TERPUJILAH PARA BUDDHA, PARA BHODHISATTVA MAHASATTVA, SERTA PARA ARYA NAN BIJAKSANA..._/\_ NAMO BUDDHAYA _/\_


Hidup bukan untuk berharap, memohon, mengeluh.. Tapi hidup untuk berlatih, berusaha, berdoa dan teruslah berbuat baik.
Biarlah para mahluk suci menilai, melihat ketulusan dan keikhlasan dalam kebaikan yang kita lakukan. Selalu bersyukur saat para Buddha, Bodhisattva, Dewa, manusia atau mahluk suci lainnya memancarkan Welas Asih-nya kepada kita.

W E L C O M E ( E H I P A S S I K O )

Wednesday 1 January 2014

MEMAHAMI TRADISI MAHAYANA (03) : SIMBOLISME DAN SENI

SIMBOLISME DAN SENI

Setelah kita memahami dengan jelas apa maksud dari ajaran Sang Buddha, kita akan melihat sutra-sutra sebagai sesuatu yang berbeda. Sutra-sutra ini adalah salah satu koleksi literatur terbesar di dunia. Saya percaya ketika kita mempertimbangkan luasnya semua ajaran akademis, maka tidak ada satupun yang mampu melampaui luasnya Buddhisme. Untuk memperoleh manfaat dari koleksi yang luas ini, maka penting bagi kita untuk mengetahui dan memahami esensi dari isi ajarannya, yang merupakan realitas sejati dari semua Dharma, realitas sejati kehidupan dan alam semesta. Istilah “Kehidupan” mengacu pada diri kita sendiri. “Alam semesta” mengacu pada lingkungan yang ada di sekeliling kita. Tidak benar jika kita menganggap Buddhisme sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak jelas yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Setiap kata di dalam sutra sangat erat kaitannya dengan kehidupan kita. Selain itu, sudah pasti Buddhisme bukanlah takhayul.

Bagaimana dan di mana kita mulai? Untuk kenyamanan, kesempurnaan di dalam metode pengajaran Sang Buddha, memerlukan kreativitas yang lebih. Buddhisme sejak dua ribu tahun yang lalu telah menggunakan hal-hal yang berhubungan dengan artistik. Sebagai contoh, semua nama-nama Buddha dan rupang-rupang (patung-patung) mewakili kebajikan alamiah kita, kualitas kebijaksanaan lahiriah, kemampuan kebajikan dan bakat artistik. Semua nama-nama dan rupa-rupa Bodhisattva mewakili kebajikan luhur kita. Mereka mengajarkan kepada kita cara menerapkan ajaran Buddha dalam kehidupan kita untuk membawa keluar sifat lahiriah kebajikan kita sehingga manfaat dari Buddhisme dapat kita rasakan.

Dalam Buddhisme Mahayana Cina, keempat Maha Bodhisattwa merupakan sebuah gambaran dari tingkat latihan dan pencapaian kita. Yang pertama adalah Bodhisattva Ksitigarbha (Bodhisattva Kandungan Bumi). Ketika kita berpikir tentang semua pengetahuan duniawi, dharma ataupun Buddhisme, tidak ada yang dapat diketahui jika tidak ada bumi atau tempat untuk kita berada. Kehadiran manusia tidak dapat dipisahkan dari bumi yang di dalamnya kita bertahan hidup. Baik pakaian, makanan, hidup ataupun bekerja, semua bergantung pada produksi dari tanah, sehingga harta yang tak terbatas yang ada di bumi kelihatannya tidak akan pernah habis untuk kita gunakan. Kata “bumi” dalam nama Bodhisattva ini menggambarkan ‘pikiran’ dan kata “kandungan” menggambarkan ‘harta’.

Ajaran Sang Buddha pertama-tama mengajarkan kepada kita untuk memulai latihan dengan pikiran kita, sebagaimana sifat alami kita yang meliputi kebijaksanaan yang tak terbatas dan kemampuan bajik tidaklah berbeda dengan para Buddha atau Bodhisattwa. Namun, untuk sekarang ini kita telah kehilangan kebijaksanaan dan kemampuan bajik kita. Sang Buddha mengungkapkan bahwa kemampuan ini tidak sepenuhnya hilang, hanya belum terungkap. Saat ini, kita tanpa hentinya membiarkan diri kita terus mengembara, dengan pikiran yang terus membanding-bandingkan dan kemelekatan kita, yang berdampak pada hilangnya kemampuan ini sementara. Akan tetapi, di dalam pikiran yang benar, tidak ada pikiran yang mengembara. Jika ada pikiran yang mengembara, maka pikiran itu sendiri yang salah. Pada dasarnya kita telah memiliki pikiran yang benar, jadi berlatih Buddhisme hanyalah untuk memulihkannya kembali.

Oleh karena itu, tujuan pertama dalam latihan adalah mengungkap dan mencari harta karun dalam pikiran kita. Atau dengan kata lain, ajaran Buddha tidak dapat dicari di luar diri tetapi dapat ditemukan di dalam sifat-alami dalam diri.

Bodhisattwa Kandungan Bumi (Bodhisattwa Ksitigarbha) menggambarkan tentang bakti, Jadi, Sutra Kandungan Bumi merupakan sutra tentang bakti, sebuah konsep dasar dimana semua orang akan melakukan dengan baik untuk memulainya. Kebaikan yang ditunjukkan orang tua kita dengan memberi kehidupan dan merawat kita adalah tidak terlukiskan. Berbakti dan merawat orang tua kita pada hakikatnya adalah tanggung jawab kita. Kita tidak hanya harus memenuhi kebutuhan materi mereka saja tetapi kita juga harus memenuhi kehidupan rohani mereka juga. Lebih dari itu, kita juga perlu memelihara aspirasi mereka untuk kita dan bagi kita, hal inilah yang paling sulit. Orang tua menginginkan anak-anaknya memiliki karir yang sukses, berperilaku baik, dan dihormati oleh generasi sekarang dan yang akan datang. Dengan kata lain, kita harus melakukan dan bertindak dengan baik, yang akan membuat mereka bangga pada kita. Oleh karena itu, pencapaian tertinggi dan sempurna dari bakti pada orang tua adalah menjadi Buddha. Kita mulai dengan berlatih hal ini dan kemudian mengembangkan bakti dan hormat kita pada semua makhluk hidup.


Bodhisattwa kedua, Guan Yin, menggambarkan welas asih dan kebaikan. Apa tujuan membuat persembahan kepada Bodhisattwa Guan Yin? Ini adalah untuk mengingatkan kepada kita untuk memperlakukan semua orang dengan welas asih yang besar dan penuh kebaikan, menggunakan cinta tanpa syarat dan kepedulian untuk membantu semua makhluk hidup.

Bodhisattwa ketiga, Manjusri, menggambarkan kebijaksanaan dan pemikiran yang logis, mengingatkan kita bahwa ketika kita berlatih dan berinteraksi dengan orang lain kita harus memenuhi kewajiban berbakti kita, mengandalkan kebijaksanaan dan pemikiran yang logis, dan bukan pada emosi.


Bodhisattwa keempat, Samantabhadra yang Maha Agung (Keagungan Universal) menggambarkan penanaman kejujuran, penerapan bakti, belas kasihan, kebaikan dan pemikiran yang logis dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika seseorang dengan sempurna mencapai jalan Bodhisattwa Keagungan Universal, seseorang akan menjadi Buddha. Buddhisme mengajarkan kita bagaimana untuk hidup harmoni dengan realitas sejati kehidupan dan alam semesta. Dengan kata lain, kita akan hidup sempurna dan kehidupan yang indah yang serupa dengan para Buddha dan Bodhisattwa. Ini adalah sebuah kebenaran, inti dan ajaran Mahayana yang sempurna.


Untuk berlatih Buddhisme, kita memulai dengan :
  1. Berbakti dan menghormati orang tua, guru dan para tetua,
  2. Memiliki pikiran yang penuh welas asih,
  3. Memelihara pikiran dan kebijaksanaan,
  4. Memperluas pikiran. 

Meskipun berurutan, tetapi dapat juga dipraktikkan secara bersamaan, karena saling berhubungan. Contohnya, berbakti kepada orang tua termasuk kasih sayang dan kebaikan, nalar dan
kebijaksanaan. Kebijaksanaan termasuk berbakti, penuh kasih dan baik.

Setelah kita memiliki pemahaman tentang Buddhisme, bagaimana cara kita menerapkannya dalam kehidupan? Pertama kita perlu mengetahui apa yang direpresentasikan oleh Buddha dan Bodhisattwa. Jika kita tidak tahu, maka Buddhisme tak pelak hanya menjadi takhayul dan kita tidak menerima manfaat apapun. Semua sutra-sutra Buddhis mengandung sifat-sifat, karakteristik dan cara untuk berlatih ini; Oleh karena itu, hanya mempelajari satu sutra saja akan cukup. Seseorang perlu tahu bagaimana memahami dan menerapkan ajaran secara efektif.

Biasanya di tengah aula utama Vihara, ada satu patung Buddha dan dua Bodhisattva, yang mencerminkan sifat-alami dan entitas asli kita. Kedua Bodhisattva mencerminkan kemampuan bajik di dalam sifat-alami kita, satunya adalah pemahaman dan yang lainnya adalah praktik. Jika Buddha yang di tengah adalah Buddha Shakyamuni, maka kedua sosok yang ada di sisinya adalah Manjusri dan Bodhisattwa Samantabhadra (Keagungan Universal), mencerminkan kebijaksanaan dan aplikasinya masing-masing. Jadi, pemahaman dan praktik digabung menjadi satu. Jika aula memiliki rupang tiga orang bijak dari Tanah Suci Barat, dengan Buddha Amitabha di bagian tengah mencerminkan sifat-alami, maka kedua sosok yang ada pada kedua sisinya adalah Bodhisattva Avalokitesvara (Guan Yin) dan Bodhisattwa Mahasthamaprapta (Bodhisattwa Kekuatan Agung). Masing-masing mencerminkan welas asih dan kebijaksanaan, sepenuhnya melambangkan kebijaksanaan tak terbatas dan kemampuan bajik. Oleh karena itu, sekali lagi kita melihat bahwa Buddhisme adalah suatu ajaran.

Ada makna ajaran yang mendalam di dalam nama-nama para Buddha dan Bodhisattva, misalnya nama Buddha Shakyamuni memberitahukan tentang prinsip-prinsip ajaran Buddha. “Shakya” berarti kemanusiaan dan kebaikan. “Muni” berarti kemurnian pikiran. Ajaran tentang kedua kualitas ini sangat dianjurkan karena orang-orang di dunia ini kurang welas asih dan kebaikan, dan terkadang cenderung egois. Lebih dari itu, semua makhluk hidup yang kurangnya pikiran murni terus-menerus berputar di dalam pikiran yang mengembara, keserakahan, kemarahan, kebodohan dan kesombongan. Setiap Bodhisattva yang menjadi Buddha di dunia ini akan diberi nama Shakyamuni untuk mengajarkan kepada kita solusi dari masalah kita. Setelah representasi dari rupang Buddha dan Bodhisattva dipahami secara intuisi hanya dengan melihat mereka, seseorang akan memahami dengan sempurna tujuan ajaran Buddha.


Ketika kita memasuki aula pertama Vihara, yaitu Aula Penjaga Surga, kita akan melihat rupang (patung) Bodhisattva Maitreya dikelilingi oleh empat Penjaga Surga ( catummaharajika ) di tengah aula. Bodhisattva Maitreya, dikenal di Barat sebagai Buddha Bahagia, memiliki senyum yang lebar yang menandakan kebahagiaan. Perut besarnya menandakan toleransi yang sangat besar dan pikiran yang luas, yang mengajarkan kepada kita bagaimana berinteraksi dengan orang lain dan berbagai hal dengan penuh sukacita, tidak membanding-bandingkan dan toleran. Di sisi-sisinya ada empat penjaga surga atau pelindung Dharma yang mengajarkan kita untuk melindungi diri sendiri.

Pelindung Dharma Timur, melambangkan pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab, mengajarkan kita terlepas dari posisi apapun, seseorang harus menunaikan kewajibannya. Dia memegang sebuah kecapi di tangannya. Sebenarnya tidak boleh terlalu ketat, atau akan putus; tidak boleh terlalu longgar juga, atau mereka tidak dapat dimainkan dengan baik. Ketika diatur dengan benar dan seimbang, instrumen dapat dimainkan dengan indah, melambangkan bahwa kita harus mengambil jalan tengah ketika berhubungan dengan hal-hal, orang dan objek. Ketika setiap dari kita memenuhi tanggung jawab dan kewajiban kita, bagaimana mungkin bangsa kita tidak makmur?

Pelindung Dharma Selatan melambangkan perkembangan dan kemajuan setiap hari. Tidak hanya melakukan sesuatu saja perlu dilakukan dengan tepat; perkembangan yang berkesinambungan juga perlu dicari. Di tangan kanannya, Pelindung Dharma Selatan memegang pedang kebijaksanaan dan di tangan kirinya ada sebuah cincin yang melambangkan kebijaksanaan yang sempurna, menunjukkan bahwa seseorang perlu kebijaksanaan untuk menjadi lebih baik. Pedang melambangkan bahwa seseorang perlu memutus rantai penderitaan sebelum mereka lepas kendali.

Penjaga Surga ketiga dan keempat adalah Pelindung Dharma Barat dan Pelindung Dharma Utara, melambangkan visi atau pandangan yang luas dan mendengarkan dengan seksama. Keduanya mengajarkan kita untuk mengamati dan mendengar dengan lebih hati-hati serta membaca berbagai buku dan melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk memperluas pengetahuan. Mereka mengajarkan kita untuk melakukan pekerjaan kita dengan baik, mengambil yang baik serta mengabaikan kekurangan yang lain.

Pelindung Dharma Barat menandakan pengamatan yang jauh ke depan dan memegang seekor naga atau ular. Naga atau ular melambangkan perubahan yang terus-menerus. Di tangannya yang lain, dia memegang manik-manik, melambangkan prinsip. Manusia, hal dan objek dalam masyarakat mengalami perubahan terus-menerus. Seseorang perlu mengamati dengan cermat dan teliti, untuk memiliki pemahaman yang kuat pada prinsip-prinsip agar dapat mengontrol “naga atau ular” ini.

Pelindung Dharma Utara memegang sebuah payung untuk mencegah seseorang tercemar. Hal ini mengingatkan kita di dalam masyarakat yang kompleks, seseorang perlu tahu bagaimana menjaga tubuh dan pikiran dari polusi dan korupsi. Dari contoh-contoh ini, dapat kita lihat bahwa aspek seni dari ajaran para Buddha sangatlah indah. Tetapi sayang, banyak orang menganggap pelindung-pelindung Dharma ini sebagai dewa-dewa yang harus disembah, yang sepenuhnya salah.


MEMAHAMI TRADISI MAHAYANA (02) : Tujuan Ajaran Buddha


Tujuan Ajaran Buddha

Dari sifat dasar Buddhisme, selanjutnya kita akan membahas tujuan dari ajaran Buddha. Tujuannya adalah untuk menghancurkan delusi dan mencapai pencerahan. Sang Buddha menunjukkan kepada kita mengapa kita hidup dalam penderitaan dan mengapa kelahiran kembali di enam alam itu ada. Hal ini karena kebijaksanaan dan kemampuan kita masih tertutupi delusi. Jadi, semua cara pandang dan interaksi kita terhadap kehidupan dan alam ini adalah salah. Tindakan yang salah ini telah mengakibatkan kita menderita kelahiran berulang di dalam enam alam.

Tujuan dari ajaran Buddha adalah untuk membantu dan menuntun kita menghancurkan delusi, melepaskan penderitaan kita dan memperoleh kebahagiaan. Apa yang kita cari di dalam Buddhisme? Jawabannya adalah kita mencari Anuttara-Samyak-Sambodhi, yaitu tercapainya pencerahan yang sempurna. Buddha mengajar dan berharap kita semua dapat mencapai pencerahan, atau dalam arti lain, menjadi Buddha.

Pencerahan Sempurna Lengkap dibagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu: Arhat, Bodhisattva dan Buddha.

Tingkatan yang pertama adalah “ Pencerahan Yang Benar ” (Arhat). Dalam dunia kita, ada beberapa orang yang pintar dan bijak, seperti ilmuwan, filsuf, dan pemuka agama. Mereka telah mencapai pemahaman yang lebih dibanding pemahaman yang dimiliki kebanyakan orang pada umumnya. Akan tetapi, meskipun mereka memiliki pemahaman yang lebih, Buddha tidak mengakui pengetahuan mereka sebagai Pencerahan Yang Benar, karena mereka belum sepenuhnya melenyapkan beberapa kesusahan-derita (affliction) mereka. Mereka masih berkecamuk di dalam penilaian yang benar dan yang salah terhadap orang lain, ketamakan, kemarahan, ketidaktahuan dan kesombongan. Mereka masih memiliki pikiran yang kacau, pikiran yang membeda-bedakan sesuatu dan kemelekatan. Dengan kata lain, pikiran mereka belum murni. Tanpa pikiran murni, tidak peduli setinggi apapun pemahaman yang dicapai, belum dapat dikatakan sebagai pencerahan yang benar.

Dalam Buddhisme, standar untuk mencapai pencerahan yang benar adalah pikiran murni yang menjadi cikal bakal munculnya kebijaksanaan sejati. Ini merupakan harapan Buddha bahwa kita semua dapat mencapai pencerahan yang sebenarnya. Inilah yang merupakan level atau gelar dari seorang Arhat sama seperti seseorang berkuliah untuk memperoleh gelar sarjana. Karena itu, Arhat, Boddhisattwa, dan Buddha adalah gelar yang diberikan berdasarkan tingkatan pencerahan yang dicapai di dalam Buddhisme. Seseorang yang mencapai pencerahan yang benar disebut sebagai Arahat. Arahat tidak memiliki ilusi atau pikiran dan pandangan yang salah. Mereka tidak lagi berkecamuk di dalam penilaian terhadap seseorang, mana yang benar dan salah, atau pikiran–pikiran yang tamak, marah, tidak tahu atau sombong.

Dari sini, dengan intuisi saja kita dapat secara jelas membedakan Buddhisme dan ajaran lain pada umumnya. Dari Sang Buddha, kita belajar ajaran dan pencerahan yang benar. Hanya dengan pencerahan yang benar, seseorang dapat melenyapkan semua penderitaan dan meraih kebahagiaan. Sebagai makhluk hidup, kita mengalami penderitaan dari kelahiran, usia tua, sakit, dan kematian. Kita tidak memperoleh apa yang kita inginkan, kita mengalami perpisahan dengan orang-orang yang kita cintai dan berada di tengah-tengah orang yang tidak kita sukai atau bahkan kita benci. Kita berada di antara semua penderitaan ini tanpa ada jalan yang jelas untuk terbebaskan. Hanya setelah mempelajari Buddhisme maka kita akan dapat memperoleh kebebasan sejati.

Sutra Karangan Bunga (Avatamsaka Sutra atau Huáyán Jīng) menjelaskan kepada kita, “Semua makhluk hidup memiliki bibit kebijaksanaan dan kemampuan yang sama seperti Buddha, tetapi bibit ini belum berbuah karena kebingungan pikiran dan kemelekatan kita.” Dari sini kita dapat mengetahui dengan jelas akar dari permasalahan kita. Mempraktikkan Buddhisme harus sejalan dengan ajaran Sang Buddha, yaitu mengendalikan kebingungan (pikiran yang menggembara) kita, pikiran yang membanding–bandingkan dan kemelekatan. Kemudian, kita akan mendapatkan pikiran yang murni, yang melahirkan kebijaksanaan sejati, yang merupakan pencerahan yang benar. Karena itu, Buddha dan Boddhisattwa tidak mengakui kepintaran dan kebijaksanaan duniawi, yang tidak memiliki pikiran yang cukup murni, yang merupakan pencerahan yang benar. Setelah mencapai pencerahan yang benar, seseorang akan memiliki kemampuan untuk melampaui lingkaran kelahiran dan kematian yang tiada akhir, tidak hanya kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan sehari–hari.

Baik berbicara tentang ajaran Buddha ataupun ajaran umum, sangatlah penting bagi kita untuk mengerti konsep dari menggali secara dalam dengan satu metode untuk mencapai pencerahan. Hal ini sangat ditekankan dalam Buddhisme. Seseorang yang memiliki tekad untuk belajar secara efektif hanya perlu mengikuti satu guru saja dan cukup berlatih hanya satu jalan untuk memastikan perjalanan kita mulus. Ketika kita mengikuti dua guru dengan dua jalan berbeda, kita akan dibingungkan oleh jalan mana yang akan ditempuh. Yang lebih parah, mengikuti tiga guru bagaikan seseorang yang berada di jalan T [jalan bercabang tiga seperti huruf T, -ed.]. Dengan empat orang guru bagaikan seseorang yang berada di perempatan jalan. Muda–mudi sekarang rajin belajar banyak, tetapi gagal memperoleh hasil yang bagus. Masalahnya adalah kita berkutat di perempatan jalan, kita bingung harus mengambil jalan yang mana. Untuk berhasil dan memperoleh hasil dalam berlatih Buddhisme, seseorang cukup mengikuti satu orang guru dan cukup berkonsentrasi dengan satu metode.

Hasil apa yang akan diraih? Hasil nyata adalah memperoleh pikiran yang murni. Setelah memperoleh beberapa tingkatan dari pikiran murni, seseorang akan merasakan semakin sedikit penderitaan/kesusahan yang dimiliki dan adanya peningkatan dari kebijaksanaan sejati, seseorang menjadi mampu untuk menyelesaikan masalah–masalah di dunia ini dan lebih dari itu. Tanpa adanya kebijaksanaan sejati ini, tidak ada masalah yang benar–benar terselesaikan. Oleh karena itu, kebijaksanaan sejati berarti penting dalam menciptakan kebahagiaan dan pemenuhan hidup. Dalam makna yang lebih luas, kebijaksanaan sejati ini dapat membantu kita menyelesaikan persoalan sosial.

Saat ini banyak politisi yang beranggapan mereka sangat pintar tetapi berakhir dengan membuat negaranya tertimpa bencana, seperti membuat rakyatnya kecewa. Apa alasan untuk hal ini? Pemimpin seperti ini belum melenyapkan penderitaan, pikiran yang bingung dan mendiskriminasi (membanding-bandingkan), serta kemelekatannya. Konsekuensinya, pertimbangan utama mereka adalah keuntungan mereka sendiri, kemelekatan mereka sendiri.

Sang Buddha mengajarkan bahwa untuk memperoleh kebijaksanaan sejati dilakukan dengan membebaskan pandangan kita saat ini. Tanpa kebijaksanaan sejati ini, seseorang akan salah menginterpretasikan makna dari sutra-sutra Mahayana. Jika seseorang mampu lepas dari pikiran egois, maka dia akan memperoleh keuntungan. Dengan pencerahan yang benar, hanya ketika seseorang tidak mempunyai ego atau kemelekatan diri, orang tersebut akan mampu membedakan benar dan salah, lurus dan menyimpang serta yang menguntungkan dan merugikan. Tanpa membebaskan pandangan, seseorang tidak akan mempunyai kemampuan ini. Dari sini, kita mengerti adanya standar dari pencerahan yang benar.

Satu tingkatan diatas pencerahan benar adalah “Pencerahan yang benar dan setara”. Setara maksudnya setara seperti Sang Buddha, tetapi belum menjadi Buddha. Tingkatan ini lebih tinggi dari seorang Arhat. Pencerahan yang benar dan setara mengharuskan seseorang menghancurkan satu tingkatan ketidaktahuan, untuk memperoleh satu tingkatan dari tubuh Dharma. Pada bagian ini, cara seseorang memandang realitas kehidupan dan alam semesta hampir menyamai cara pandang Buddha. Seseorang yang memperoleh pencerahan yang benar dan setara disebut seorang Boddhisattva.

Sutra Karangan Bunga (Avatamsaka Sutra atau Huáyán Jīng) menjelaskan empat puluh satu tingkatan Bodhisattva, yang kesemuanya merupakan tingkatan pencerahan. Setelah menghancurkan tingkatan ketidaktahuan yang paling akhir, menyempurnakan kebijaksanaan dan pencerahan, seseorang akan memperoleh “ Pencerahan penuh yang sempurna ” yang merupakan ke-Buddha-an. Oleh karena itu, Buddha, Bodhisattva dan Arahat merupakan gelar, bukan nama dari orang tertentu. Mereka adalah gelar yang sama seperti gelar Doktor, Master atau Sarjana. Sebagai contoh, di dalam nama Bodhisattva Guan Yin ( Kuan Im – bahasa hokkien ), Guan Yin mencerminkan maha belas kasih dan cinta universal tanpa batas. Gelar Bodhisattva sama seperti gelar Master. Saat ini, orang-orang sering salah mengartikan Buddha dan Bodhisattva, banyak yang menganggap keduanya merupakan nama dari makhluk tertentu. Mereka tidak paham bahwa gelar ini menunjuk kepada makhluk apapun yang memiliki karakteristik seperti itu. Buddha atau Bodhisattva, ketika ditambahkan ke dalam nama, menunjukkan sebuah kekhususan.

Dari sifat dasar Buddhisme, kita menyadari bahwa tujuan kita berlatih adalah untuk mencari kebijaksanaan. Dalam Zen, tujuan ini disebut, “ Mencapai kejernihan pikiran untuk melihat sifat-alami diri sendiri. ” Dengan kata lain “ Pencerahan Sempurna ”. Dalam Buddhisme Tradisi Tanah Suci, hal ini disebut “ Satu Pikiran Yang Stabil. ” Tradisi Tanah Suci adalah unik karena tidak hanya berusaha memiliki satu pikiran stabil tetapi juga berusaha lahir di Tanah Suci Barat. Tidak seperti tradisi lainnya, yang hanya mengandalkan kekuatan sendiri untuk mencapai tujuannya. Metode Tanah Suci mempunyai dua tujuan yang dapat diraih dalam satu waktu hidup.

Seseorang yang dekat dengan Sutra Kehidupan Tak Terbatas (Sukhāvatīvyūha-sūtra atau Wúliáng Shòu Jīng) dan mengerti ajarannya akan bebas dari segala keraguan. Judul lengkap dari sutra ini menunjukkan tujuan dari praktik kita yaitu: Perkataan Buddha dari Sutra Kehidupan Tak Terbatas tentang Perhiasan, Kemurnian, Kesetaraan dan Pencerahan Tradisi Mahayana. Kehidupan tak terbatas dan “perhiasan” adalah yang dicari praktisi Tanah Suci. Kehidupan Tak Terbatas menunjuk kepada jasa [kebaikan] dan kebajikan dari sifat-alami seseorang. “Perhiasan” menandakan kesempurnaan kebijaksanaan dengan kemudahan dan pemenuhannya. Kemurnian, Kesetaraan dan Pencerahan adalah metodenya, tiga jalan/cara dalam praktik. Setelah mencapai salah satu yang manapun, maka ketiganya juga telah tercapai. Dari semua Tradisi Buddhisme, belum ada yang melampaui ketiga cara praktik ini.

Tradisi Zen menggunakan jalan kesadaran untuk mencapai pencerahan dan memperoleh kemurnian untuk melihat sifat asli seseorang. Tradisi Buddhis selain Zen menekankan praktik pemahaman atau pandangan benar, sampai memperoleh pemahaman yang sempurna. Tradisi Tanah Suci, di sisi lain, berkonsentrasi pada kemurnian pikiran. Seseorang dengan kemurnian pikiran akan secara alamiah berhenti membanding-bandingkan dan tersadarkan. Orang yang tersadarkan akan secara alamiah memiliki pikiran yang murni dan tidak membanding-bandingkan. Jalur yang ditempuh mungkin berbeda tetapi tujuan akhirnya adalah sama. Dalam praktik Zen hal ini dinyatakan sebagai “memperoleh pikiran yang murni dan melihat sifat asli seseorang.”

Tradisi yang berbeda mungkin menggunakan nama yang berbeda tetapi hasil atau tingkat pikirannya adalah sama. Oleh karena itu, mengkritik tradisi lain yang manapun berarti menjelek-jelekkan Buddha dan Dharma. Semua metode ini diwariskan kepada kita oleh Buddha Shakyamuni. Memilih jalan manapun akan memungkinkan seseorang memperoleh pencapaian. Bagaimana kita dapat mengatakan metode yang satu lebih baik dibanding yang lain? Dari semua metode yang berbeda kita hanya perlu memilih satu metode yang paling cocok dan sesuai dengan tingkatan kita.

Pertama, jika metode yang kita pilih melebihi kapasitas kita, membuat kita sulit untuk mempraktikkannya, kita tidak akan berhasil dengan mudah menggunakan metode tersebut. Kedua, metode itu harus cocok dan nyaman untuk cara hidup kita. Ketiga, metode itu harus sesuai dengan masyarakat modern, karena kita tidak dapat memisahkan diri kita dari masyarakat atau manusia lainnya. Oleh karena itu, kita perlu mempertimbangkan faktor-faktor ini untuk menentukan metode pengembangan batin.

Bagaimanapun juga, tidak peduli metode yang mana yang dipraktikkan, sangatlah penting melepaskan diri dari pandangan diri dan kemelekatan agar dapat memperoleh manfaat dari praktik. Atau tidak, seperti pengalaman banyak orang, upaya yang besar dalam praktik akan menjadi sia-sia. Beberapa praktisi merasakan bahkan setelah bertahun-tahun melakukan praktik mereka tidak mendapatkan apa-apa, bahkan mereka merasakan perasaan mereka lebih baik sebelum mereka melakukan praktik. Kelihatannya semakin mereka berlatih, semakin buruk yang mereka rasakan. Semua ini muncul dikarenakan mereka memilih metode yang tidak sesuai untuk mereka. Hal ini sama seperti mengambil jurusan yang tidak cocok di sekolah. Ketika seseorang memilih jurusan yang tidak cocok dengan latar belakang dan kemampuannya, dia akan mengalami masa yang sulit untuk berhasil. Memilih jurusan yang sesuai membuat kita belajar dengan lebih mudah, jadi kesempatan untuk berhasil juga lebih besar. Hal yang sama berlaku ketika kita melakukan praktik Buddhisme. Ketika seseorang tidak mengetahui kapasitas sendiri, maka ujilah sendiri.

Seperti saya sendiri, misalnya. Setelah membaca banyak Sutra Mahayana, saya merasakan bahwa diri saya belum mampu mencapai apapun. Saya sangat ingin memutus pikiran saya yang mengembara, membanding-bandingkan dan melekat, tetapi saya tidak mampu. Akhirnya, saya memilih metode Tanah Suci untuk memperoleh pencapaian. Metode ini tidak membutuhkan seseorang untuk menyingkirkan semuanya tetapi lebih pada menekan halangan tersebut. Selama seseorang mampu menahan semua penderitaan, maka orang tersebut dapat dilahirkan di dalam Tanah Suci Barat dengan membawa karma yang ada padanya.


Metode ini sangat cocok untuk saya dan demikian cara saya memilihnya. Sebelumnya, saya telah mencoba Zen [meliputi metode Dhyana/Chan/Dzogchen], Tradisi Pengajaran [meliputi pemahaman Sutra, Paramita], Tradisi Esoteris [meliputi metode Vajra/Mantra/Tantra] dan praktik mengikuti sila (aturan-moralitas), tetapi tidak mampu memperoleh pencapaian dengan metode-metode tersebut. Jadi, saya kembali ke metode Tanah Suci dan dengan sepenuh hati mempelajari Metode Melafalkan Nama Buddha sambil berkonsentrasi mempelajari Sutra-sutra Tanah Suci. Ini adalah pengalaman praktik saya selama puluhan tahun.