SIMBOLISME DAN SENI
Setelah kita memahami dengan
jelas apa maksud dari ajaran Sang Buddha, kita akan melihat sutra-sutra sebagai
sesuatu yang berbeda. Sutra-sutra ini adalah salah satu koleksi literatur
terbesar di dunia. Saya percaya ketika kita mempertimbangkan luasnya semua
ajaran akademis, maka tidak ada satupun yang mampu melampaui luasnya Buddhisme.
Untuk memperoleh manfaat dari koleksi yang luas ini, maka penting bagi kita
untuk mengetahui dan memahami esensi dari isi ajarannya, yang merupakan
realitas sejati dari semua Dharma, realitas sejati kehidupan dan alam semesta.
Istilah “Kehidupan” mengacu pada diri kita sendiri. “Alam semesta” mengacu pada
lingkungan yang ada di sekeliling kita. Tidak benar jika kita menganggap
Buddhisme sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak jelas yang sama sekali tidak
ada hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Setiap kata di dalam sutra
sangat erat kaitannya dengan kehidupan kita. Selain itu, sudah pasti Buddhisme
bukanlah takhayul.
Bagaimana dan di mana kita mulai?
Untuk kenyamanan, kesempurnaan di dalam metode pengajaran Sang Buddha,
memerlukan kreativitas yang lebih. Buddhisme sejak dua ribu tahun yang lalu
telah menggunakan hal-hal yang berhubungan dengan artistik. Sebagai contoh,
semua nama-nama Buddha dan rupang-rupang (patung-patung) mewakili kebajikan
alamiah kita, kualitas kebijaksanaan lahiriah, kemampuan kebajikan dan bakat
artistik. Semua nama-nama dan rupa-rupa Bodhisattva mewakili kebajikan luhur
kita. Mereka mengajarkan kepada kita cara menerapkan ajaran Buddha dalam
kehidupan kita untuk membawa keluar sifat lahiriah kebajikan kita sehingga
manfaat dari Buddhisme dapat kita rasakan.
Dalam Buddhisme Mahayana Cina,
keempat Maha Bodhisattwa merupakan sebuah gambaran dari tingkat latihan dan
pencapaian kita. Yang pertama adalah Bodhisattva Ksitigarbha (Bodhisattva
Kandungan Bumi). Ketika kita berpikir tentang semua pengetahuan duniawi, dharma
ataupun Buddhisme, tidak ada yang dapat diketahui jika tidak ada bumi atau
tempat untuk kita berada. Kehadiran manusia tidak dapat dipisahkan dari bumi
yang di dalamnya kita bertahan hidup. Baik pakaian, makanan, hidup ataupun
bekerja, semua bergantung pada produksi dari tanah, sehingga harta yang tak
terbatas yang ada di bumi kelihatannya tidak akan pernah habis untuk kita
gunakan. Kata “bumi” dalam nama Bodhisattva ini menggambarkan ‘pikiran’ dan
kata “kandungan” menggambarkan ‘harta’.
Ajaran Sang Buddha pertama-tama
mengajarkan kepada kita untuk memulai latihan dengan pikiran kita, sebagaimana
sifat alami kita yang meliputi kebijaksanaan yang tak terbatas dan kemampuan
bajik tidaklah berbeda dengan para Buddha atau Bodhisattwa. Namun, untuk
sekarang ini kita telah kehilangan kebijaksanaan dan kemampuan bajik kita. Sang
Buddha mengungkapkan bahwa kemampuan ini tidak sepenuhnya hilang, hanya belum
terungkap. Saat ini, kita tanpa hentinya membiarkan diri kita terus mengembara,
dengan pikiran yang terus membanding-bandingkan dan kemelekatan kita, yang
berdampak pada hilangnya kemampuan ini sementara. Akan tetapi, di dalam pikiran
yang benar, tidak ada pikiran yang mengembara. Jika ada pikiran yang
mengembara, maka pikiran itu sendiri yang salah. Pada dasarnya kita telah
memiliki pikiran yang benar, jadi berlatih Buddhisme hanyalah untuk
memulihkannya kembali.
Oleh karena itu, tujuan pertama
dalam latihan adalah mengungkap dan mencari harta karun dalam pikiran kita.
Atau dengan kata lain, ajaran Buddha tidak dapat dicari di luar diri tetapi
dapat ditemukan di dalam sifat-alami dalam diri.
Bodhisattwa Kandungan Bumi
(Bodhisattwa Ksitigarbha) menggambarkan tentang bakti, Jadi, Sutra Kandungan
Bumi merupakan sutra tentang bakti, sebuah konsep dasar dimana semua orang akan
melakukan dengan baik untuk memulainya. Kebaikan yang ditunjukkan orang tua
kita dengan memberi kehidupan dan merawat kita adalah tidak terlukiskan.
Berbakti dan merawat orang tua kita pada hakikatnya adalah tanggung jawab kita.
Kita tidak hanya harus memenuhi kebutuhan materi mereka saja tetapi kita juga
harus memenuhi kehidupan rohani mereka juga. Lebih dari itu, kita juga perlu
memelihara aspirasi mereka untuk kita dan bagi kita, hal inilah yang paling
sulit. Orang tua menginginkan anak-anaknya memiliki karir yang sukses,
berperilaku baik, dan dihormati oleh generasi sekarang dan yang akan datang.
Dengan kata lain, kita harus melakukan dan bertindak dengan baik, yang akan
membuat mereka bangga pada kita. Oleh karena itu, pencapaian tertinggi dan
sempurna dari bakti pada orang tua adalah menjadi Buddha. Kita mulai dengan
berlatih hal ini dan kemudian mengembangkan bakti dan hormat kita pada semua
makhluk hidup.
Bodhisattwa ketiga, Manjusri,
menggambarkan kebijaksanaan dan pemikiran yang logis, mengingatkan kita bahwa
ketika kita berlatih dan berinteraksi dengan orang lain kita harus memenuhi
kewajiban berbakti kita, mengandalkan kebijaksanaan dan pemikiran yang logis,
dan bukan pada emosi.
Untuk berlatih Buddhisme, kita
memulai dengan :
- Berbakti dan menghormati orang tua, guru dan para tetua,
- Memiliki pikiran yang penuh welas asih,
- Memelihara pikiran dan kebijaksanaan,
- Memperluas pikiran.
Meskipun berurutan, tetapi dapat
juga dipraktikkan secara bersamaan, karena saling berhubungan. Contohnya,
berbakti kepada orang tua termasuk kasih sayang dan kebaikan, nalar dan
kebijaksanaan. Kebijaksanaan
termasuk berbakti, penuh kasih dan baik.
Setelah kita memiliki pemahaman
tentang Buddhisme, bagaimana cara kita menerapkannya dalam kehidupan? Pertama
kita perlu mengetahui apa yang direpresentasikan oleh Buddha dan Bodhisattwa.
Jika kita tidak tahu, maka Buddhisme tak pelak hanya menjadi takhayul dan kita
tidak menerima manfaat apapun. Semua sutra-sutra Buddhis mengandung
sifat-sifat, karakteristik dan cara untuk berlatih ini; Oleh karena itu, hanya
mempelajari satu sutra saja akan cukup. Seseorang perlu tahu bagaimana memahami
dan menerapkan ajaran secara efektif.
Biasanya di tengah aula utama Vihara, ada satu patung Buddha dan dua Bodhisattva, yang mencerminkan
sifat-alami dan entitas asli kita. Kedua Bodhisattva mencerminkan kemampuan
bajik di dalam sifat-alami kita, satunya adalah pemahaman dan yang lainnya
adalah praktik. Jika Buddha yang di tengah adalah Buddha Shakyamuni, maka kedua
sosok yang ada di sisinya adalah Manjusri dan Bodhisattwa Samantabhadra
(Keagungan Universal), mencerminkan kebijaksanaan dan aplikasinya
masing-masing. Jadi, pemahaman dan praktik digabung menjadi satu. Jika aula memiliki
rupang tiga orang bijak dari Tanah Suci Barat, dengan Buddha Amitabha di bagian
tengah mencerminkan sifat-alami, maka kedua sosok yang ada pada kedua sisinya
adalah Bodhisattva Avalokitesvara (Guan Yin) dan Bodhisattwa Mahasthamaprapta
(Bodhisattwa Kekuatan Agung). Masing-masing mencerminkan welas asih dan
kebijaksanaan, sepenuhnya melambangkan kebijaksanaan tak terbatas dan kemampuan
bajik. Oleh karena itu, sekali lagi kita melihat bahwa Buddhisme adalah suatu
ajaran.
Ada makna ajaran yang mendalam di
dalam nama-nama para Buddha dan Bodhisattva, misalnya nama Buddha Shakyamuni memberitahukan tentang
prinsip-prinsip ajaran Buddha. “Shakya” berarti kemanusiaan dan kebaikan.
“Muni” berarti kemurnian pikiran. Ajaran tentang kedua kualitas ini sangat dianjurkan
karena orang-orang di dunia ini kurang welas asih dan kebaikan, dan terkadang
cenderung egois. Lebih dari itu, semua makhluk hidup yang kurangnya pikiran
murni terus-menerus berputar di dalam pikiran yang mengembara, keserakahan,
kemarahan, kebodohan dan kesombongan. Setiap Bodhisattva yang menjadi Buddha di
dunia ini akan diberi nama Shakyamuni untuk mengajarkan kepada kita solusi dari
masalah kita. Setelah representasi dari rupang Buddha dan Bodhisattva dipahami
secara intuisi hanya dengan melihat mereka, seseorang akan memahami dengan
sempurna tujuan ajaran Buddha.
Ketika kita memasuki aula pertama Vihara, yaitu Aula Penjaga Surga, kita akan melihat rupang (patung) Bodhisattva
Maitreya dikelilingi oleh empat Penjaga Surga ( catummaharajika ) di tengah aula. Bodhisattva
Maitreya, dikenal di Barat sebagai Buddha Bahagia, memiliki senyum yang lebar
yang menandakan kebahagiaan. Perut besarnya menandakan toleransi yang sangat
besar dan pikiran yang luas, yang mengajarkan kepada kita bagaimana
berinteraksi dengan orang lain dan berbagai hal dengan penuh sukacita, tidak
membanding-bandingkan dan toleran. Di sisi-sisinya ada empat penjaga surga atau
pelindung Dharma yang mengajarkan kita untuk melindungi diri sendiri.
Pelindung Dharma Timur,
melambangkan pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab, mengajarkan kita terlepas
dari posisi apapun, seseorang harus menunaikan kewajibannya. Dia memegang
sebuah kecapi di tangannya. Sebenarnya tidak boleh terlalu ketat, atau akan
putus; tidak boleh terlalu longgar juga, atau mereka tidak dapat dimainkan
dengan baik. Ketika diatur dengan benar dan seimbang, instrumen dapat dimainkan
dengan indah, melambangkan bahwa kita harus mengambil jalan tengah ketika
berhubungan dengan hal-hal, orang dan objek. Ketika setiap dari kita memenuhi
tanggung jawab dan kewajiban kita, bagaimana mungkin bangsa kita tidak makmur?
Pelindung Dharma Selatan
melambangkan perkembangan dan kemajuan setiap hari. Tidak hanya melakukan
sesuatu saja perlu dilakukan dengan tepat; perkembangan yang berkesinambungan
juga perlu dicari. Di tangan kanannya, Pelindung Dharma Selatan memegang pedang
kebijaksanaan dan di tangan kirinya ada sebuah cincin yang melambangkan
kebijaksanaan yang sempurna, menunjukkan bahwa seseorang perlu kebijaksanaan
untuk menjadi lebih baik. Pedang melambangkan bahwa seseorang perlu memutus
rantai penderitaan sebelum mereka lepas kendali.
Penjaga Surga ketiga dan keempat
adalah Pelindung Dharma Barat dan Pelindung Dharma Utara, melambangkan visi
atau pandangan yang luas dan mendengarkan dengan seksama. Keduanya mengajarkan
kita untuk mengamati dan mendengar dengan lebih hati-hati serta membaca
berbagai buku dan melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk memperluas
pengetahuan. Mereka mengajarkan kita untuk melakukan pekerjaan kita dengan
baik, mengambil yang baik serta mengabaikan kekurangan yang lain.
Pelindung Dharma Barat menandakan
pengamatan yang jauh ke depan dan memegang seekor naga atau ular. Naga atau
ular melambangkan perubahan yang terus-menerus. Di tangannya yang lain, dia
memegang manik-manik, melambangkan prinsip. Manusia, hal dan objek dalam
masyarakat mengalami perubahan terus-menerus. Seseorang perlu mengamati dengan
cermat dan teliti, untuk memiliki pemahaman yang kuat pada prinsip-prinsip agar
dapat mengontrol “naga atau ular” ini.
Pelindung Dharma Utara memegang
sebuah payung untuk mencegah seseorang tercemar. Hal ini mengingatkan kita di
dalam masyarakat yang kompleks, seseorang perlu tahu bagaimana menjaga tubuh
dan pikiran dari polusi dan korupsi. Dari contoh-contoh ini, dapat kita lihat
bahwa aspek seni dari ajaran para Buddha sangatlah indah. Tetapi sayang, banyak
orang menganggap pelindung-pelindung Dharma ini sebagai dewa-dewa yang harus
disembah, yang sepenuhnya salah.
No comments:
Post a Comment