Tujuan Ajaran Buddha
Dari sifat dasar Buddhisme, selanjutnya kita akan membahas
tujuan dari ajaran Buddha. Tujuannya adalah untuk menghancurkan delusi dan
mencapai pencerahan. Sang Buddha menunjukkan kepada kita mengapa kita hidup
dalam penderitaan dan mengapa kelahiran kembali di enam alam itu ada. Hal ini
karena kebijaksanaan dan kemampuan kita masih tertutupi delusi. Jadi, semua
cara pandang dan interaksi kita terhadap kehidupan dan alam ini adalah salah. Tindakan
yang salah ini telah mengakibatkan kita menderita kelahiran berulang di dalam
enam alam.
Tujuan dari ajaran Buddha adalah untuk membantu dan menuntun
kita menghancurkan delusi, melepaskan penderitaan kita dan memperoleh
kebahagiaan. Apa yang kita cari di dalam Buddhisme? Jawabannya adalah kita
mencari Anuttara-Samyak-Sambodhi, yaitu tercapainya pencerahan yang sempurna.
Buddha mengajar dan berharap kita semua dapat mencapai pencerahan, atau dalam
arti lain, menjadi Buddha.
Pencerahan Sempurna Lengkap dibagi ke dalam tiga tingkatan,
yaitu: Arhat, Bodhisattva dan Buddha.
Tingkatan yang pertama adalah “ Pencerahan Yang Benar ”
(Arhat). Dalam dunia kita, ada beberapa orang yang pintar dan bijak, seperti
ilmuwan, filsuf, dan pemuka agama. Mereka telah mencapai pemahaman yang lebih
dibanding pemahaman yang dimiliki kebanyakan orang pada umumnya. Akan tetapi,
meskipun mereka memiliki pemahaman yang lebih, Buddha tidak mengakui
pengetahuan mereka sebagai Pencerahan Yang Benar, karena mereka belum
sepenuhnya melenyapkan beberapa kesusahan-derita (affliction) mereka. Mereka
masih berkecamuk di dalam penilaian yang benar dan yang salah terhadap orang
lain, ketamakan, kemarahan, ketidaktahuan dan kesombongan. Mereka masih
memiliki pikiran yang kacau, pikiran yang membeda-bedakan sesuatu dan kemelekatan.
Dengan kata lain, pikiran mereka belum murni. Tanpa pikiran murni, tidak peduli
setinggi apapun pemahaman yang dicapai, belum dapat dikatakan sebagai
pencerahan yang benar.
Dalam Buddhisme, standar untuk mencapai pencerahan yang benar
adalah pikiran murni yang menjadi cikal bakal munculnya kebijaksanaan sejati.
Ini merupakan harapan Buddha bahwa kita semua dapat mencapai pencerahan yang
sebenarnya. Inilah yang merupakan level atau gelar dari seorang Arhat sama
seperti seseorang berkuliah untuk memperoleh gelar sarjana. Karena itu, Arhat,
Boddhisattwa, dan Buddha adalah gelar yang diberikan berdasarkan tingkatan
pencerahan yang dicapai di dalam Buddhisme. Seseorang yang mencapai pencerahan
yang benar disebut sebagai Arahat. Arahat tidak memiliki ilusi atau pikiran dan
pandangan yang salah. Mereka tidak lagi berkecamuk di dalam penilaian terhadap
seseorang, mana yang benar dan salah, atau pikiran–pikiran yang tamak, marah,
tidak tahu atau sombong.
Dari sini, dengan intuisi saja kita dapat secara jelas
membedakan Buddhisme dan ajaran lain pada umumnya. Dari Sang Buddha, kita
belajar ajaran dan pencerahan yang benar. Hanya dengan pencerahan yang benar,
seseorang dapat melenyapkan semua penderitaan dan meraih kebahagiaan. Sebagai
makhluk hidup, kita mengalami penderitaan dari kelahiran, usia tua, sakit, dan
kematian. Kita tidak memperoleh apa yang kita inginkan, kita mengalami
perpisahan dengan orang-orang yang kita cintai dan berada di tengah-tengah orang
yang tidak kita sukai atau bahkan kita benci. Kita berada di antara semua
penderitaan ini tanpa ada jalan yang jelas untuk terbebaskan. Hanya setelah
mempelajari Buddhisme maka kita akan dapat memperoleh kebebasan sejati.
Sutra Karangan Bunga (Avatamsaka Sutra atau Huáyán Jīng)
menjelaskan kepada kita, “Semua makhluk hidup memiliki bibit kebijaksanaan dan
kemampuan yang sama seperti Buddha, tetapi bibit ini belum berbuah karena
kebingungan pikiran dan kemelekatan kita.” Dari sini kita dapat mengetahui
dengan jelas akar dari permasalahan kita. Mempraktikkan Buddhisme harus sejalan
dengan ajaran Sang Buddha, yaitu mengendalikan kebingungan (pikiran yang
menggembara) kita, pikiran yang membanding–bandingkan dan kemelekatan.
Kemudian, kita akan mendapatkan pikiran yang murni, yang melahirkan
kebijaksanaan sejati, yang merupakan pencerahan yang benar. Karena itu, Buddha
dan Boddhisattwa tidak mengakui kepintaran dan kebijaksanaan duniawi, yang
tidak memiliki pikiran yang cukup murni, yang merupakan pencerahan yang benar.
Setelah mencapai pencerahan yang benar, seseorang akan memiliki kemampuan untuk
melampaui lingkaran kelahiran dan kematian yang tiada akhir, tidak hanya
kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan sehari–hari.
Baik berbicara tentang ajaran Buddha ataupun ajaran umum,
sangatlah penting bagi kita untuk mengerti konsep dari menggali secara dalam
dengan satu metode untuk mencapai pencerahan. Hal ini sangat ditekankan dalam
Buddhisme. Seseorang yang memiliki tekad untuk belajar secara efektif hanya
perlu mengikuti satu guru saja dan cukup berlatih hanya satu jalan untuk
memastikan perjalanan kita mulus. Ketika kita mengikuti dua guru dengan dua
jalan berbeda, kita akan dibingungkan oleh jalan mana yang akan ditempuh. Yang
lebih parah, mengikuti tiga guru bagaikan seseorang yang berada di jalan T
[jalan bercabang tiga seperti huruf T, -ed.]. Dengan empat orang guru bagaikan
seseorang yang berada di perempatan jalan. Muda–mudi sekarang rajin belajar
banyak, tetapi gagal memperoleh hasil yang bagus. Masalahnya adalah kita
berkutat di perempatan jalan, kita bingung harus mengambil jalan yang mana.
Untuk berhasil dan memperoleh hasil dalam berlatih Buddhisme, seseorang cukup
mengikuti satu orang guru dan cukup berkonsentrasi dengan satu metode.
Hasil apa yang akan diraih? Hasil nyata adalah memperoleh
pikiran yang murni. Setelah memperoleh beberapa tingkatan dari pikiran murni,
seseorang akan merasakan semakin sedikit penderitaan/kesusahan yang dimiliki
dan adanya peningkatan dari kebijaksanaan sejati, seseorang menjadi mampu untuk
menyelesaikan masalah–masalah di dunia ini dan lebih dari itu. Tanpa adanya
kebijaksanaan sejati ini, tidak ada masalah yang benar–benar terselesaikan.
Oleh karena itu, kebijaksanaan sejati berarti penting dalam menciptakan kebahagiaan
dan pemenuhan hidup. Dalam makna yang lebih luas, kebijaksanaan sejati ini
dapat membantu kita menyelesaikan persoalan sosial.
Saat ini banyak politisi yang beranggapan mereka sangat
pintar tetapi berakhir dengan membuat negaranya tertimpa bencana, seperti
membuat rakyatnya kecewa. Apa alasan untuk hal ini? Pemimpin seperti ini belum
melenyapkan penderitaan, pikiran yang bingung dan mendiskriminasi
(membanding-bandingkan), serta kemelekatannya. Konsekuensinya, pertimbangan
utama mereka adalah keuntungan mereka sendiri, kemelekatan mereka sendiri.
Sang Buddha mengajarkan bahwa untuk memperoleh kebijaksanaan
sejati dilakukan dengan membebaskan pandangan kita saat ini. Tanpa
kebijaksanaan sejati ini, seseorang akan salah menginterpretasikan makna dari
sutra-sutra Mahayana. Jika seseorang mampu lepas dari pikiran egois, maka dia
akan memperoleh keuntungan. Dengan pencerahan yang benar, hanya ketika
seseorang tidak mempunyai ego atau kemelekatan diri, orang tersebut akan mampu
membedakan benar dan salah, lurus dan menyimpang serta yang menguntungkan dan
merugikan. Tanpa membebaskan pandangan, seseorang tidak akan mempunyai
kemampuan ini. Dari sini, kita mengerti adanya standar dari pencerahan yang
benar.
Satu tingkatan diatas pencerahan benar adalah “Pencerahan
yang benar dan setara”. Setara maksudnya setara seperti Sang Buddha, tetapi
belum menjadi Buddha. Tingkatan ini lebih tinggi dari seorang Arhat. Pencerahan
yang benar dan setara mengharuskan seseorang menghancurkan satu tingkatan
ketidaktahuan, untuk memperoleh satu tingkatan dari tubuh Dharma. Pada bagian
ini, cara seseorang memandang realitas kehidupan dan alam semesta hampir
menyamai cara pandang Buddha. Seseorang yang memperoleh pencerahan yang benar
dan setara disebut seorang Boddhisattva.
Sutra Karangan Bunga (Avatamsaka Sutra atau Huáyán Jīng)
menjelaskan empat puluh satu tingkatan Bodhisattva, yang kesemuanya merupakan
tingkatan pencerahan. Setelah menghancurkan tingkatan ketidaktahuan yang paling
akhir, menyempurnakan kebijaksanaan dan pencerahan, seseorang akan memperoleh
“ Pencerahan penuh yang sempurna ” yang merupakan ke-Buddha-an. Oleh karena itu,
Buddha, Bodhisattva dan Arahat merupakan gelar, bukan nama dari orang tertentu.
Mereka adalah gelar yang sama seperti gelar Doktor, Master atau Sarjana.
Sebagai contoh, di dalam nama Bodhisattva Guan Yin ( Kuan Im – bahasa hokkien ),
Guan Yin mencerminkan maha belas kasih dan cinta universal tanpa batas. Gelar
Bodhisattva sama seperti gelar Master. Saat ini, orang-orang sering salah
mengartikan Buddha dan Bodhisattva, banyak yang menganggap keduanya merupakan
nama dari makhluk tertentu. Mereka tidak paham bahwa gelar ini menunjuk kepada
makhluk apapun yang memiliki karakteristik seperti itu. Buddha atau
Bodhisattva, ketika ditambahkan ke dalam nama, menunjukkan sebuah kekhususan.
Dari sifat dasar Buddhisme, kita menyadari bahwa tujuan kita
berlatih adalah untuk mencari kebijaksanaan. Dalam Zen, tujuan ini disebut,
“ Mencapai kejernihan pikiran untuk melihat sifat-alami diri sendiri. ” Dengan
kata lain “ Pencerahan Sempurna ”. Dalam Buddhisme Tradisi Tanah Suci, hal ini
disebut “ Satu Pikiran Yang Stabil. ” Tradisi Tanah Suci adalah unik karena tidak
hanya berusaha memiliki satu pikiran stabil tetapi juga berusaha lahir di Tanah
Suci Barat. Tidak seperti tradisi lainnya, yang hanya mengandalkan kekuatan
sendiri untuk mencapai tujuannya. Metode Tanah Suci mempunyai dua tujuan yang
dapat diraih dalam satu waktu hidup.
Seseorang yang dekat dengan Sutra Kehidupan Tak Terbatas (Sukhāvatīvyūha-sūtra
atau Wúliáng Shòu Jīng) dan mengerti ajarannya akan bebas dari segala keraguan.
Judul lengkap dari sutra ini menunjukkan tujuan dari praktik kita yaitu: Perkataan
Buddha dari Sutra Kehidupan Tak Terbatas tentang Perhiasan, Kemurnian,
Kesetaraan dan Pencerahan Tradisi Mahayana. Kehidupan tak terbatas dan
“perhiasan” adalah yang dicari praktisi Tanah Suci. Kehidupan Tak Terbatas menunjuk
kepada jasa [kebaikan] dan kebajikan dari sifat-alami seseorang. “Perhiasan”
menandakan kesempurnaan kebijaksanaan dengan kemudahan dan pemenuhannya. Kemurnian,
Kesetaraan dan Pencerahan adalah metodenya, tiga jalan/cara dalam praktik.
Setelah mencapai salah satu yang manapun, maka ketiganya juga telah tercapai.
Dari semua Tradisi Buddhisme, belum ada yang melampaui ketiga cara praktik ini.
Tradisi Zen menggunakan jalan kesadaran untuk mencapai
pencerahan dan memperoleh kemurnian untuk melihat sifat asli seseorang. Tradisi
Buddhis selain Zen menekankan praktik pemahaman atau pandangan benar, sampai
memperoleh pemahaman yang sempurna. Tradisi Tanah Suci, di sisi lain,
berkonsentrasi pada kemurnian pikiran. Seseorang dengan kemurnian pikiran akan
secara alamiah berhenti membanding-bandingkan dan tersadarkan. Orang yang
tersadarkan akan secara alamiah memiliki pikiran yang murni dan tidak
membanding-bandingkan. Jalur yang ditempuh mungkin berbeda tetapi tujuan
akhirnya adalah sama. Dalam praktik Zen hal ini dinyatakan sebagai “memperoleh
pikiran yang murni dan melihat sifat asli seseorang.”
Tradisi yang berbeda mungkin menggunakan nama yang berbeda
tetapi hasil atau tingkat pikirannya adalah sama. Oleh karena itu, mengkritik
tradisi lain yang manapun berarti menjelek-jelekkan Buddha dan Dharma. Semua
metode ini diwariskan kepada kita oleh Buddha Shakyamuni. Memilih jalan manapun
akan memungkinkan seseorang memperoleh pencapaian. Bagaimana kita dapat
mengatakan metode yang satu lebih baik dibanding yang lain? Dari semua metode
yang berbeda kita hanya perlu memilih satu metode yang paling cocok dan sesuai
dengan tingkatan kita.
Pertama, jika metode yang kita pilih melebihi kapasitas kita,
membuat kita sulit untuk mempraktikkannya, kita tidak akan berhasil dengan
mudah menggunakan metode tersebut. Kedua, metode itu harus cocok dan nyaman untuk
cara hidup kita. Ketiga, metode itu harus sesuai dengan masyarakat modern,
karena kita tidak dapat memisahkan diri kita dari masyarakat atau manusia
lainnya. Oleh karena itu, kita perlu mempertimbangkan faktor-faktor ini untuk
menentukan metode pengembangan batin.
Bagaimanapun juga, tidak peduli metode yang mana yang
dipraktikkan, sangatlah penting melepaskan diri dari pandangan diri dan
kemelekatan agar dapat memperoleh manfaat dari praktik. Atau tidak, seperti
pengalaman banyak orang, upaya yang besar dalam praktik akan menjadi sia-sia.
Beberapa praktisi merasakan bahkan setelah bertahun-tahun melakukan praktik
mereka tidak mendapatkan apa-apa, bahkan mereka merasakan perasaan mereka lebih
baik sebelum mereka melakukan praktik. Kelihatannya semakin mereka berlatih,
semakin buruk yang mereka rasakan. Semua ini muncul dikarenakan mereka memilih
metode yang tidak sesuai untuk mereka. Hal ini sama seperti mengambil jurusan
yang tidak cocok di sekolah. Ketika seseorang memilih jurusan yang tidak cocok
dengan latar belakang dan kemampuannya, dia akan mengalami masa yang sulit
untuk berhasil. Memilih jurusan yang sesuai membuat kita belajar dengan lebih
mudah, jadi kesempatan untuk berhasil juga lebih besar. Hal yang sama berlaku
ketika kita melakukan praktik Buddhisme. Ketika seseorang tidak mengetahui
kapasitas sendiri, maka ujilah sendiri.
Seperti saya sendiri, misalnya. Setelah membaca banyak Sutra
Mahayana, saya merasakan bahwa diri saya belum mampu mencapai apapun. Saya
sangat ingin memutus pikiran saya yang mengembara, membanding-bandingkan dan
melekat, tetapi saya tidak mampu. Akhirnya, saya memilih metode Tanah Suci
untuk memperoleh pencapaian. Metode ini tidak membutuhkan seseorang untuk
menyingkirkan semuanya tetapi lebih pada menekan halangan tersebut. Selama
seseorang mampu menahan semua penderitaan, maka orang tersebut dapat dilahirkan
di dalam Tanah Suci Barat dengan membawa karma yang ada padanya.
Metode ini sangat cocok untuk saya dan demikian cara saya
memilihnya. Sebelumnya, saya telah mencoba Zen [meliputi metode
Dhyana/Chan/Dzogchen], Tradisi Pengajaran [meliputi pemahaman Sutra, Paramita],
Tradisi Esoteris [meliputi metode Vajra/Mantra/Tantra] dan praktik mengikuti sila
(aturan-moralitas), tetapi tidak mampu memperoleh pencapaian dengan metode-metode
tersebut. Jadi, saya kembali ke metode Tanah Suci dan dengan sepenuh hati
mempelajari Metode Melafalkan Nama Buddha sambil berkonsentrasi mempelajari
Sutra-sutra Tanah Suci. Ini adalah pengalaman praktik saya selama puluhan
tahun.
No comments:
Post a Comment