekatan kita.” Dari sini kita dapat mengetahui dengan jelas akar dari permasalahan kita. Mempraktikkan Buddhisme harus sejalan dengan ajaran Sang Buddha, yaitu mengendalikan kebingungan (pikiran yang menggembara) kita, pikiran yang membanding–bandingkan dan kemelekatan. Kemudian, kita akan mendapatkan pikiran yang murni, yang melahirkan kebijaksanaan sejati, yang merupakan pencerahan yang benar. Karena itu, Buddha dan Boddhisattwa tidak mengakui kepintaran dan kebijaksanaan duniawi, yang tidak memiliki pikiran yang cukup murni, yang merupakan pencerahan yang benar. Setelah mencapai pencerahan yang benar, seseorang akan memiliki kemampuan untuk melampaui lingkaran kelahiran dan kematian yang tiada akhir, tidak hanya kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan sehari–hari.

Baik berbicara tentang ajaran Buddha ataupun ajaran umum, sangatlah penting bagi kita untuk mengerti konsep dari menggali secara dalam dengan satu metode untuk mencapai pencerahan. Hal ini sangat ditekankan dalam Buddhisme. Seseorang yang memiliki tekad untuk belajar secara efektif hanya perlu mengikuti satu guru saja dan cukup berlatih hanya satu jalan untuk memastikan perjalanan kita mulus. Ketika kita mengikuti dua guru dengan dua jalan berbeda, kita akan dibingungkan oleh jalan mana yang akan ditempuh. Yang lebih parah, mengikuti tiga guru bagaikan seseorang yang berada di jalan T [jalan bercabang tiga seperti huruf T, -ed.]. Dengan empat orang guru bagaikan seseorang yang berada di perempatan jalan. Muda–mudi sekarang rajin belajar banyak, tetapi gagal memperoleh hasil yang bagus. Masalahnya adalah kita berkutat di perempatan jalan, kita bingung harus mengambil jalan yang mana. Untuk berhasil dan memperoleh hasil dalam berlatih Buddhisme, seseorang cukup mengikuti satu orang guru dan cukup berkonsentrasi dengan satu metode.

Hasil apa yang akan diraih? Hasil nyata adalah memperoleh pikiran yang murni. Setelah memperoleh beberapa tingkatan dari pikiran murni, seseorang akan merasakan semakin sedikit penderitaan/kesusahan yang dimiliki dan adanya peningkatan dari kebijaksanaan sejati, seseorang menjadi mampu untuk menyelesaikan masalah–masalah di dunia ini dan lebih dari itu. Tanpa adanya kebijaksanaan sejati ini, tidak ada masalah yang benar–benar terselesaikan. Oleh karena itu, kebijaksanaan sejati berarti penting dalam menciptakan kebahagiaan dan pemenuhan hidup. Dalam makna yang lebih luas, kebijaksanaan sejati ini dapat membantu kita menyelesaikan persoalan sosial.

Saat ini banyak politisi yang beranggapan mereka sangat pintar tetapi berakhir dengan membuat negaranya tertimpa bencana, seperti membuat rakyatnya kecewa. Apa alasan untuk hal ini? Pemimpin seperti ini belum melenyapkan penderitaan, pikiran yang bingung dan mendiskriminasi (membanding-bandingkan), serta kemelekatannya. Konsekuensinya, pertimbangan utama mereka adalah keuntungan mereka sendiri, kemelekatan mereka sendiri.

Sang Buddha mengajarkan bahwa untuk memperoleh kebijaksanaan sejati dilakukan dengan membebaskan pandangan kita saat ini. Tanpa kebijaksanaan sejati ini, seseorang akan salah menginterpretasikan makna dari sutra-sutra Mahayana. Jika seseorang mampu lepas dari pikiran egois, maka dia akan memperoleh keuntungan. Dengan pencerahan yang benar, hanya ketika seseorang tidak mempunyai ego atau kemelekatan diri, orang tersebut akan mampu membedakan benar dan salah, lurus dan menyimpang serta yang menguntungkan dan merugikan. Tanpa membebaskan pandangan, seseorang tidak akan mempunyai kemampuan ini. Dari sini, kita mengerti adanya standar dari pencerahan yang benar.

Satu tingkatan diatas pencerahan benar adalah “Pencerahan yang benar dan setara”. Setara maksudnya setara seperti Sang Buddha, tetapi belum menjadi Buddha. Tingkatan ini lebih tinggi dari seorang Arhat. Pencerahan yang benar dan setara mengharuskan seseorang menghancurkan satu tingkatan ketidaktahuan, untuk memperoleh satu tingkatan dari tubuh Dharma. Pada bagian ini, cara seseorang memandang realitas kehidupan dan alam semesta hampir menyamai cara pandang Buddha. Seseorang yang memperoleh pencerahan yang benar dan setara disebut seorang Boddhisattva.

Sutra Karangan Bunga (Avatamsaka Sutra atau Huáyán Jīng) menjelaskan empat puluh satu tingkatan Bodhisattva, yang kesemuanya merupakan tingkatan pencerahan. Setelah menghancurkan tingkatan ketidaktahuan yang paling akhir, menyempurnakan kebijaksanaan dan pencerahan, seseorang akan memperoleh “ Pencerahan penuh yang sempurna ” yang merupakan ke-Buddha-an. Oleh karena itu, Buddha, Bodhisattva dan Arahat merupakan gelar, bukan nama dari orang tertentu. Mereka adalah gelar yang sama seperti gelar Doktor, Master atau Sarjana. Sebagai contoh, di dalam nama Bodhisattva Guan Yin ( Kuan Im – bahasa hokkien ), Guan Yin mencerminkan maha belas kasih dan cinta universal tanpa batas. Gelar Bodhisattva sama seperti gelar Master. Saat ini, orang-orang sering salah mengartikan Buddha dan Bodhisattva, banyak yang menganggap keduanya merupakan nama dari makhluk tertentu. Mereka tidak paham bahwa gelar ini menunjuk kepada makhluk apapun yang memiliki karakteristik seperti itu. Buddha atau Bodhisattva, ketika ditambahkan ke dalam nama, menunjukkan sebuah kekhususan.

Dari sifat dasar Buddhisme, kita menyadari bahwa tujuan kita berlatih adalah untuk mencari kebijaksanaan. Dalam Zen, tujuan ini disebut, “ Mencapai kejernihan pikiran untuk melihat sifat-alami diri sendiri. ” Dengan kata lain “ Pencerahan Sempurna ”. Dalam Buddhisme Tradisi Tanah Suci, hal ini disebut “ Satu Pikiran Yang Stabil. ” Tradisi Tanah Suci adalah unik karena tidak hanya berusaha memiliki satu pikiran stabil tetapi juga berusaha lahir di Tanah Suci Barat. Tidak seperti tradisi lainnya, yang hanya mengandalkan kekuatan sendiri untuk mencapai tujuannya. Metode Tanah Suci mempunyai dua tujuan yang dapat diraih dalam satu waktu hidup.

Seseorang yang dekat dengan Sutra Kehidupan Tak Terbatas (Sukhāvatīvyūha-sūtra atau Wúliáng Shòu Jīng) dan mengerti ajarannya akan bebas dari segala keraguan. Judul lengkap dari sutra ini menunjukkan tujuan dari praktik kita yaitu: Perkataan Buddha dari Sutra Kehidupan Tak Terbatas tentang Perhiasan, Kemurnian, Kesetaraan dan Pencerahan Tradisi Mahayana. Kehidupan tak terbatas dan “perhiasan” adalah yang dicari praktisi Tanah Suci. Kehidupan Tak Terbatas menunjuk kepada jasa [kebaikan] dan kebajikan dari sifat-alami seseorang. “Perhiasan” menandakan kesempurnaan kebijaksanaan dengan kemudahan dan pemenuhannya. Kemurnian, Kesetaraan dan Pencerahan adalah metodenya, tiga jalan/cara dalam praktik. Setelah mencapai salah satu yang manapun, maka ketiganya juga telah tercapai. Dari semua Tradisi Buddhisme, belum ada yang melampaui ketiga cara praktik ini.

Tradisi Zen menggunakan jalan kesadaran untuk mencapai pencerahan dan memperoleh kemurnian untuk melihat sifat asli seseorang. Tradisi Buddhis selain Zen menekankan praktik pemahaman atau pandangan benar, sampai memperoleh pemahaman yang sempurna. Tradisi Tanah Suci, di sisi lain, berkonsentrasi pada kemurnian pikiran. Seseorang dengan kemurnian pikiran akan secara alamiah berhenti membanding-bandingkan dan tersadarkan. Orang yang tersadarkan akan secara alamiah memiliki pikiran yang murni dan tidak membanding-bandingkan. Jalur yang ditempuh mungkin berbeda tetapi tujuan akhirnya adalah sama. Dalam praktik Zen hal ini dinyatakan sebagai “memperoleh pikiran yang murni dan melihat sifat asli seseorang.”

Tradisi yang berbeda mungkin menggunakan nama yang berbeda tetapi hasil atau tingkat pikirannya adalah sama. Oleh karena itu, mengkritik tradisi lain yang manapun berarti menjelek-jelekkan Buddha dan Dharma. Semua metode ini diwariskan kepada kita oleh Buddha Shakyamuni. Memilih jalan manapun akan memungkinkan seseorang memperoleh pencapaian. Bagaimana kita dapat mengatakan metode yang satu lebih baik dibanding yang lain? Dari semua metode yang berbeda kita hanya perlu memilih satu metode yang paling cocok dan sesuai dengan tingkatan kita.

Pertama, jika metode yang kita pilih melebihi kapasitas kita, membuat kita sulit untuk mempraktikkannya, kita tidak akan berhasil dengan mudah menggunakan metode tersebut. Kedua, metode itu harus cocok dan nyaman untuk cara hidup kita. Ketiga, metode itu harus sesuai dengan masyarakat modern, karena kita tidak dapat memisahkan diri kita dari masyarakat atau manusia lainnya. Oleh karena itu, kita perlu mempertimbangkan faktor-faktor ini untuk menentukan metode pengembangan batin.

Bagaimanapun juga, tidak peduli metode yang mana yang dipraktikkan, sangatlah penting melepaskan diri dari pandangan diri dan kemelekatan agar dapat memperoleh manfaat dari praktik. Atau tidak, seperti pengalaman banyak orang, upaya yang besar dalam praktik akan menjadi sia-sia. Beberapa praktisi merasakan bahkan setelah bertahun-tahun melakukan praktik mereka tidak mendapatkan apa-apa, bahkan mereka merasakan perasaan mereka lebih baik sebelum mereka melakukan praktik. Kelihatannya semakin mereka berlatih, semakin buruk yang mereka rasakan. Semua ini muncul dikarenakan mereka memilih metode yang tidak sesuai untuk mereka. Hal ini sama seperti mengambil jurusan yang tidak cocok di sekolah. Ketika seseorang memilih jurusan yang tidak cocok dengan latar belakang dan kemampuannya, dia akan mengalami masa yang sulit untuk berhasil. Memilih jurusan yang sesuai membuat kita belajar dengan lebih mudah, jadi kesempatan untuk berhasil juga lebih besar. Hal yang sama berlaku ketika kita melakukan praktik Buddhisme. Ketika seseorang tidak mengetahui kapasitas sendiri, maka ujilah sendiri.

Seperti saya sendiri, misalnya. Setelah membaca banyak Sutra Mahayana, saya merasakan bahwa diri saya belum mampu mencapai apapun. Saya sangat ingin memutus pikiran saya yang mengembara, membanding-bandingkan dan melekat, tetapi saya tidak mampu. Akhirnya, saya memilih metode Tanah Suci untuk memperoleh pencapaian. Metode ini tidak membutuhkan seseorang untuk menyingkirkan semuanya tetapi lebih pada menekan halangan tersebut. Selama seseorang mampu menahan semua penderitaan, maka orang tersebut dapat dilahirkan di dalam Tanah Suci Barat dengan membawa karma yang ada padanya.


Metode ini sangat cocok untuk saya dan demikian cara saya memilihnya. Sebelumnya, saya telah mencoba Zen [meliputi metode Dhyana/Chan/Dzogchen], Tradisi Pengajaran [meliputi pemahaman Sutra, Paramita], Tradisi Esoteris [meliputi metode Vajra/Mantra/Tantra] dan praktik mengikuti sila (aturan-moralitas), tetapi tidak mampu memperoleh pencapaian dengan metode-metode tersebut. Jadi, saya kembali ke metode Tanah Suci dan dengan sepenuh hati mempelajari Metode Melafalkan Nama Buddha sambil berkonsentrasi mempelajari Sutra-sutra Tanah Suci. Ini adalah pengalaman praktik saya selama puluhan tahun. 

Monday 30 December 2013

MEMAHAMI TRADISI MAHAYANA (01) : Ajaran Agung dan Sempurna



Ajaran Agung dan Sempurna


Dewasa ini, kita dapat melihat bahwa semakin banyak orang–orang di dunia mulai belajar Buddhisme (ajaran Buddha). Walaupun demikian, tidak banyak dari mereka yang benar-benar memahami apa sebenarnya Buddhisme itu. Oleh karena itu, hal ini sangatlah penting untuk dibicarakan. Apa sebenarnya Buddhisme itu? Kita perlu memahaminya dengan jelas. Buddhisme adalah sebuah ajaran yang agung dan sempurna, yang diajarkan langsung oleh Buddha kepada semua makhluk hidup di dalam sembilan alam kehidupan. Mengapa kita mengatakan bahwa Buddhisme adalah sebuah pendidikan? Pertama–tama, kita melihat dari cara menyebut Buddha Shakyamuni sebagai “Guru Agung” kita sebagaimana dialah yang pertama menemukan Buddhisme dan kita semua sebagai muridnya. Dari sini, sangatlah jelas bahwa antara Sang Buddha dan kita memiliki ikatan guru dan murid. Ikatan ini hanya ada di dalam proses mengajar.

Jika Buddhisme adalah ajaran, maka siapa sebenarnya Buddha? Buddha berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti kebijaksanaan dan pencerahan. Akan tetapi, kebijaksanaan yang dimaksud disini bukanlah kebijaksanaan seperti yang telah kita pahami secara luas sampai saat ini. Secara umum, yang dimaksud kebijaksanaan Buddha adalah sebuah kemampuan yang dengan luar biasa, dengan sempurna, dan dengan benar mampu untuk memahami realitas kehidupan dan alam semesta di masa yang lalu, sekarang, maupun di masa yang akan datang. Seseorang yang memahami kebijaksanaan ini disebut sebagai Buddha. Buddha Shakyamuni menjelaskan bahwa : semua makhluk hidup, termasuk kita sendiri, sejak lahir juga memiliki bibit kebijaksanaan dan kemampuan ini. Dalam hal ini, Buddhisme menganggap semua makhluk sama. Meskipun kita memiliki kemampuan yang sama, namun saat ini kita tidak mampu melihat realitas kehidupan karena kebijaksanaan dan kemampuan setiap orang berbeda.

Dalam komunitas kita, ada anggapan bahwa ada yang pintar dan ada yang tidak, ada yang memiliki kemampuan yang hebat ataupun berbakat dan ada yang kurang. Bagaimana hal seperti ini dapat muncul? Buddha menjelaskan bahwa hal ini muncul dikarenakan kita membuat perbandingan berdasarkan delusi (pandangan yang salah, khayalan). Bibit kebijaksanaan dan kemampuan kita hilang karena tertutupi oleh delusi kita, tetapi tidak hilang secara utuh melainkan hanya sementara. Jika kita mampu menyadari dan menghancurkan delusi ini, maka kita akan menemukan kembali kemampuan itu. Karena alasan inilah, ajaran Buddha mengajarkan kepada kita bagaimana cara untuk mengendalikan diri terhadap delusi dan cara untuk menyingkapi bibit kebijaksanaan dan kemampuan kita.

Sering dijelaskan dalam Sutra-sutra Mahayana bahwa Buddha tidak secara langsung membantu makhluk hidup. Jadi bagaimana caranya setiap makhluk hidup bisa menjadi Buddha? Jawabannya adalah dengan usaha dari makhluk hidup tersebut. Sang Buddha hanya membantu dengan menjelaskan realitas bagaimana kita mendelusi diri kita sendiri. Setelah menyadari hal ini, kita seharusnya dengan tekun mempraktikkan ajarannya untuk memperoleh pencerahan tentang realitas yang sesungguhnya. Kita kemudian akan menjadi Buddha. Buddha Shakyamuni dengan jelas memaparkan bahwa semua makhluk hidup bisa menjadi Buddha.

Dari hal ini, kita dapat melihat bahwa Buddhisme adalah sebuah ajaran. Bagaimanapun juga, seorang guru hanya dapat mengajarkan prinsip–prinsip dasar kepada kita, menjelaskan pengalamannya dalam praktik dan pencapaiannya, dan menyarankan metode yang bervariasi untuk membantu pencapaian kita. Sisanya bergantung pada kita. Kitalah yang seharusnya bersemangat dan tekun berupaya. Sekali kita mengerti bahwa Buddhisme adalah sebuah pendidikan, maka kita secara sadar akan menganggap Buddha sebagai guru kita. Beranjak dari hal ini, kita harus mengerti bahwa di wihara, kita tidak menganggap gambar ataupun rupa Buddha ataupun Bodhisattwa sebagai dewa yang harus disembah. Kita melakukan puja (penghormatan) kepada gambar ataupun rupa ini untuk dua alasan. Pertama, untuk mengingat dan sebagai rasa terima kasih kita atas ajarannya yang sangat luar biasa. Kita sangatlah beruntung dapat bertemu dan menerima ajarannya dalam masa kehidupan kita kali ini.

Dikatakan dengan jelas dalam baris pembukaan sutra-sutra; ”Sangatlah sulit untuk bertemu dengan ajaran ini di dalam beribu–ribu masa yang tidak terhingga/eon (kalpa).” Hutang terima kasih kita ini kepada Buddha lebih seperti sebuah pengenangan, seperti yang dilakukan suku–suku Tionghoa kepada leluhur mereka. Kita sadar bahwa tanpa leluhur–leluhur kita tidak akan ada saat ini. Alasan kedua kita memuja adalah untuk mengikuti contoh yang agung. Buddha Shakyamuni (Gautama) sebelumnya adalah manusia biasa seperti kita; kemudian dia mampu mencapai pencerahan dan menjadi Buddha. Apa yang dapat menghentikan kita untuk mencapai hal yang sama? Oleh karena itu, gambar ataupun rupang (patung) Buddha dibuat untuk mengingatkan kita agar tekun mengejar tujuan ini. Gambar ataupun rupa ini bukan sebagai dewa ataupun objek takhayul.

Di Vihara-Vihara Buddhis, gambar-gambar Buddha dan Bodhisattva memiliki banyak penampilan. Hal ini sering memicu kesalahpahaman yaitu Buddhisme [dianggap] tidak hanya sebagai agama tetapi juga penyembahan terhadap banyak dewa. Selain itu Buddha dan Bodhisattva memiliki banyak nama. Sebagai contoh, di dalam Tripitaka ada Sutra Sepuluh Ribu Nama Buddha, yang berisi lebih dari dua belas ribu nama–nama Buddha dan Bodhisattva. Mengapa ada begitu banyak nama Buddha dan Bodhisattva? Dalam sifat alamiah kita ada kebijaksanaan yang tidak terbatas, keagungan, dan kemampuan artistik yang keseluruhannya tidak dapat diwakili hanya oleh sebuah nama. Hal ini sama seperti seseorang dengan jabatan yang tinggi, kartu namanya mungkin memiliki beberapa gelar kehormatan.

Nama–nama dari Buddha mencerminkan sebuah kesempurnaan, kemurnian dan kebajikan dari sifat-alami kita. Semua nama–nama Bodhisattva mencerminkan suatu pengembangan kebajikan yang berbeda–beda. Kemampuan sebenarnya di dalam sifat-alami kita tidak terbatas, tetapi sementara hilang. Tanpa melihat secara apa adanya, kita tidak akan pernah mampu untuk melihat bibit ini. Semua Buddha dan Bodhisattwa tiada lain adalah diri kita sendiri. Ketika kita menyadari hal ini, kita akan menyadari bahwa ajaran Buddha memiliki tingkat artistik yang sangat tinggi. Sebagai contoh, pahatan dan gambar–gambar Buddha dapat diekspresikan sebagai Dharma. Memahami arti yang sebenarnya dari gambar–gambar ini akan membantu seseorang untuk memperoleh manfaat di dalam ajaran Buddha.

Jika Buddhisme bukanlah agama, mengapa Buddhisme juga bukan sebuah filosofi (filsafat)? Dalam filosofi, dikenal adanya subjek dan objek. Sedangkan dalam Buddhisme Mahayana, tidak ada perbedaan antara subjek dan objek, mereka adalah satu kesatuan. Pengertian ini sangatlah dalam dan sulit untuk dipahami. Sebagai contoh, seorang guru besar berkata, ”Gunakan emas untuk membentuk peralatan rumah tangga, semua peralatan rumah tangga berasal dari emas.” Apakah semua emas dan peralatan rumah tangga merupakan benda yang sama atau berbeda? Dari penampilan fisiknya keduanya akan terlihat berbeda. Namun, dari komposisi penyusunnya kita tahu bahwa keduanya adalah sama.

Seseorang membutuhkan pemahaman yang mendalam untuk memahami realitas dari kehidupan dan alam semesta. Seluruh Sutra–sutra Mahayana mencoba untuk memberikan pemahaman tentang konsep ini dan kebenaran sejati. Seseorang akan memiliki cara pandang yang sama dengan Buddha jika telah benar–benar mengerti dan dengan jelas mengenal kebenaran sejati. Manusia biasa seperti kita pada dasarnya telah terdelusi. Mengapa? Karena kita cenderung melihat sesuatu secara berlawanan, tanpa menyadari bahwa semuanya adalah satu dan bukan dua. 

Sunday 29 December 2013

18 ARAHAT ( SHI BA LUO HAN )

18 ARAHAT


Menurut LEGENDA, Dikatakan bahwa BUDDHA memerintahkan 16 orang ARAHAT untuk menunda parinibbana-nya untuk terus membabarkan dharma dan menolong umat manusia. Tetapi dalam perkembangannya, terutama dalam kebudayaan tertentu (apalagi dengan adanya personifikasi dalam bentuk patung) kemudian muncul lagi 2 orang ARAHAT sehingga total menjadi 18 ARAHAT atau dalam tradisi Tiongkok disebut dengan Se Pa Lo Han (18 ARAHAT).

16 Arahat pertama kali disebutkan dalam Mahayana Vataraka Shastra yang ditulis oleh Sthiramati dan diterjemahkan oleh Bhiksu Daotai ke dalam bahasa Tionghoa pada abad ke-5 M. Dalam Taiwan Wenxian (dokumen dari Taiwan) disebutkan bahwa di anatara 18 Arahat, yang tercatat dalam sutra-sutra hanayalah 16 Arahat, dua lainnya ditambahkan oleh umat Buddhis di Tiongkok. 18 Arahat dalam lukisan Guan Xiu pada tahun 891 M:

01. Rahula,  Arahat Pemikir / Luo Hu Luo Duo Zun Zhe / Chen Si Luo Han.
02. Pindola Bharadvaja, Arahat Penunggang Rusa / Bin Du Luo Ba Luo Duo She Zun Zhe / Qi Lu Luo Han.
03. Subinda, Arahat Pembawa Pagoda / Su Pin Tuo Zun Zhe / Tuo Ta Luo Han.
04. Panthaka, Arahat Pengangkat Tangan / Ban Tuo Jia Zun Zhe / Tan Shou Luo Han.
05. Bhadra, Arahat Pengelana Ba Tuo Luo Zun Zhe / Guo Jiang Luo Han.
06. Vanavasa, Arahat di bawah pohon pisang / Fa Na Po Si Zun Zhe / Ba Jiao Luo Han.
07. Nakula, Arahat Pemeditasi / Nuo Ju Luo Zun Zhe / Jing Zuo Luo Han.
08. Kalika, Arahat Penunggang Gajah / Jia Li Jia Zun Zhe / Qi Xiang Luo Han.
09. Chudapanthaka, Arahat Penjaga Pintu / Zhu Cha Ban Tuo Jia Zun Zhe / Kan Men Luo Han.
10. Nandimitra, Arahat Penjinak Naga / Qing You Zun Zhe / Jiang Long Luo Han.
11. Kanaka Bharadvaja, Arahat Pembawa Mangkok / Jia Nuo Jia Ba Li Duo She Zun Zhe / Ju Bo Luo Han.
12. Angida, Arahat Karung Besar / Yin Jie Tuo Zun Zhe / Bu Dai Luo Han.
13. Asita/Ajita, Arahat dengan Alis Panjang / A Shi Duo Zun Zhe / Chang Mei Luo Han.
14. Gobaka, Arahat pembuka Hati / Xu Bo Jia Zun Zhe / Kai Xin Luo Han.
15. Kanakavatsa, Arahat Bahagia / Jia Nuo Jia Dai Cuo Zun Zhe / Xi Qing Luo Han.
16. Nagasena, Arahat Pembersih Telinga / Na Jia Xi Na Zun Zhe / Wa Er Luo Han.
17. Vajraputra, Arahat Singa Tertawa / Fa She Luo Fu Duo Zun Zhe / Xiao Shi Luo Han.
18. Pindola, Arahat Penjinak Macan / Bin Tou Lu Zun Zhe / Fu Hu Luo Han.

Arahat Penunggang Rusa terkadang menunjuk pada Pindola Bharadvaja dan terkadang menunjuk pada Ajita. Mahakasyapa dengan Nandimitra juga sering tertukar-tukar.



1). Bin-du-lo-ba-duo-Zun-zhe atau Pindola Bharadvaja



Pindola mempunyai wilayah kekuasaan di wilayah sebelah barat Surga Barat. menurut legenda, pada waktu usia muda, ia adalah seorang yang kejam dan sangat tidak patuh pada orang tuanya. Ia kemudian dilemparkan ke neraka dan harus memakan karang dan batu - bata sebagai santapan sehari - hari. Karena penderitaan ini badan menjadi kurus kering. Tapi kemudian ia menyesali dosa - dosanya dan menjadi penganut ajaran Buddha. Ia menjadi salah satu murid Buddha yang terkemuka dan punya Luo Han bawahan sebanyak 1.000 orang. Ia mempunyai kesaktian antara lain dapat terbang diudara dan terapung di atas air. Seringkali ia ditampilkan dengan membawa buku yang sedang terbuka di atas pahanya dan sebatang tongkat pengemisnya tersandar disampingnya.


2). Ba-tuo-luo Zun-zhe atau Badra



Ia digambarkan sebagai orang perkasa yang menaklukkan seekor harimau, sebagai lambang kesaktidan
kekuatannya dalam menaklukkan kejahatan secara umum, ia disebut Fu hu Zun-zhe (Hok Houw Cun Cia - Hokkian) atau Luo Han yang menaklukkan harimau.



3). Jia-nuo-jia-fa-she Zun-zhe atau Kanaka Vatsa.


Luo Han ini mempunyai kekuasaan di suatu tempat di Kashmir. Sesudah menjadi pengikut Buddha, ia rajin belajar dan menjadi orang yang sangat berpengetahuan. Ia mempunyai bawahan sebanyak 500 Arhat. Ia dilukiskan sebagai orang yang berparas luar biasa dan beralis panjang. Secara umum ia disebut Chang-mei Zun-zhe (Tiang Bi Cun Cia - Hokkian) atau orang terhormat yang beralis panjang. 



4). Jia-li-jia Zun-zhe atau Kalika.


Juga dikenal sebagai Kala. Ia mempunyai wilayah kekuasaan dibagian Sri Lanka. Dalam legenda ia adalah Raja Kala yang mencapai tingkatan Arhad setelah melalui pengorbanan. Iamempunyai bawahan yangterdiri dari : 1.000 Arhad. Seringkali ia di - tampilkan sedang meditasi atau sedang membersihkan telinga. Sebabitu ia disebut juga Xi-er Zun-zhe atau orang terhormat yang mencuci telinga. 


5). Jia-nuo-ba-li-duo Zun-zhe atau Kanaka Baridvaja


Disebut juga Pintoulosuoshe atau Pinkola yang muda. Ia bertugas di wilayah Purva Videha dibantu oleh 600 Arhad bawahan, sering digambarkan beijenggot Di Tiongkok ia disebut juga Fei-zhang Zun-zhe (Hui Tiang Cun Cia - Hokkian ) atau orang suci bertongkat terbang.



6). Fa-na-bo-si Zun-zhe atau Vanavasa.


adalah penguasa pegunungan Gan Zhou, Dia membawahi 1.400 Luo Han sebagai pembantu pembantunya. Ia sering dilukiskan sebagai seorang pertapa yang sedang bersemedi dengan mata tertutup. Ia juga di sebut sebagai Long-po Zunzhe atau ( Lang-poat Cun Cia - Hokkian) atau orang suci yang memainkan kecer, sebab beliau sering ditampilkan dengan membawa kecer.



7). Su-pinduo Zun-zhe atau Subhinda


Luo Han ini biasanya ditampilkan sebagai seorang suci yang terpelajar, dengan mangkok untuk sedekah dan sebuah kitab suci ditangan kirinya. Jari-jari tangan kanannya membentuk "mudra" yang menyatakan bahwa ia akan masuk ke nirwana dalam waktu singkat. Wilayah kekuasaannya berada di negeri Kuru, dengan dibantu 800 Arhad. Secara umum ia disebut sebagai Dao-wu Zun-zhe (To Ngo Cun Cia - Hokkian) yang berarti "orang suci yang menyadari Tao".



8). Nuo-ju-luo Zun-zhe atau Nakula



disebut juga sebagai Puchulo. Ia menguasai wilayah India, mempunyai bawahan sebanyak 800 Arhad yang menjadi pembantu - pembantunya. Ia berhasil melepaskan diri dari kehidupan sesat dan memeluk ajaran Buddha pada usia 120 tahun. Seringkali ditampilkan dengan kedua tangan membuka dadanya, dan dalam rongga itu dada itu terlihat wajah sang Sakyamuni Buddha, sebab itu ia secara umum disebut Kai-xin Zun-zhe (Khay-sim Cun-cia - Hokkian ) yang berarti "orang suci yang membuka hati".



9). Fa-she-luo-fu-duo-luo Zun-zhe atau Vajra Putra.


Wilayah kekuasaannya ada di Parnadvipa dan dibantu oleh 1.100 Arhad. Secara umum ia disebut
sebagai Duo-li Zun-zhe atau (To Li Cun Cia-Hokkian) atau "orang suci yang memberikan keuntungan berlimpah".



10). Ba-tuo-jia Zun-zhe atau Pantoka, Pantha


Namanya ini berarti "melanjutkan jalan dan penyebaran agama Buddha". Pos-nya berada di sorga Troyastrimsat, dengan dibantu oleh 1.300 Arhad bawahan. Menurut legenda ia dilahirkan pada saat ibunya sedang dalam peijalanan. Ia bertemu dengan Buddha mengikuti pelajarannya, sampai akhirnya mencapai nirwana. Ia mempunyai kesaktian antara lain dapat menembus benda - benda padat dan pergi tanpa meninggalkan bekas. Secara umum disebut Bai-na Zun-zhe (Pek Lap Cun Cia- Hokkian).



11). Shu-bo-jia Zun-zhe atau Gobaka

Kedudukannya ada di pegunungan Gandhamadana. Arhad pembantunya terdiri dari 900 orang. Sering ditampilkan dalam keadaan semedi, dengan tangannya memegang kipas, Dalam bahasa Tionghoa ia sering disebut sebagai Jin-xiang Zun-zhe atau (Cin Hio Cun Cia - Hokkian) yang berarti : "Orang suci yang mempersembahkan dupa".



12). Na-jia-xi-na Zun-zhe atau Nagasina


Ia diberi kekuasaan di gunung Pandhava, wilayah Inagadha, dengan dibantu oleh 1.200 Arhad. Luo Han yang satu ini terkenal suka humor tapi cerdik. Ia seorang penceramah dan guru yang ulung dalam hal ajaran - ajaran Buddha. Nagasina sering disebut sebagai Jin-deng Zun-zhe (Cin Teng Cun Cia - Hokkian) yang berarti "orang suci yang membawa penerangan".



13). Luo-hu-luo Zun-zhe atau Rahula


Ia adalah seorang murid Buddha yang sangat rajin dan sangai. taat akan hukum - hukum Buddhisme, setelah menyadari bahwa dia hidupnya penuh kesesatan.Orang - orang percaya bahwa dia akhirnya akan kembali ke dunia sebagai putra Buddha. Sekarang ini ia bertanggungjawab atas suatu daerah yang penuh keharuman tanaman - tanaman obat, dengan dibantu oleh 1.000 Arhad pembantu. 


Ia biasanya ditampilkan dengan wajah luar biasa, kepala berbentuk kubah dan halis yang tebal. Secara umura ia disebut sebagai Xi-she Zun-zhe (Hi Say Cun Cia - Hokkian), sebab ia sering digambarkan dengan mempermainkan seekor singa kecil dilangannya.



14). A-she-duo Zun-zhe atau Ajita


Ajita dianggap sebagai reinkarnasi dari Maitreya (Mi-le-fo). Ia selalu digambarkan sebagai seorang pendeta yang menggendong kantong besar yang diikatkan dipunggungnya. Di dalam kantong itu terdapat banyak perampok dan Mencuri serta pembuat dosa yang lain. 


Menurut legenda ia hidup pada kira - kira abad ke-6 Masehi. Di Tiongkok, Luo Han ini terkenal sebagai Bu-dai Zun-zhe (Poh Tay Cun Cia - Hokkian) atau "orang suci dengan kantong dari kain".



15). Yin-he-duo Zun-zhe atau Angida.


Ia menguasai sebuah pegunungan yang disebut Guang-xie, dibantu dengan 1.300 Arhad sebagai bawahannya.Dalam patung ia sering diwujudkan sebagai seorang pendeta tua yang membawa tongkat kayu dan kitab suci. Di Tiongkok ia sering disebut sebagai Jin-hua Zun-zhe (Cin Hoa Cun Cia - Hokkian) atau "orang suci yang mempersembahkan bunga".



16). Zhu-tu-ban-duo-jia atau Pantha, Choto Panthaka


Pada waktu muda ia bebal dan sulit untuk mencerna pelajaran. Tapi dengan bantuan Sakyamuni ia menjadi rajin dan cerdas sekali. Akhirnya ia mencapai tingkatan Arhad dan masuk nirwana. Karena punya kesaktian untuk terbang, ia ditunjuk sebagai penguasa pegunungan, Ishidara dengan dibantu oleh 1.600 Arhad bawahan. 


Ia adalah adik kandung Pantha atau Panthoka, merupakan salah satu murid kesayangan Buddha. Ia digambarkan sebagai seorang tua yang bersandar dibatang pohon tua memegang kipas sambil mengajar Dharma. Dalam kalangan Tionghoa ia disebut juga Jin guo Zun-zhe (Cin Ko Cun Cia - Hokkian)
atau "orang suci yang mempersembahkan buah". 




Setelah masuk ke Tiongkok, dari ke - 16 Arhat, ini Ym-he duo digantikan oleh Boddhidharma pendiri aliran Chan (Zen Buddhisme) yang dalam bahasa Tionghoa disebut Da Mo Zu Shi (Tat Mo Couw Su - Hokkian) di tambah dengan dua tokoh lagi yaitu seorang kaisar yang hidup pada jaman dinasti Liang, Liang Wu Di (Liang Bu Te - Hokkian) yang memerintah dari tahun 502 - 549 Masehi, dan seorang pendeta jaman Tang bernama Zhi Kuan.



Kaisar Liang Wu Di giat sekali memajukan Buddhisme dan berusaha menghayati ajaran - ajarannya. Ia rajin sembahyang ke kelenteng - kelenteng dan menelaah kitab - kitab suci dan membuat pembahasannya. Dia berusaha menerapkan ajaran Sakyamuni dalam hidupnya. 



Sebab itu ia enggan membunuh mahluk hidup, dan melarang orang untuk membunuh semua barang yang berjiwa untuk sesajian. Bahkan orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilanpun dibebaskan dengan cucuran air matanya. Seperti Raja Asoka dari India, ia pun menjadi paderi. 



Sifatnya yang penyayang ini mengakibatkan ia mengabaikan pertahanan negeri. Seorang jenderal dari utara, IIou Qing, menyerbu ke kota raja dan menangkapnya. Kaisar ini meninggal dunia dalam tahanan para musuhnya. Pada masa pemerintahan Liang Wu Di inilah, Boddhidharma datang ke Tiongkok



Tentang Zhi Kuan, tidak banyak yang kita ketahui. Hanya ia adalah seorang pendeta yang pernah berbuat banyak bagi masyarakat. Ia berbuat antara lain dengan mengusir Han - ba, mahluk halus yang menjadi penyebab bencana kekeringan, demikian menurut legenda. Zhi Kuan secara umum sering disebut Zhi Gong.



Mengenai tambahan dua orang Arahat ini, memang ada banyak versi. Kecuali versi di atas, ada juga versi yang memasukkan Nandimitra dan Pindola yang muda, sebagai Arhat tambahan. Ji Gong (Ce Kong - Hokkian), itu pendeta jenaka yang berwatak eksentrik tapi ringan tangan dan suka menolong sesama orang, juga tercatat menjadi salah satu dari 18 Luo Han (tentang Ji Gong ini, lihat bab tentang Ji Gong Huo Fo).

ERL LANG SHEN ( DEWA ERL LANG )

DEWA ERL LANG ,


Bagi anda yang pernah menonton film Sung Go Kong tentu tidak asing lagi dengan Dewa Erl Lang. Menurut ceritanya, Er Lang Shen ( Ji Long Sin) adalah putra Li Bing gubernur propinsi Sichuan pada jaman dinasti Qin. Waktu itu sungai Min (cabang sungai Yang Tze yang bermata air di Sichuan) sering mengakibatkan banjir di wilayah Guan Kuo (Dekat Cheng Du).

Li Bing mengajak putranya meninjau daerah bencana untuk kemudian memikirkan penanggulangannya. Rakyat Guan Kou waktu itu sangat putus asa sehingga mengandalkan dukun untuk mengatasi banjir. Para dukun pun memanfaatkan situasi ini untuk memeras dan menakut - nakuti rakyat.

Para dukun membohongi rakyat dengan mengatakan bahwa banjir itu diakibatkan oleh raja naga yang ingin mencari istri. Maka rakyat diharuskan setiap tahun mengirimkan seorang gadis untuk dijadikan istri oleh raja naga tersebut. 

Li Bing bertekad mengakhiri semua ini dan berusaha menyadarkan rakyat bahwa bencana dapat dihindari asalkan mereka bersedia bergotong-royong memperbaiki aliran sungai. Usaha ini tentu saja ditentang keras oleh para dukun yang melihat bahwa mereka akan rugi apabila rakyat tidak percaya lagi pada mereka.

Untuk menghadapi mereka, Li Bing mengatakan bahwa putrinya bersedia menjadi pengantin Raja Naga untuk tahun itu. Dia minta sang dukun untuk memimpin upacara. Sebelumnya Li Bing memerintahkan Er Lang untuk menangkap seekor ular air yang sangat besar, dimasukkan dalam karung dan disembunyikan di dasar sungai.

Pada saat diadakan upacara mengantar pengantin di tepi sungai, Li Bing mengatakan pada dukun kepala, bahwa ia ingin sang Raja Naga menampakkan diri agar rakyat bisa melihat wajahnya. Sang dukun marah dan mengeluarkan ancaman. Tapi Li Bing yang telah bertekad mengakhiri praktek yang kejam dan curang ini bersikeras agar sang dukun menampilkan wujud Raja Naga.

Pada saat yang memungkinkan untuk bertindak, Li Bing memerintahkan Er Lang untuk terjun ke sungai dan memaksa sang Raja Naga untuk keluar. Setelah menyelam sejenak Er Lang muncul kembali sambil menyeret bangkai ular air itu ke tepi. Penduduk menjadi gempar. Li Bing menyatakan bahwa sang Raja Naga yang jahat sudah dibunuh, rakyat tidak usah risau akan gangguannya lagi dan tidak perlu mengorbankan anak gadis setiap tahun. 

Setelah itu Li Bing mengajak rakyat untuk bergotong-royong membangun bendungan untuk mengendalikan Sungai Min. Usaha ini akhirnya berhasil dan rakyat di daerah itu terbebas dari bencana banjir. Untuk memperingati jasa-jasa Li Bing dan Er Lang di tempat itu kemudian didirikanlah klenteng peringatan.

Hari besarnya diperingati pada tanggal 28 bulan 8 Imlek. Er Lang Shen banyak dipuja di Propinsi Sichuan. Beberapa klenteng besar yang didirikan khusus untuknya terdapat di Chengdu yaitu Er Lang Miao, di Guan Xian dengan nama Guan Kou Miao, di Baoning, Ya-an dan beberapa tempat lain dengan nama Er Lang Miao. Kecuali Sichuan, Propinsi Hunan juga memiliki beberapa klenteng Er Lang yang cukup kuno. 

Er Lang Shen ditampilkan sebagai seorang pemuda tampan bermata tiga, memakai jubah keemasan, membawa tombak bermata tiga, diikuti seekor anjing, kadang-kadang ditambah dengan seekor elang. Beliau dianggap sebagai Dewa Pelindung Kota-Kota di tepi sungai dan sering ditampilkan bersama Maha Dewa Tai Shang Lao Jun sebagai pengawal.


Hwa Kong Hwa Pho – Dewa/i Perjodohan

Hwa Kong Hwa Pho – Dewa/i Perjodohan


Hua Gong {Hok Kian = Hwa Kong} adalah salah satu putra dari Pangeran Bun dan merupakan saudara muda Kaisar Bu Ong. Beliau hidup semasa dinasti Ciu Barat (1027-771 SM). Hwa Kong merupakan salah satu orang suci pada masa itu dengan panggilan Ciu Kong Tan.

Sebagai orang suci bijaksana beliau menyusun kitab-kitab peradaban. Misalnya Ciu Lee (kitab adat istiadat dinasti Ciu), yang berisi adat perkawinan & perkabungan. Ada juga kitab tafsir mimpi, firasat, dan lain-lain yang sampai detik ini masih menjadi rujukan berbagai kalangan.

Namun rakyat terutama menghormati beliau sebagai Dewata Pengikat Perjodohan. Pada hari ulang tahunnya para umat yang belum menikah mempersembahkan keranjang bunga (Hwa Lan) dengan harapan agar cepat memperoleh jodoh (enteng jodoh).

Hwa Kong biasa ditampilkan dengan kedua istrinya, yang pertama ( Twa Ma ) di sebelah kirinya, sedangkan yang bercengkerama dengan anak-anak kecil adalah istri keduanya ( Ji Ma ). Perlu ditambahkan dalam beberapa hal Khong Hu Cu menganggap Ciu Kong Tan sebagai guru spiritualnya.


Tuesday 24 December 2013

PAT SIEN / BA XIAN ( 8 DEWA )


DELAPAN DEWA ,


Legenda Delapan Dewa mungkin berawal pada Dinasti Tang, dan cerita itu bervariasi pada setiap dinasti. Para karakternya, menurut versi setelah Dinasti Ming, adalah Han Zhongli, Zhang Guolao, Han Xiangzi, Tie Guali, Cao Guojiu, Lu Dongbin, Lan Caihe, dan He Xianggu. Dengan memiliki penampilan dan kepribadian yang sangat berbeda, Delapan orang ini merupakan Dewa yang hebat dalam ajaran Tao, dan mereka sering berkumpul bersama.

Delapan Dewa tidak langsung dilahirkan abadi. Mereka berasal dari dunia manusia, seperti dari anggota keluarga kekaisaran, pengemis, pendeta Tao, dan lain-lain. Ada kisah yang yang sangat menarik di belakang mereka saat berhasil berlatih dan mencapai keabadian.

Cao Guojiu adalah saudara seorang Kaisar, Tie Guali berkaki pincang dan berjalan dengan sebuah tongkat, He Xiangu seorang perempuan muda dan sangat menarik, Zhang Guolao terlihat sangat sehat di usianya yang lanjut dan sering menunggang keledai dengan terbalik. Han Xiangzi, keponakan dari Han Yu, seorang penulis terkenal di zaman Dinasti Tang dan sangat senang bermain seruling, Han Zhongli selalu terlihat dengan kipas daun palem di tangannya.

Melalui berbagai perjalanan mereka, Delapan Dewa bertemu dengan berbagai orang dan situasi, banyak di antaranya tertulis menjadi sebuah cerita. Satu perumpamaan keterlibatan Lu Dongbin yang menghalangi usaha untuk menawarkan penyelamatan manusia.

Delapan Dewa terdiri dari laki-laki dan perempuan, muda dan tua, kaya dan berbudi luhur, serta miskin dan rendah hati. Klenteng Tao dari Delapan Dewa tersebar di seluruh Tiongkok dan patungnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prosesi penyembahan. Senjata yang mereka bawa seperti lonceng kayu keras, kipas, tongkat, seruling, pedang, botol labu, Tao dan keranjang bunga, ini semua disebut "delapan harta" dan simbol dari Delapan Dewa.


1. Li Te Guai



Li Tie Guai ("Li dengan tongkat besi"). Tongkat besi yang dimilikinya, diberikan oleh Xi Wang-mu saat dia disembuhkan kakinya. Xi Wang-mu juga mengajarinya mengultivasi diri menjadi Dewa. benda lain yang dibawa-Nya adalah labu yang berisi ramuan ajaib.

Li kadang-kadang digambarkan dengan temperamen tinggi dan keras kepala, tapi murah hati terhadap orang miskin, orang sakit dan yang membutuhkan. Dengan menggunakan obat khusus dari labu-Nya, dia dapat mengurangi penderitaan orang lain. Ia sering digambarkan sebagai seorang pria tua jelek dengan wajah kotor, jenggot kumal, dan rambut berantakan yang diikat dengan pita emas. 

Dia berjalan dengan bantuan sebuah tongkat besi dan sering memikul labu miliknya di bahu atau dipegang ditangan. Dia juga sering digambarkan sebagai tokoh lucu, turun ke bumi dalam bentuk seorang pengemis dan menggunakan kemampuannya untuk memperjuangkan nasib yang membutuhkan dan tertindas.

Ada sebuah cerita lain tentang bagaimana Li sampai memiliki kaki yang pincang. Dengan Turun dari langit, Lao-zi memulai mengajarkan ajaran-ajaran Tao kepada Li. Segera setelah Li mencapai keabadian, ia meninggalkan tubuhnya untuk melakukan perjalanan ke Gunung suci Huashan. Dia meminta salah seorang muridnya untuk menjaga tubuhnya dan memberikan tugas khusus kepada murid-Nya untuk membakar tubuhnya jika ia tidak kembali dalam waktu tujuh hari. 

Namun, pada hari keenam, murid-Nya menerima pesan bahwa ibunya sedang sakit keras. Dia bingung apakah harus memenuhi kewajibannya sebagai seorang anak atau menjaga tubuh Li. Akhirnya murid itu memilih pulang menjenguk Ibunya tapi sebelum itu ia membakar tubuh Li. Pada hari ketujuh, Li kembali dan menemukan tubuhnya sudah terbakar menjadi abu. 

Dia terpaksa memasuki tubuh seorang pengemis yang telah meninggal yaitu seorang pria dengan kaki pincang, dan cacat. Li tidak ingin hidup dengan tubuh barunya tetapi Lao-zi memintanya untuk menerima nasibnya, dan memberi Li sebuah tongkat besi untuk membantu dia berjalan.


2. Zhang Guo Lao




Zhang Guo Lao adalah salah satu dari Delapan Dewa. Dia adalah tokoh nyata dalam sejarah, keberadaanya-Nya dimulai sekitar masa pertengahan atau akhir abad ketujuh sebelum Masehi, dan berakhir kira-kira pada masa pertengahan abad kedelapan. julukan The "Lao" ditambahkan di akhir namanya, kata ini memiliki arti "Tua".

Zhang Guo Lao adalah paling eksentrik dari dewa lain, salah satunya dapat dilihat dari gaya kung fu yang didedikasikan untuk dirinya. gaya ini meliputi bergerak seperti memberikan tendangan sambil memutar badan atau tekukan sejauh bahu Anda menyentuh tanah. Dia dikenal cukup menghibur, sering membuat dirinya menghilang, minum dari bunga beracun, memetik burung-burung di langit, serta bunga menjadi layu hanya dengan menunjuk kearah mereka, saat berada dihadapan Kaisar.

Zhang Guolao punya kebiasaan unik, yaitu menunggang keledai putih secara terbalik, sehari berjalan bisa mancapai 10.000 Li. Tentu saja keledai itu juga merupakan keledai khayangan, yang bisa dilipat dan dimasukkan ke dalam tas saat ia sedang tak diperlukan tuannya.

Sangat sedikit yang tahu mengapa dia menunggang keledai secara terbalik. Dia menemukan bahwa dengan berjalan ke depan berarti mundur ke belakang, dia lalu menunggang secara terbalik.

3. Cao Guojiu



Cao Guojiu adalah Dewa terakhir dari Delapan Dewa. Dia ditampilkan dengan pakaian pejabat resmi dan butiran batu giok. Kadang-kadang ia terlihat memegang alat musik. keajaiban butiran batu gioknya adalah dapat memurnikan lingkungan.

Cao Guojiu adalah paman dari seorang Kaisar pada zaman Dinasti Song, yaitu adik terkecil dari janda Ibu Suri Cao.

Adik Cao Guojiu, Cao Jingzhi adalah pengganggu, tapi tak ada yang berani menuntut dia karena koneksi yang kuat, bahkan setelah dia membunuh seseorang. Cao Guojiu begitu kewalahan oleh kelakuan adiknya, merasa sedih dan malu. Akhirnya ia mengundurkan diri kantornya dan kembali pulang.

Suatu hari Zhongli Quan dan Lu Dongbin bertemu dengannya dan menanyakan apa yang sedang dia lakukan. Dia menjawab bahwa dia sedang belajar Tao.
"Apakah itu dan dimanakah itu?", mereka balik bertanya.
Pertama-tama dia menunjuk ke langit dan kemudian ke hatinya.


4. Zhongli Quan



Zhongli Quan adalah salah satu Dewa yang paling kuno dan menjadi pemimpin dari Delapan Dewa (Beberapa orang menganggap Lu Dongbin menjadi pemimpin). Ia juga dikenal sebagai Zhongli Han (Han Zhongli) karena dia lahir pada masa Dinasti Han.

Lahir di Yantai, Zhongli Quan pada masa hidupnya hanya pernah mengabdi pada masa Dinasti Han.

Menurut legenda, cahaya terang memenuhi ruangan saat dia dilahirkan. Setelah lahir, tujuh hari penuh dia terus-menerus menangis tanpa henti.

Zhongli Quan adalah seorang Jenderal dalam kerajaan pada masa Dinasti Han. Biasa digambarkan sebagai laki-laki gemuk bertelanjang perut dan membawa kipas bulu yang dapat mengendalikan lautan dan dapat menghidupkan orang mati.
Pada hari tuanya dia menjadi petapa dan mendalami ajaran Tao.


5. Han Xiang

Han Xiang atau Xiang Zi, adalah Salah satu dari Delapan Dewa. Han Xiang lahir pada masa Dinasti Tang, dan memiliki nama kehormatan Qingfu. Dia adalah kemenakan atau cucu dari Han Yu, seorang negarawan terkemuka diPengadilan Tang. Han Xiang belajar Taoisme di bawah bimbingan Lv Dongbin.

Pada suatu perjamuan dengan Han Yu, Han Xiang membujuk Han Yu untuk melepaskan hidupnya sebagai pejabat dan ikut belajar Tao bersama dia. Tapi Han Yu tetap pada pendiriannya dan sebaliknya mengatakan bahwa Han Xiang harus memberikan hidupnya untuk Taoisme, bukan Konghucu, jadi Han Xiang menunjukkan kemampuan Tao yang dia pelajari dengan menuangkan anggur kedalam cangkir demi cangkir dari labu miliknya tanpa berhenti.

Karena serulingnya dapat memberikan kehidupan, maka Han Xiang juga disebut pemain seruling pemberi perlindungan.



6. Lan Caihe



Dari kedelapan dewa, Lan Caihe adalah dewa yang paling sedikit memiliki informasi. Umur dan jenis kelaminya tidak di ketahui.

Lan biasanya digambarkan dalam pakaian yang tidak jelas, tetapi sering ditampilkan sebagai pemuda atau gadis membawa keranjang bunga yang terbuat dari bambu.

Diceritakan perilaku Lan sering aneh dan eksentrik. Beberapa sumber mengatakan gaun Lan Caihe menggunakan gaun biru lusuh, dan dikenal sebagai dewa pelindung para pujangga. Dalam tradisi lain, Lan adalah penyanyi wanita dan memiliki lirik lagu yang dapat memprediksi kejadian masa depan secara akurat.

Dia terbang meninggalkan dunia dengan angsa langit atau burung bangau pergi ke langit. Diceritakan pernah suatu hari ketika berada di sebuah kedai, ia diduga bangun dan pergi ke kamar mandi. Tapi sebelum berangkat pergi dia melepaskan pakaiannya dan terbang dengan burung bangau atau angsa pergi ke langit.



7. He Xian Gu



He Xian Gu adalah satu-satunya dewa perempuan di antara Delapan Dewa.
Ada sumber yang mengatakan He Xian Gu berasal dari daerah Prefektur Yong (hari ini disebut Linglin County, Hunan) pada masa Dinasti Tang, atau dari keluarga kaya dan dermawan di daaerah Zengcheng, Guangdong.

Saat lahir He Xian Gu memiliki enam rambut panjang di kepalanya. Saat berusia 14 atau 15 tahun, seorang dewa muncul dalam mimpinya dan memberi petunjuk kepada dia untuk makan bubuk mika, agar tubuhnya bisa menjadi sangat ringan dan abadi. Jadi, ia memakannya, dan juga bersumpah untuk tetap menjaga keperawananya.

Saat mendaki bukit dan menuruni lembah He Xian Gu dapat melintasinya dengan sangat cepat, rasanya melayang seperti makhluk bersayap. Setiap hari saat fajar dia pergi dan kembali di sore hari dengan membawa buah gunung yang dia kumpulkan untuk ibunya. Kemudian lambat laun dia menyerah mengambil makanan biasa. Ratu Wu mengirim utusan untuk memanggil dia datang ke istana, tetapi di jalan, ia menghilang.

Suatu hari pada periode Long Jing (sekitar 707 CE), He Xiangu terbang ke langit di siang hari bolong, dan menjadi Dewa Tao.



8. Lu Dong Bin



Lu Dongbin pernah dalam satu kali berjanji pada  Han Zhongli untuk menyelamatkan semua makhluk hidup. Namun dia belum juga menyelamatkan satu orang pun, kemudian dia melakukan sebuah perjalanan menuju daerah Yue Yang. Dia berada di sana dua tiga kali sebelum mencoba untuk mencapai masyarakat umum. Yue Yang sekarang adalah sebuah wilayah administrasi di Provinsi Hunan, Tiongkok, di tepi danau Dong Ting.

Lu Dongbin menyamar menjadi seorang lelaki tua yang menjual minyak untuk memasak. Dengan cara menjual minyak sebagai dalih untuk bertemu dan memilih orang yang diprospeknya, lalu bila seorang pelanggan terlihat tidak tamak, tidak meminta lebih banyak minyak daripada yang dibayarnya, maka dia akan menolongnya.

Jadi, selama bertahun-tahun dia berkeliling untuk menjual minyak, selama itu para pelanggan yang ditemui semuanya tamak meminta terlalu banyak, kecuali seorang perempuan tua. Bagaimanapun si perempuan tua, hanya mengambil sesuai dengan yang dibayarnya, bahkan tidak lebih satu tetes pun.

Mengejutkan, Lu Dongbin berpikir akhirnya dia menemukan seseorang yang layak diselamatkan. Dia bertanya pada perempuan itu, “Semua yang datang membeli minyak selalu ingin mendapatkan lebih kecuali Anda. Kenapa tidak meminta lebih?”

Si perempuan menjawab, “Saya cukup puas dengan sebuah botol minyak, selain itu sangatlah tidak mudah bagi Anda untuk mencari nafkah dengan menjual minyak. Bagaimana saya boleh meminta lebih?” Kemudian dia menawarkan Lu Dongbin minuman arak untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya.

Lu Dongbin merasa dia adalah seorang prospek yang baik dan bermaksud memberikan penyelamatan kepadanya. Saat dia menemukan ada sebuah sumur di ladangnya, dia menaburkan beberapa biji padi ke dalamnya. Dia berkata pada perempuan itu, “Anda bisa mendapatkan keberuntungan dengan menjual air dalam sumur ini.” Lalu dia beranjak pergi.

Perempuan tua itu berbalik dan menemukan air dalam sumur tersebut telah berubah menjadi arak. Seperti saran Lu Dongbin, perempuan tua itu menjual arak dalam sumur itu dan meraih keberuntungan selama setahun.

Pada suatu hari Lu Dongbin datang kembali ke tempat perempuan tua itu. Si perempuan tua tidak berada di rumah, hanya anak lelakinya yang ada di dalam. Lu Dongbin bertanya padanya, “Bagaimana hasil dari usaha menjual arak?”

“Usahanya berjalan sangat baik, tetapi tidak ada penyulingan biji–biji padi untuk memberikan makanan pada babi-babi.” jawab si anak lelaki. Mendengar perkataannya, Lu Dongbin mendesah. “Ketamakan manusia telah mencapai pada tingkat separah ini.” Maka dia mengambil kembali biji-biji beras dalam sumur tersebut dan berlalu pergi.

Tidak lama kemudian, perempuan tua itu kembali. Anak lelakinya menceritakan apa yang telah terjadi. Dia pergi ke sumur dan melihat ke dalam. Arak di dalamnya telah berubah kembali menjadi air. Si perempuan tua itu bergegas ke pintu, namun Lu Dongbin telah menghilang.

Lu Dongbin meninggalkan Yue Yang menuju Danau Dong Ting dan meninggalkan sebuah puisi yang meratapi sifat manusia, “Tiga kali ke Yue Yang namun belum menemukannya, menyenandungkan sajak saat melintasi Danau Dong Ting.”